Langsung ke konten utama

Sarekat Islam dalam Sejarah Kemerdekaan

Perpecahan di tubuh Partai Sarekat Islam Indonesia selayaknya tidak disertai surutnya ingatan akan perjuangan organisasi Islam terbesar pada zamannya ini. Melalui penulisan sejarah, generasi kini dan mendatang bisa mengapresiasi sumbangan mereka yang amat besar bagi terbentuknya Republik Indonesia.

Dalam buku Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945 (Pustaka Pelajar, 2012), Nasihin memaparkan, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) merupakan perkumpulan rakyat bumiputra, terutama dari kalangan Islam yang berupaya bersatu melawan praktik kolonialisme Belanda. Terbentuknya Sarekat Dagang Islam pada 1909, sebagai awal terbentuknya PSII, dilandasi semangat gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah pada awal abad ke-20. Gerakan ini dimaknai sebagai bentuk penyatuan seluruh umat Islam dalam satu ikatan dan rasa persaudaraan.

Semangat Pan Islamisme yang dibawa ke Indonesia oleh tokoh-tokoh pergerakan seusai beribadah haji ini disambut hangat. Islam dianggap mampu menjadi lokomotif gerakan bumiputra, yang akan melengserkan pemerintahan Hindia-Belanda yang diskriminatif dan kapitalistik. 

Berkembangnya SI dengan semangat itu seiring perkembangan ideologi sosialis yang disebarkan oleh para propagandis asal Belanda. Mereka membentuk organ pergerakan ISDV serta organisasi buruh VSTP yang menarik simpati beberapa anggota SI. Namun, gerakan sosialisme mulai memperlihatkan belangnya saat ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia pada 20 Mei 1920. Komunisme sebagai ideologi perjuangan PKI tentu tak bisa diterima oleh beberapa pimpinan SI karena dianggap bisa meruntuhkan nilai ketauhidan umat Islam.

Meski demikian, saat SI diubah jadi Partai Sarikat Islam (PSI) pada 1921, selain tetap berlandaskan ideologi Islam, PSI di bawah pimpinan tertinggi HOS Tjokroaminoto juga mengadopsi sosialisme guna menghalau sistem kapitalistik. Islam dan sosialisme diracik sedemikian rupa hingga menghasilkan ideologi yang bernama Sosialisme Islam, yang jadi penuntun arah perjuangan PSI menghadapi kolonialisme untuk mencapai Indonesia merdeka. 

Ridho Al Hamdi dalam Partai Politik Islam, Teori dan Praktik di Indonesia (Graha Ilmu, 2013) menulis, semangat nasionalisme SI mulai diwarnai konflik internal saat SI memasuki fase kejayaan 1916-1921. Konflik berikutnya terjadi pada Fase Konsolidasi 1921-1927, saat Abdoel Moeis mengundurkan diri karena diduga kecewa terhadap sikap para pimpinan SI yang tidak lagi mendukung segala ide dan program yang diusulkannya.

Dinamika partai Islam tidak saja dialami oleh PSII semata. Beberapa partai Islam lain juga mengalami rintangan, di antaranya penangkapan disertai penahanan atau pengasingan terhadap tokoh-tokoh Partai Muslim Indonesia oleh pihak kolonial pada 1933. Pada 1941, tiga tokoh Partai Islam Indonesia ditangkap Belanda dengan tuduhan bersimpati kepada Jepang. Meski diwarnai konflik, ketiga parpol Islam di atas memiliki cita-cita dan napas perjuangan yang sama, yaitu semangat nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. 

(TGH/LITBANG KOMPAS)



Sumber: Kompas, 19 Oktober 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...