Langsung ke konten utama

Pemuda Sepanjang Masa

Bagi Indonesia, kaum muda tidak hanya pemilik masa depan, tetapi juga andalan masa lalu yang gemilang. Bayangkan tonggak Sumpah Pemuda 1928!

Sekarang ini orang ramai membicarakan tentang bonus demografi, yang mengacu pada peran kelompok muda produktif. Jelaslah, kaum muda merupakan modal penting sepanjang masa. Namun, bagaimana perlakuan dan pembinaan terhadap generasi muda yang menjadi harapan penggerak kemajuan bangsa dan negara pada masa mendatang? Bagaimana postur generasi muda Indonesia?

Sudah sering dibahas, peluang pembangunan dan kemajuan sangat terbuka lebar, tetapi jangan-jangan sulit dimanfaatkan karena persiapan sumber daya manusia yang kedodoran. Mayoritas tenaga kerja, misalnya, masih tamatan sekolah dasar. Tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia termasuk rendah di lingkungan Asia. Belum lagi tingkat pengangguran di kalangan sarjana tergolong tinggi. Atas dasar itu, muncul kekhawatiran peluang bonus demografi akan menjadi sia-sia.

Persoalan yang dihadapi generasi muda tidak terlepas dari masalah yang dihadapi oleh bangsa secara keseluruhan. Puluhan juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan, kesenjangan ekonomi cenderung melebar, sistem pendidikan dan layanan kesehatan kedodoran. Lebih memprihatinkan lagi, belum ada upaya terpadu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa. Malah, kalangan elite asyik dengan tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi, mengabaikan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Praktik korupsi terkesan merebak luas di kalangan pejabat dari pusat sampai ke daerah. Dana pembangunan dikuras oleh pejabat yang sudah kehilangan sikap tanggung jawab. Segala perilaku tidak terpuji itu telah menjadi sandungan berbahaya bagi negara dan bangsa yang dicita-citakan kaum muda, seperti tertuang dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Prinsip Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa sedang mengalami tantangan berat.

Semangat senasib dan sepenanggungan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa terkesan tidak menguat, bahkan justru memudar. Solidaritas dan gotong royong meluntur karena kepentingan diri dan kelompok sudah diletakkan di atas kepentingan bersama, bangsa dan negara. Kiranya peringatan 86 tahun Sumpah Pemuda dapat dijadikan momentum untuk meneguhkan semangat menjadi satu dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Tuntutan membangun semangat persatuan semakin dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan rumit di tengah dunia yang terus berubah.

Tanpa semangat persatuan, perjuangan membangun Indonesia yang lebih kuat akan kedodoran. Begitu juga Indonesia tidak mungkin bergerak lebih cepat dalam mengejar kemajuan dan lebih tinggi menggapai cita-cita kemakmuran tanpa ditopang semangat persatuan, merasa senasib dan sepenanggungan sebagai satu bangsa.



Sumber: Kompas, 29 Oktober 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...