Langsung ke konten utama

Setelah Pemuda Bersumpah

Oleh ASEP SALAHUDIN

Tersebutlah dalam kalender sebuah hari yang dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober.

Hari yang mengingatkan kita akan peristiwa 86 tahun silam ihwal ikrar yang digelorakan kaum muda tentang kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa.

Dhakidae (2001) menyebut Sumpah Pemuda sebagai Indonesian the holy trinity, tritunggal suci--bangsa, bahasa, tanah air.

Sumpah yang dalam konteks kebangsaan sungguh penuh rajah sebab sumpah itu di kemudian hari bertemali dengan peristiwa politik yang bikin Indonesia "hamil tua", kemerdekaan yang menjadi cita-cita bersama 17 tahun kemudian diproklamasikan Soekarno dan Hatta. Teks Sumpah Pemuda dan teks proklamasi menjadi saudara kembar yang dipertalikan oleh kesamaan visi keindonesiaan. Yang membedakan hanya pilihan diksi, Sumpah Pemuda lebih serupa puisi karena memang dibikin penyair soneta Mohammad Yamin, sementara proklamasi mendekat kepada gaya prosa.

Puisi Sumpah Pemuda mengilhami prosa proklamasi. Dari sumpah verbatim kemudian menjelma tindakan-tindakan politik praksis kaum pergerakan. Dalam telaah Sutardji Calzoum Bachri, "Saya ingin menampilkan teks Sumpah Pemuda sebagai teks puisi karena selama ini teks Sumpah Pemuda itu melulu dilihat sebagai teks sosial politik. Padahal, teks itu menampilkan mimpi atau imajinasi dengan bahasa ringkas, hemat, padat, kuat, menyaran makna, dengan irama dan pengulangan kata-kata yang bagaikan mantra."

Di titik ini kita menjadi mafhum tentang kekuatan kata-kata, ihwal bagaimana puisi memberikan kontribusi terhadap nyawa bangsa. Dalam sajak Subagio Sastrowardoyo: asal mula adalah kata/jagat tersusun dari kata/di balik itu hanya/ruang kosong dan angin pagi. Mungkin. Kata menjadi rumah eksistensial takhta kemanusiaan sekaligus kebangsaan seperti kata Martin Haidegger the house of being. Dalam syarah Jean Paul Sartre, J'ai commence mau vie vomme je la finirai sans doute: au milie des livres.

Definisi keindonesiaan

Sumpah itu menarik dikenang bukan karena sekadar dirumuskan kaum muda, melainkan isinya menggambarkan tentang definisi Indonesia yang dibayangkan: bersatu dalam pengalaman kemajemukan. Bahwa keragaman bahasa, budaya, dan agama tidak cukup dijadikan alasan ber-mufaraqah, tetapi sudah semestinya menjadi modal sosial membangun bangsa yang bersatu dalam keragaman, ika dalam kebinekaan atau kita menyebutnya NKRI.

Sayang, selama pengalaman negara despotik Orde Baru, NKRI itu sering kali ditampilkan dalam wajah negara dengan narasi tunggal penguasa dus anti terhadap segala bentuk perbedaan. Semua harus diseragamkan dan tidak diperkenankan mengambil pilihan yang bertolak belakang dengan penguasa. Kata Hatta, "persatuan" yang diam-diam menjadi "persatean". Lebih tragis lagi negara memosisikan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan hal ihwal, termasuk menafsir secara ontologis apa yang dimaksud "pemuda" itu.

Tersebutlah banyak peristiwa gelap yang berpusat pada kejadian-kejadian pelanggaran hak asasi manusia dan sampai hari ini belum tuntas penyelesaiannya secara hukum. Belum lagi korupsi yang nyaris berjemaah, penculikan dan kekerasan yang "direstui" negara, baik secara fisik maupun simbolik.

Kata-kata kemudian kehilangan daulatnya, bahkan dipaksa dialihkan kepada senjata seiring dengan angkatan bersenjata yang menguasai semua lini kehidupan politik bangsa. Kata-kata yang penuh "mantra" harus diberangus: buku yang dibakar, kitab yang dilarang beredar, risalah sastra yang haram disebar, bahkan kaum ilmuwan yang masih fasih berkata benar harus dibungkam.

Atas atmosfer jahiliah seperti ini ternyata tidak sedikit yang merindu untuk kembali ke alam kegelapan itu. Tragisnya datang dari sebagian kalangan yang mengaku cendekiawan, bahkan yang tempo hari ikut terlibat menumbangkan. Disahkannya UU Pilkada, diaraknya elite politik tak ubahnya pahlawan yang dahulu zaman kejayaan Orde Baru dijadikan musuh bersama, dan lain sebagainya.

Signifikasi Sumpah Pemuda

Justru di sinilah pentingnya Sumpah Pemuda itu dirayakan, sebagai interupsi ideologis atas segenap tata kelola negara yang bertentangan dengan akal sehat, menghinakan logika, dan bertubrukan dengan alam pikiran massa. Sumpah Pemuda harus terus digemakan justru ketika kesatuan bangsa terancam oleh banyak paham politik-keagamaan yang memiliki agenda tersendiri yang nyata-nyata menafikan eksistensi Pancasila dan UUD 1945.

Sumpah Pemuda mendapatkan tantangan manakala dalam proses berbangsa sampai hari ini, tanah air satu itu diam-diam bermetamorfosa menjadi "tanah air mata". Sementara bahasa Indonesia tidak pernah henti mengalami gempuran bahasa asing dan di sisi lain tidak pernah berhenti pula pemaknaannya dibajak oleh banyak kepentingan politik yang sesaat dan berjangka pendek. 

Bahasa sebagai pemersatu yang disebut Sutan Takdir Alisjahbana sebagai salah satu mukjizat abad ini bergeser mejadi penuh epimisme dan kosakata yang menyesatkan disesuaikan dengan kepentingan kelompok.

Bahasa Indonesia yang dahulu disarankan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1916 sebagai bahasa pengajaran karena kelugasan dan kesigapannya sekarang kita seolah tak menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia sekadar untuk Bakrie Tower, Jokowi effect, koalisi permanent, Pondok Indah Mall, The Lavande Residence, Mall of Indonesia, swalayan Indomaret. Bahkan, banyak pejabat dan bangsawan "pikir" yang seharusnya memberikan contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar sepertinya belum sempurna berpidato kecuali di sana-sini ditaburi ungkapan istilah asing.

Signifikasi perayaan juga terletak ketika sekarang pada babakan reformasi sebagai antitesa orde sebelumnya justru serba terbalik dalam berbagai hal, termasuk mengalami surplus kata-kata dan defisit makna. Setelah 17 tahun Orde Reformasi itu berlangsung, yang tersisa adalah parade pidato yang isinya tak berisi, berebut mikrofon sekadar untuk menyampaikan teriakan yang tak lebih isinya sumpah serapah kepada mereka yang tak sehaluan.

Pada awal abad ke-21, mengingat Sumpah Pemuda teirngat pada apa yang pernah dibilang La Tse, sang filsuf dari dataran Tiongkok, "Untuk memperbaiki negara, hal pertama yang harus dilakukan adalah terjaga dalam kata!"

Dalam konteks kepemimpinan baru di bawah nakhoda Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah saatnya tidak terlampau banyak bicara, apalagi memburu citra, tetapi selekasnya bekerja. Program unggulan yang meliputi kepastian kehadiran negara sebagai pelindung, pelayan, mewujudkan kemandirian, memperteguh kebinekaan, meningkatkan kualitas dan produktivitas rakyat, membangun dari pinggiran, revolusi mental, serta mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim dapat lekas terwujudkan.

Dengan demikian, "Indonesia Hebat" bukan sekadar mimpi.

ASEP SALAHUDIN
Intelektual Muda NU;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya



Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Diciptakan dengan Taruhan Nyawa

Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh Pemeritah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin, Indonesia pasti merdeka. KUNCARSONO PRASETYO SURABAYA C ATATAN singkat ini ditulis WR Soepratman di dalam Penjara Kalisosok, Surabaya, menjelang kematiannya pada 17 Agustus 1938, atau tujuh tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia meninggal di dalam bui setelah baru saja digerebek Polisi Rahasia Belanda. Selama lebih dari 10 tahun dia menjadi buruan polisi, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saat di penjara, ia sakit keras dan meninggal di dalam kesepian. Padahal Soepratman tidak pernah memanggul senjata seperti gambaran sosok pahlawan selama ini. Itu semua gara-gara biolanya yang menggesek lagu Indonesia Raya , lagu penggugah semangat yang diciptakannya.  Menurut Oerip Kasansengari, kakak ipar WR Soepratman, dalam bukunya Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raja (...

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

P olongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo. Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin D...

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI K urikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965". Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994. Bukan soal fakta Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelaja...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...