Langsung ke konten utama

Gambaran Utuh Para Gerilyawan

SESUNGGUHNYA, bagaimanakah bayangan kita mengenai para gerilyawan pejuang kemerdekaan?

Untuk masyarakat masa kini, gambaran mengenai para gerilyawan Indonesia tak bisa lain kebanyakan datang dari visualisasi yang sering nampak dalam layar perak atau layar kaca. Para pemuda berambut gondrong, berpakaian aneka macam dan selalu memenangkan setiap pertempuran.

Tentu, itu memang tidak keliru. Meski mungkin acap kali terlampau dilebih-lebihkan. Tetapi yang pasti, gambaran macam itu nampaknya agak kurang lengkap. Tidak utuh untuk bisa menggambarkan kenyataan sesungguhnya yang dialami. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, mengalami dua kali perang kemerdekaan sampai akhirnya kedaulatan diserahkan pada akhir tahun 1950.

"Tentu, tidak semuanya pejuang tulen. Ada saja yang suka macem-macem," kata Mayjen (purn) Slamet Danusudirdjo, anggota DPA. Dan Letjen (purn) Purbo Sugiarto Suwondo mantan Danjen Akabri melukiskan, "Tapi apa bedanya. Ada saja yang dulu pejuang tulen tapi kemudian menyeleweng. Juga yang bekas KNIL, tapi setelah diintegrasikan ke TNI, terbukti sangat berjasa dan bahkan bisa menjadi perwira tinggi." Setelah kedaulatan diserahkan, TNI tetap menjadi inti Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang nantinya bertumbuh menjadi APRI dan ABRI sekarang ini.

Sabtu siang, dalam ruang Serba Guna, lantai empat Museum ABRI Satria Mandala, Jakarta, secara terbuka penilaian mengenai para gerilyawan Indonesia diperbincangkan. Siang itu, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) bekerja sama dengan majalah Teknologi dan Strategi Militer (TSM), menyelenggerakan diskusi "Gerilya untuk Merdeka".

Tidak ada lagi hal tabu dibicarakan. Segera langsung terasa, para gerilyawan Indonesia yang terbukti sudah mampu mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia, dihadirkan secara manusiawi. Mereka bukan Rambo yang selalu memenangkan segala pertempuran, juga bukan suci seperti malaikat yang tak pernah terpeleset dalam dosa. Mereka, para gerilyawan, ditampilkan dalam bentuk manusia-manusia biasa, yang tak luput dari godaan, sering dihantui rasa takut, ada yang lemah, ada yang terjatuh dan malahan ada juga yang menyeleweng.

Munculnya pertanyaan-pertanyaan memancing dari peserta ikut menyegarkan suasana. "Kami ini waktu Perang Kemerdekaan belum ikut, masih terlalu kecil. Yang kami inginkan, bagaimana gambaran suasana masa itu?" Atau, "... lha kok selama ini yang selalu diungkapkan hanya kemampuan militer. Apakah dalam perang gerilya, rakyat tak berperan sama sekali?"

***

"MEMANG, sering sulit untuk menggambarkan suasana sebenarnya masa itu," kata Drs Bambang Sumadio, seorang pelaku sejarah dan siang itu jadi moderator diskusi. "Saya sekadar prajurit Tentara Pelajar, bukan tokoh dalam posisi ikut memutuskan."

Ia juga pernah punya pengalaman penting, termasuk salah seorang pengawal Jenderal Soedirman saat Panglima Besar bergerilya naik turun gunung. "Waktu itu, saya kalau ngrokok rokoknya ya merek Escort. Memang, itu rokok Belanda. Saya peroleh dari para bakul yang masuk wilayah pendudukan."

Pengalamannya yang paling berkesan justru ketika mendampingi Drs Nugroho Notosusanto almarhum berceramah di muka Seskau. "Ada pertanyaan, apakah di markas Panglima Besar terdapat peta-peta? Tentu, bayangannya karena seorang Panglima Besar, markasnya penuh peta-peta perang dan di sana duduk berjajar para jenderal-jenderal."

Slamet Danusudirdjo yang selalu memakai nama Pandir Kelana dalam novelnya berkisah tentang pengalaman pasukannya menghadapi godaan seorang janda cantik dan genit. Banyak anggota pasukan yang naksir. Namun semuanya juga merasa takut, bagaimana kalau bunting. Pihak petugas kesehatan menyampaikan jalan keluar, tak usah takut, asal diberi dua pil, pasti tidak bakal hamil. Begitulah, pagi harinya, sang janda ini malahan meraung-raung kesakitan. Semua gerilyawan kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Janda tersebut hanya menangis dan mengeluh, kupingnya berdengung sakit sekali. "Ternyata, malam itu ada empat orang anggota pasukan melakukan penyerbuan. Setiap orang memberikan dua pil. Tentu saja, paginya kuping sang lawan berdengung sakit sebab semalam menelan delapan pil ..." kata Pak Slamet, tenggelam dalam tepuk tangan riuh rendah.

Gambaran tentang perjuangan masa lalu memang sering sulit diberikan kepada remaja masa kini. Bukan hanya jarak waktu telah memisahkannya cukup panjang. Juga situasi dan tantangan-tantangan yang ada sudah amat berbeda. Belum lagi menjamurnya kisah-kisah heroik yang sering kurang proporsional dan justru malah bisa menyesatkan. Sebab, para gerilyawan lantas digambarkan sekadar bagaikan tokoh yang tak terjangkau, bagaikan mereka yang berada di atas awan. Karena itulah agaknya, kini dibutuhkan lukisan wajar dan manusiawi mengenai kenyataan masa gerilya.

***

DITINJAU dari segi hukum, para gerilyawan memang tak pernah diakui, kata Purbo Suwondo. Belanda sendiri dalam menghadapi gerilyawan Indonesia menyebutkannya sebagai ekstremis atau teroris. "Jadi, kalau waktu itu kita tertangkap Belanda ya langsung jadi bandit." Ini dialami, kata Pak Slamet Danusudirdjo, waktu dua orang anggota TNI akan meledakkan Jembatan Demak di Jateng. Jembatan belum meledak, sudah lebih dahulu tertangkap. Keduanya langsung dikirimkan ke Nusa Kambangan, disatukan dengan bandit-bandit biasa. "Kebetulan, mereka tersebut anggota dari pasukan yang komandannya sekarang ini jadi wakil presiden," kata mantan Dirjen Imigrasi ini menjelaskan.

Pengalaman yang banyak ditemui dalam Perang Kemerdekaan adalah bagaimana menghadapi satuan-satuan bersenjata di luar tentara reguler. Ini dikisahkan oleh Jenderal (purn) Soemitro, mantan Pangkopkamtib. "Waktu kami masuk ke Kota Malang, ternyata yang sudah ada di kota-kota adalah orang-orang Front Demokrasi Rakyat (FDR). Mereka itu sudah menguasai buruh, membentuk kelompok-kelompok bersenjata yang berkuasa di pinggiran kota." Meski demikian, Soemitro waktu itu segera berpesan, "Jangan takut, tak usah lari. Kita sama-sama punya musuh, Belanda."

Meski demikian pihaknya juga menyiapkan rencana tersendiri. Yakni mencatat siapa-siapa kelompok FDR yang tak lain kaum komunis tersebut. Dan kemudian, sambil melawan Belanda, mereka pun lalu dieleminir. Kebijakan tersebut terbukti sangat bermanfaat. Ketika kedaulatan tercapai, tidak terdapat gerombolan bersenjata meneror rakyat sebagaimana terjadi di wilayah Jateng dan Jabar. "Jadi, di Jatim waktu itu tak ada keributan berkepanjangan. Karena yang berkuasa adalah tetap tentara reguler. Senjata yang ada di tangan mereka yang tidak berhak bisa kita lucuti." Menurut Soemitro, langkah yang cepat dari para tentara reguler meski dalam kondisi perang gerilya bisa menangkal kemungkinan kekacauan berkelanjutan seperti yang sekarang dialami di Afganistan.

***

HARUS dimaklumi organisasi militer Republik Indonesia di masa Perang Kemerdekaan belum semulus sekarang. Sejarawan Drs Amrin Imran menyebutkan, serbuan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 ke Yogyakarta menunjukkan terjadinya pendadakan. "Sebab Panglima Komando Djawa Kolonel Nasution saat itu justru sedang melakukan perjalanan keluar kota." Pada sisi lain, dia juga memperkirakan, dalam melakukan perang gerilya TNI lebih banyak mengandalkan diri hanya kepada naluri. Amrin Imran juga menangkap kesan, ada tanda kepercayaan diri dari pimpinan militer bahwa kepada seluruh eselon bawahan sudah diberikan instruksi bagaimana menangkal serbuan Belanda.

Soemitro mengungkapkan, dalam menghadapi Perang Kemerdekaan I, TNI melawan hanya secara naluri karena memang tidak pernah menerima instruksi apa-apa. Namun pada Perang Kemerdekaan II, mereka sudah menerima instruksi dari Panglima Besar yang disampaikan oleh Panglima Djawa. "Singkatnya, isi instruksi dua hal. Pertama, dalam menghadapi serbuan Belanda kita tak perlu bertahan liniair, tapi harus membuka diri ke samping kemudian langsung menutup kembali dan membentuk wilayah pertahanan, Wehr Kreise. Kedua, dengan sistem Wingate, TNI harus masuk kembali mengacau musuh." Wingate nama Jenderal Inggris pemimpin gerilya di Birma selama Perang Dunia II. Ia melakukan taktik menyelundup masuk menembus pertahanan musuh, sistem yang kemudian dipakai TNI dalam bergerilya.

Orang bisa saja memperdebatkan, apakah kemenangan akhir kita lebih karena perjuangan militer atau justru karena kelihaian diplomasi. Yang pasti, para gerilyawan Indonesia telah mengukir sejarah bermakna dalam mengalahkan musuhnya, Tentara Belanda.

"Now it can be told, kini boleh diceriterakan ..." kata Purbo Suwondo. Sebuah misi TNI ABRI dipimpin Mayjen Soewarto almarhum, pernah dikirim ke Aljazair melatih para gerilyawan setempat untuk mengusir pasukan Perancis. Sistem yang dipakai di Aljazair, malah juga diistilahkan mengacu pada sistem pertahanan wilayah. Atau seperti pengalaman Slamet Danusudirdjo, "Pada usia 23 tahun, dalam pangkat Letnan II saya sudah menjabat Kepala Staf Sub-Territorium, kalau sekarang ya Korem."

Inilah gambaran utuh para gerilyawan kita. Dalam usia begitu muda mereka rela dan berani menyabung nyawa. Hasilnya, antara lain musuh berperalatan modern terusir dan kemerdekaan serta kedaulatan tercapai. Sesuatu yang kini kita semua ikut nikmati. (Julius Pour)



Sumber: Tidak diketahui, 14 Agustus 1989



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Silsilah dan Karya Douwes Dekker

Dr Ernert Francois Eugene Douwes Dekker alias Dr. Danudirja Setiaboedi lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879 sebagai anak ketiga dari keluarga Auguste Henri Eduard Douwes Dekker dan Louise Margaretha Neumann . Mereka menikah pada tahun 1875 di Surabaya. Auguste D. D. adalah anak pertama dari Jan Douwes Dekker (lahir di Ameland, Nederland, pada tanggal 28 Juni 1816) saudara kandung  dari Eduard D. D. alias Multatuli. Ayah dan ibu berturut-turut bernama Engel D. D. dan Sietske Klein . Dengan demikian ayah dan ibu Multatuli juga adalah orang tua dari Jan D. D., kakeknya Dr. E. F. E. Douwes Dekker. Jadi bukan sebagaimana dikatakan bahwa ayah Multatuli adalah kakak dari kakeknya ( Kompas , 11-9-1982, halaman IX, kolom 9). Jan D. D. meninggalkan profesinya sebagai kapten kapal ayahnya sendiri untuk menjadi petani tembakau di Desa Bowerno, Bojonegoro. Ia meninggal pada 11 September 1864 di Gresik. Dr. Ernest D. D. alias Dr. Setiaboedi kawin 11 Mei 1903 di Betawi denga...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Jejak Kerajaan Pasai Ditemukan: Diduga Wilayah Agraris

LHOKSEUMAWE, KOMPAS -- Ada titik terang terkait jejak Kerajaan Samudra Pasai. Tim peneliti setempat menemukan bukti penting berupa makam kuno dan stempel kerajaan. Temuan baru ini memperkaya bukti jejak kerajaan yang berdiri di pesisir timur Sumatera pada abad ke-13 itu. "Bukti sejarah Kerajaan Pasai itu terkonsentrasi di empat gampong (desa) di Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Timur. Sebagian besar dalam kondisi telantar. Oleh karena itu, pemerintah harus melindungi agar tidak hilang," kata Ketua Yayasan Waqaf Nurul Islam Tengku Taqiyudin Muhammad, di Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, Sabtu (21/3). Taqiyudin menduga empat gampong, yaitu Kuta Krueng, Beuringen, Blang Mee, dan Keude Geudong, di Kecamatan Samudra, merupakan pusat Kerajaan Pasai. Ribuan batu nisan di tempat ini memperkuat dugaan itu. "Di antara batu nisan yang kami temukan ada yang lebih tua dari batu nisan yang pernah ditulis oleh sumber sejarah," tutur Taqiyudin, alumnus Universitas Al Azhar Ca...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...