Langsung ke konten utama

Piagam Jakarta: Kisah Tujuh Kalimat Sakral

Untuk membuat artikel ini, saya terlebih dahulu mendatangi sebuah gedung di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Karena di gedung yang dibangun pada awal abad ke-20 inilah, tempat bersidangnya para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa kolonial Belanda gedung yang hingga kini masih tampak antik dan anggun itu bernama Gedung Volksraad. Tempat para 'wakil rakyat' yang diangkat oleh pemerintah jajahan mengadakan sidang-sidang. Sampai awal tahun 1970-an gedung ini masih ditempati oleh Departemen Kehakiman. Kemudian dijadikan sebagai gedung BP-7 yang sejak reformasi dibubarkan.

Gedung yang terletak bersebelahan dengan Deplu, dahulunya bersama-sama dengan gedung di kawasan Pejambon lainnya merupakan tanah pertanian milik Anthony Chastelin, yang juga memiliki tanah serupa di Depok. Bahkan, anggota Dewan VOC yang kaya raya inilah yang membangun Depok, ketika ia menghibahkan tanah miliknya itu kepada ratusan budak dengan syarat mereka harus mengubah agamanya menjadi Kristen Protestan.

Ketika 55 tahun lalu PPKI di bawah pimpinan Bung Karno bersidang di sini, di sekitarnya masih terdapat sebuah taman yang dikenal dengan sebutan Hertogpark atau Taman Bangsawan. Menunjukkan tempat ini sejak lama merupakan daerah elit. Di gedung inilah pada 22 Juni 1945 lahir Piagam Jakarta. Tanggal tersebut tiap tahun diperingati dengan meriah oleh warga Jakarta.

Tapi, bukan untuk memperingati lahirnya Piagam Jakarta, melainkan HUT Kota Jakarta. Karena pada 22 Juni 1527, Fatahillah, seorang pejuang dan mubaligh yang diutus oleh Sultan Demak, berhasil menaklukkan armada-armada Portugis di Sunda Kelapa.

Sedangkan lahirnya Piagam Jakarta, sejauh ini baru diperingati satu kali, yakni pada 1963. Dalam pidatonya Menhankam/KSAB Jenderal Nasution mengungkapkan waktu itu ada 52 ribu pucuk surat dari ulama dan tokoh Islam seluruh Indonesia yang isinya berupa saran tentang dasar-dasar negara yang mesti diperjuangkan. (KH Firdaus AN: Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru).

Untuk lebih memperjelas tulisan ini, sebaiknya kita kembali dulu pada saat-saat menjelang bertekuk lututnya balatentara Dai Nippon dari sekutu. Sebelum bom atom dijatuhkan ke Hiroshima (6-8-1945) dan Nagasaki (9-8-1945), di Jakarta para pemimpin bangsa telah bersiap-siap untuk menyongsong kemerdekaan. Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang, diketuai oleh Dr Radjiman Wediodiningrat.

Dalam salah satu pidato pembukaannya pada 29 Mei 1945, Dr Radjiman dalam pidato singkatnya bertanya kepada para anggota: "Negara yang akan kita bentuk ini apa dasarnya?" Sejak saat itu terdapat dua kubu yang berbeda tajam. Yakni, kubu Islam yang menghendaki dibentuknya Negara Islam dan kubu nasionalis yang menghendaki negara bebas dari pengaruh agama.

Sidang yang berlangsung pada 1 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi antara kedua kubu yang saling berlawanan itu. Setelah pidato Bung Karno selama satu jam, Dr Radjiman membentuk panitia kecil yang terdiri dari semua aliran. Panitia kecil ini kemudian menunjuk sembilan orang yang akan merumuskan pidato Bung Karno itu sebagai kompromi antara kedua kubu yang bertentangan. Rumusan kompromi ini mereka namakan Piagam Jakarta yang kita kenal sekarang ini. Piagam Jakarta ini ditandatangani oleh sembilan orang. Mereka mencerminkan aliran-aliran Islam, Nasionalis dan Kristen.

Sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta merupakan para tokoh masyarakat terkemuka waktu itu. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs Muhammad Hatta, Mr AA Maramis (tokoh Kristen waktu itu), Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Moezakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur dan putra pendiri NU KH Hasyim Ashari), dan Mr Muhammad Yamin.

Yang menyebabkan kubu Islam mengendurkan tuntutannya atas negara Islam adalah kalimat-kalimat dalam alinea empat pada pembukaan UUD 45 yang berbunyi : " ... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Sejumlah ahli hukum dan intelektual waktu itu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Piagam Jakarta ini. Prof Dr Soepomo menyatakan, Piagam Jakarta merupakan "Perjanjian Luhur". Dr Sukiman menyebutnya "Gentlemen Agreement", dan Mr Muhammad Yamin menamakan "Jakarta Charter". Sedangkan Prof Dr. Drs Notonagoro SH menjulukinya: "Suatu perjanjian moril yang sangat luhur".

Sayangnya, Piagam Jakarta tidak berumur panjang. Hanya 56 hari saja. Karena, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI (18 Agustus 45), piagam ini dicoret oleh mereka yang kurang menghayati isi dan makna perjanjian itu. (KH Firdaus AN: Dosa-dosa Politik Orla dan Orba).

Peristiwanya dimulai ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, belum genap 12 jam proklamasi dikumandangkan, datang telepon dari seorang Jepang, pembantu Laksamana Maeda yang ingin menemui Bung Hatta. Ternyata orang Jepang ini menyampaikan pesan seorang Nasrani dari Indonesia Timur. Tokoh Nasrani itu keberatan dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kalau kata-kata ini masih tercantum kaum Nasrani di Indonesia bagian Timur akan keluar dari RI. Padahal, esok harinya akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan mensahkan UUD yang rampung disusun BPUPKI.

ooo

Sampai tahun 1984 masih misterius dan tidak ada satu buku pun di Indonesia yang menjelaskan siapa gerangan yang memberi ultimatum (melalui Jepang) itu. Barulah setelah Cornell University di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia disebutkan bahwa tokoh itu adalah Dr Sam Ratulangi.

Kasman Singodimedjo, dalam memoarnya menyambut 75 tahun usianya menyatakan: "Ia yang baru diangkat sebagai anggota PPKI mendapat panggilan dari Bung Karno selaku ketuanya agar hadir di pertemuan tersebut."

"Waktu saya tiba di Pejambon, terbukti masih sedang ramainya diadakan lobbying di antara anggota-anggota panitia. Dan tidaklah sulit bagi saya untuk segera mengetahui apakah yang sedang jadi persoalan serius itu."

Menurut tokoh Masyumi yang pernah ditahan di masa pemerintahan Bung Karno itu, pengusul yang menginginkan agar tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta dihilangkan adalah mereka yang mengambil kesempatan dari keadaan psikologis waktu itu. 

Karena baru sehari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, maka diperlukan kekompakan dan persatupaduan dari seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali. Apalagi, waktu itu dikhawatirkan kita akan menghadapi tentara Sekutu di mana Belanda merupakan anggotanya. Sementara balatentara Jepang masih berkeliaran di mana-mana dengan senjata lengkap.

Sekalipun demikian, menurut Kasman, pihak Islam tidak mau begitu saja usul dari non-Muslim. Bung Karno sendiri saat-saat lobby sengaja tidak mau ikut bahkan menjauhkan diri dari ketegangan dan kesengitan. Mungkin karena beliau sebagai ketua panitia dan terutama sebagai peserta panitia sembilan merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya. Karenanya, ia hanya mengirimkan putra Aceh, Tengku Muhammad Hasan ke gelanggang lobby.

"Saya pun di dalam lobbying itu ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara keseluruhan tanpa pencoretan tujuh kata. Tapi, saya pun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan adanya situasi darurat dan terjepit sekali," kata Kasman Singodimedjo.

Menurut Kasman, "Jepitan itulah yang membuat kelompok Islam tidak dapat ngotot. Meskipun begitu Ki Bagus dkk dibantu terutama oleh amandemen Bung Hatta masih berusaha juga di dalam lobbying. Dan akhirnya berhasil juga dalam sidang formal PPKI dengan pencoretan 7 kalimat itu minus "keTuhanan", yang diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Ada yang mempertanyakan kenapa ketika itu kaum Nasionalis menggarap Ki Bagus Hadikusumo, padahal ia bukan penanda tangan Piagam Jakarta. Menurut Firdaus AN, karena ia seorang moderat. Tidak seberat tokoh-tokoh lainnya seperti H Agus Salim, Abikusno, A Kahar Muzakar dan Mohammad Yamin.

Akan tetapi, menurut Kasman, Ki Bagus yang ketika itu menjawab sebagai ketua umum PP Muhammadiyah sebenarnya ingin mempertahankan Piagam Jakarta. Tapi, tokoh ini baru mau melepas keinginannya itu setelah oleh Kasman dijelaskan mengenai situasi negara waktu itu--yang memerlukan kesatuan dan persatuan bangsa.

Tapi, Firdaus AN (76), yang sejak mudanya pernah duduk dalam pimpinan berbagai ormas Islam seperti PII, GPII dan PSII, mempertanyakan apakah kesediaan tokoh-tokoh Islam dalam pencoretan Piagam Jakarta menunjukkan toleransi atau kapitulasi. Yang jelas, menurutnya hal itu punya dampak luas bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti timbulnya pemberontakan di daerah-daerah. Dimulai dengan DI/TII pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat (7 Agustus 1949), Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1952), Daud Beureuh di Aceh (1953), dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan (1953).

[] alwi shahab



Sumber: Republika, 18 Agustus 2000



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...

TRAGEDI HIROSHIMA: Maaf Itu Tidak Pernah Terucapkan ....

Di mata rakyat Jepang, nama Paul Warfield Tibbet Jr menyisakan kenangan pedih. Dialah orang yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dalam sekejap pada 6 Agustus 1945 lalu. Yang lebih pedih lagi, Tibbets, seperti juga pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah mau meminta maaf atas perbuatannya itu. Akibat bom atom 'Little Boy' berbobot 9.000 pon (4 ton lebih) yang dijatuhkan dari pesawat pengebom B-29 bernama Enola Gay, 140 ribu warga Hiroshima harus meregang nyawa seketika dan 80 ribu lainnya menyusul kemudian dengan penderitaan luar biasa. Sebuah kejadian yang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perang yang pernah ada di muka bumi. Hingga kini seluruh rakyat Jepang masih menanti kata 'maaf' dari pemerintah AS atas perbuatan mereka 62 tahun silam itu. Paling tidak, Tibbets secara pribadi mau menyampaikan penyesalannya. "Tapi ia tidak pernah meminta maaf. Seperti juga pemerintah AS, ia justru beralasan bom itu telah menyelamatkan jutaan orang Amerika dan Jepa...

Jiwa Bandung Lautan Api

Ingan Djaja Barus Staf Khusus di Dinas Sejarah Angkatan Darat Ingat anak-anakku  sekalian. Temanmu,  saudaramu malahan ada  pula keluargamu yang mati  sebagai pahlawan yang tidak  dapat kita lupakan selama- lamanya. Jasa pahlawan kita  telah tertulis dalam buku  sejarah Indonesia. Kamu  sekalian sebagai putra  Indonesia wajib turut mengisi  buku sejarah itu - Pak Dirman, 9 April 1946 T ANGGAL  24 Maret 1946, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kita, yaitu Bandung Lautan Api. Suatu peristiwa patriotik yang gemanya abadi di setiap hati. Tak hanya bagi mereka yang pernah hidup dalam masa berlangsungnya peristiwa itu, tetapi juga bagi mereka yang lahir lebih kemudian. Pada hakikatnya peristiwa "Bandung Lautan Api" merupakan manifestasi kebulatan tekad berjuang dan prinsip "Merdeka atau Mati" TNI AD (Tentara Republik Indonesia/-TRI waktu itu) bersama para pemuda pejuang dan rakyat Jawa Barat. Mereka bergerak melawan...