Langsung ke konten utama

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

Bali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan.

Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno.

Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Maatsir. Ia bercerita panjang lebar tentang asal usul masyarakat kampungnya, sejarah Masjid Nur, hubungan antaretnis dan agama dan manuskrip Alquran yang tersimpan di masjid tersebut. Menurutnya nenek moyang mereka yang Muslim itu berasal dari Sasak (suku di Nusa Tenggara Barat) yang telah pindah ke Pulau Bali sejak berabad lamanya. Namun, ia tidak secara terinci menyebutkan abad keberapa, namun secara eksplisit ia merujuk dengan berdirinya Masjid Kramat (kini bernama Masjid Nur) yang telah berdiri sejak kedatangan Ibnu Batuthah seorang sejarawan Muslim terkemuka di abad 15 M. Bisa kita bayangkan eksistensinya itu--paling tidak--sebelum menganalisa secara historis lebih jauh.

Bentuk masjid itu memang sudah banyak mengalami perubahan. Namun bentuk aslinya masih dapat dilihat pada bangunan mimbar kayu penuh ukiran floral gaya Bali dan pintu gerbang yang juga terbuat dari kayu. Dua benda itulah yang dipertahankan untuk dijadikan 'alat bukti' kekunoannya.

Salah satu peninggalan Islam di Bali yang fenomenal yaitu manuskrip Alquran tertua di Indonesia yang terdapat di Singaraja. Kitab suci itu berangka tahun 1035 H/1626 M sebagaimana diteliti Prof Dr Hasan M Ambary seorang arkeolog senior di Puslit Arkenas, Jakarta. Hebatnya lagi, menurut Pak Haji Abdullah yang menemukan mushaf itu pada tahun 1953, Alquran itu ditulis oleh Anak Agung Ngurah Jelantik Panji Sakti putera Raja Buleleng yang masuk Islam. Unik kiranya, Alquran itu terdapat di wilayah yang identik dengan umat lain dan lagi Islam minoritas di situ.

Keturunan suku Sasak adalah mayoritas Muslim di Singaraja. Tapi tidak menutup kemungkinan etnis lain, apalagi kini Singaraja telah menjadi sebuah kawasan yang tak lagi dirambati semak belukar dan pepohonan liar. Ia dipenuhi bangunan beton dan modernisme sebagai ciri perkotaan. Tapi suasana kultural dan keislaman tetap terasa dan dipertahankan sebagaimana ditegaskan Haji Abdullah mengingat arus global yang dibawa lewat jalur wisata begitu besar.

Hubungan antaretnis dan agama juga telah dipupuk dengan kesadaran kultur yang inklusif dan saling membantu. Haji Abdullah mencontohkan bagaimana hubungan itu telah dibina cukup lama lewat pembangunan Masjid Nur itu di mana mihrab dan pintu gerbang masjid merupakan sumbangan Raja Buleleng saat itu.

Di Singaraja tatanan masyarakat begitu signifikan dengan warna ke-Islam-an yang kentara. Pluralitas etnis Muslim yang terdiri dari pribumi Bali, Lombok, Sasak, Melayu, dan keturunan Arab bercampur baur dalam suasana harmonis. Ibaratnya, ia menggambarkan kosmopolitanisme Islam. Gaya bangunan rumah juga mencerminkan tidak adanya dominasi gaya Hindu Bali, malah banyak juga yang bergaya arsitektur Islam.

Sebetulnya bukan saja Singaraja yang merupakan settlement masyarakat Muslim di Bali. Ada kantung-kantung pemukiman lainnya yang dapat kita temui di Karangasem (Kecicang) dan Jembrana (Loloan) serta lainnya yang juga memiliki signifikasi atau karakter sedikit berbeda dengan Singaraja. Umpamanya di Loloan, di mana masyarakat Muslimnya memiliki logat dan gaya bahasa Melayu (misalkan negara jadi negare).

Agaknya asing dan aneh bagi kita yang belum pernah menginjakkan kaki ke Bali--yang dianggap surga dewata--ketika mendengar ada saudara-saudara Muslim kita hidup berdampingan di tengah-tengah hegemoni masyarakat yang 'by nature' alias membumi Hindu dengan segala simbol-simbol keagamaannya yang diekspose untuk memperkenalkan budaya kepariwisataannya.

Penulis berharap jika Anda berkesempatan ke Bali, jangan hanya Kuta, Besakih, atau Ubud yang Anda kenali atau jangan pula sampai terperangkap negatifnya wisata 3S (Sun, Sand, and Sex) tapi jadikan wisata sebagai upaya menikmati kebesaran Tuhan dan menambah pengetahuan termasuk kunjungan ke Singaraja. []

ahmad baihaqi, pemerhati sejarah dan alumni iain jakarta



Sumber: Republika, 21 Januari 2000



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...