Langsung ke konten utama

Sunan Drajat, Syiarkan Islam Secara Santun

Pada masa balita, Raden Syarifudin--kelak di kemudian hari lebih dikenal sebagai Sunan Drajat--sering sakit-sakitan. Kondisi fisiknya memang tergolong lemah. Karena itu, barangkali, semula tak ada yang menyangka bahwa setelah dewasa dia mampu mengemban tugas berat dan sangat melelahkan: menjadi wali penyebar agama Islam.

Tapi, memang, durian tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Raden Syarifudin bisa berperan selaku seorang wali karena sang ayah juga salah seorang wali sembilan: Sunan Ampel. Jadi, sejak kecil Raden Syarifudin secara tidak langsung sudah disiapkan menjadi penyebar Islam. Begitulah, Sunan Ampel menggembleng dia mengenai ajaran Islam. Sejak usia dini, dia sudah memahami ilmu fiqih, tauhid, juga soal moral dan akhlak Islami.

Itu pula yang dilakukan Sunan Ampel terhadap putranya lain yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Hanya, jika Sunan Bonang berkiprah menyebarkan Islam di kawasan Tuban, Raden Syarifudin alias Sunan Drajat memilih wilayah dakwah di kawasan Gresik dan Lamongan.

Sang ayah sendiri, Sunan Ampel, melakukan syiar Islam di kawasan Ampel Denta Surabaya. Jadi, antara mereka bertiga, saling berbagi wilayah "kekuasaan" dalam konteks penyebaran Islam di tanah Jawa belahan timur ini.

Pendekatan Sunan Drajat dalam berdakwah ini, seperti juga wali-wali lain, terkenal santun: menghormati fenomena budaya masyarakat ketika itu. Tak heran jika penyebaran Islam yang dia lakukan nyaris tak memercikkan konflik serius, entah dengan pemeluk Hindu dan Budha maupun pemerintah. Padahal dakwah yang dia lakukan sungguh membuahkan hasil gilang-gemilang secara damai: pemeluk Hindu dan Budha berbondong-bondong beralih memeluk Islam.
***
Pada masa awal perkembangan Islam di Jawa ini, mayoritas penduduk di wilayah Gresik dan Lamongan sangat menggandrungi seni musik dan seni suara. Itu pula yang menjadi strategi Sunan Drajat dalam melakukan syiar Islam. Sebelum berdakwah, dia bersama para santrinya biasa terlebih dulu melakukan pergelaran musik dan tembang-tembang Jawa. Di sela pergelaran itu, Sunan Drajat secara santun dan halus mensyiarkan ajaran Islam.

Demikian halusnya ceramah agama yang disampaikan Sunan Drajat, para penonton pertunjukan musik yang dia gelar sungguh dibuat terpana dan tersentuh. Memang mereka tak serta-merta tergerak berikrar mengucapkan syahadat. Tapi dakwah Sunan Drajat yang telanjur meresap di kalbu, tak pelak lagi membuat mereka lambat-laun berpaling dan menjadi pemeluk Islam.

Kenyataan itu tak membuat gerah ataupun berang penguasa Majapahit. Selain karena dakwah yang dilakukan Sunan Drajat tak menekankan kerukunan dengan pemeluk keyakinan lain, mungkin itu karena Raden Syarifudin masih terhitung cucu Prabu Brawijaya V.

Ibunda Sunan Drajat yang bernama Candrawulan memang salah seorang puteri Prabu Brawijaya V yang diperistri Sunan Ampel. Jadi, dalam melakoni dakwah ini, penguasa Majapahit sama sekali tak menjadi batu sandungan bagi Sunan Drajat.
***
Selain memperoleh didikan agama dari ayahnya sendiri, Sunan Drajat juga menerima gemblengan serupa dari sejumlah ulama besar pada masa itu. Tak hanya di Jawa, ulama yang sempat dia datangi selama sekian waktu untuk nyantri ini juga terletak di negeri Pasai (Aceh). Tapi khusus wawasan sosial-budaya--faktor yang kelak terbukti sangat menunjang keberhasilan dalam melakukan syiar Islam--lebih banyak dia timba dari Sunan Ampel.

Entah berapa lama Sunan Drajat menghabiskan waktu bagi penyebaran agama Islam ini. Yang pasti, kiprahnya sungguh tak terbantah sekaligus mengundang penghormatan kaum Muslim. Lihat saja, setiap saat makamnya yang membujur di kawasan Gresik senantiasa dilimpahi peziarah. Teristimewa pada malam Ramadhan ke-21, 23, 25, 27, dan 29--saat-saat yang diyakini sebagai momen turunnya lailatulqadar--kehadiran mereka sungguh meluber. Mereka seolah berlomba memanfaatkan kesempatan itu untuk mengumandangkan tahlil dan ayat-ayat Qur'an sebagai wujud penghormatan terhadap kiprah Sunan Drajat dalam konteks sejarah Islam. ***

Oleh M Zen



Sumber: Suara Karya, 7 Januari 2000



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...