Langsung ke konten utama

Pasarean Aermata, Situs Kebesaran Islam Bernuansa Persatuan Antar-umat Beragama

Sepintas kilas, situs makam tua di puncak Bukit Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, itu tak menyiratkan keistimewaan apa pun. Apa yang nampak dari kejauhan, tak lebih dari sekadar 3 cungkup angker, menyembul dari balik pagar keliling warna hitam legam. Selebihnya, hanyalah suasana yang sunyi-mati.

Tetapi, suasana akan menjadi lain jika pengunjung sudah menyatu dengan kompleks makam tua peninggalan abad ke-16 s/d 17 itu. Pasarean "Aermata", demikian Rakyat Madura biasa menyebut situs kuno itu, ternyata menawarkan peninggalan sejarah, sekaligus cagar budaya yang tak ternilai harganya.

Secara pisik, kompleks Pasarean Aermata terdiri dari 3 buah cungkup utama, sebuah museum, serta sebuah peringgitan--tempat juru kunci menerima pelancong, peziarah, dan pengunjung dengan ragam kepentingan lainnya. Di 3 cungkup utama inilah bersemayam kuburan raja-raja Islam dari Kraton Bangkalan, semuanya keturunan Panembahan Cakraningrat I alias Raden Praseno hingga 7 turunan.

"Kecuali Panembahan Cakraningrat I, III, dan IV, semua raja Bangkalan dan kerabatnya dikuburkan di Pasarean Aermata ini," kata Moh Jasam (59), juru kunci Pasarean Aermata. "Mereka semua adalah para pemeluk agama Islam yang saleh," tambahnya.

Menurut Jasam, Panembahan Cakraningrat I dikuburkan di Imogiri, menyatu dengan kompleks makam Raja-Raja Mataram di masa kejayaan Sultan Agung. Itu bisa dimaklumi, karena semasa hidupnya, Raden Praseno alias Cakraningkat I, lebih banyak meluangkan waktunya di Kerajaan Mataram. Itu terjadi karena Kraton Bangkalan pada abad ke-16 silam memang di bawah kendali (taklukan-Red) Mataram, sementara Raden Praseno termasuk orang kesayangan Sultan Agung.

Panembahan Cakraningrat III memang tak ada kuburannya, karena beliau gugur dalam pertempuran di luar melawan Kompeni, Belanda. "Sedangkan Panembahan Cakraningrat IV alias Sedingkap, kuburannya ada di Afrika Selatan," ungkap Jasam. Itu terjadi karena sang panembahan dibuang Belanda ke Afrika Selatan, setelah kalah dalam pertempuran yang sengit.

Langka

Sebagai situs sejarah, Pasarean Aermata tidak hanya meninggalkan jejak kejayaan Raja-Raja Islam di Pulau Madura bagian barat (Kabupaten Bangkalan-Red). Lebih dari itu, kompleks makam tua di puncak Bukit Buduran itu juga menawarkan keelokan seni arsitektur dan seni ukir yang unik, langka, artistik, penuh daya pikat.

Semua keunikan itu sudah bisa dinikmati pengunjung mulai dari dasar bukit. Jelasnya, begitu turun dari kendaraan di dasar bukit, atau tepat di depan balai desa Buduran, pengunjung langsung disambut deretan tangga bertingkat sepanjang 200 meter lebih menuju pusat makam di puncak bukit. Uniknya, seperti kebanyakan situs purbakala di Pulau Jawa, Candi Borobudur dan Prambanan, misalnya, deretan tangga di kompleks Pasarean Aermata, termasuk pagar pengapit di sisi kiri dan kanan tangga, terbuat dari susunan batubata tanpa perekat semen.

Di penghujung tangga antik itu, barulah pengunjung akan berhadapan dengan pintu gerbang utama Pasarean Aermata. Pintu gerbang ini pun berwujud tumpukan batubata tanpa perekat, sementara di bagian kiri-kanan dan atap pintu penuh asesori ukiran artis, berikut hiasan kemuncak dan memolo antik. "Sepintas, bangunan pintu gerbang ini mirip pintu gerbang pada candi-candi di Pulau Jawa," komentar Amiruddin (49), seorang peziarah.

Setelah melewati pintu gerbang utama, barulah pengunjung berhadapan dengan puncak kemegahan seni arsitektur Pasarean Aermata. Tiga buah cungkup utama yang ada di dalamnya, berikut bangunan museum tua berisi perabotan, senjata, dan batu kebesaran raja-raja dan peringgitan untuk menerima tamu, benar-benar menyiratkan keunikan bangunan tempo dulu. Selain penuh asesori seni ukir dan hiasan memolo, kemuncak dan joglo antik, masing-masing bangunan dan pagar keliling yang mengitarinya juga terbuat dari tumpukan batubata tersusun rapi, tanpa perekat semen. Di sini, ada kesan bahwa kehebatan para seniman arsitektur tempo dulu, rasanya amat sulit disaingi oleh para "insinyur" di era abad modern saat ini sekalipun.

Simbol persatuan

Bagi para pengunjung, entah itu peziarah, wisatawan, atau pemerhati seni dan ilmuwan yang melongok kompleks Pasarean Aermata, ada aturan dan tatakrama tersendiri jika sudah berhadapan dengan 3 cungkup utama tempat makam para raja-raja. "Sebelum melihat-lihat cungkup terdepan dan cungkup tengah, siapa pun pengunjung itu, wajib sowan ke cungkup di bagian paling belakang dulu," kata Jasam. Mengapa? "Saya juga tidak tahu, tapi begitulah aturan yang diwariskan leluhur kami," tambahnya.

Yang jelas, cungkup terbelakang itu merupakan situs paling tua dan amat dikeramatkan para ahli tirakat di Pulau Madura. Siapa bersemayam di balik cungkup keramat itu? Ternyata, di cungkup bersuasana redup, angker, dan sakral ini, bersemayam kuburan Kanjeng Ratu Syarifah Ambami (1546 - 1569) alias Ratu Ibu, permaisuri Panembahan Cakraningrat I.

Bagusnya, warangka kuburan Ratu Ibu ini terbuat dari batu pualam putih (semacam marmer atau onyk--Red), penuh bertabur ukir-ukiran indah. Hanya saja, cungkup yang menaungi makam Kanjeng Ratu Ibu ini tak menyiratkan bangunan bernuansa kepurbakalaan. Tetapi sudah mendekati bangunan semi modern. Maklum, cungkup ini memang baru dibangun pada tahun 1970-an silam dengan biaya Rp 300 juta lebih.

Sebelumnya, menurut Jasam, kuburan Syarifah Ambami memang tak dinaungi cungkup atau bangunan apa pun, kecuali tergelar di alam bebas." Konon, menurut para tetua di sini, makam Ratu Ibu memang enggan dipayungi cungkup. Dulu, setiap kali dibangun cungkup selalu roboh dan roboh terus," ceritera Jasam.

Sejarah ternyata membuktikan Kerajaan Bangkalan hanya diperintah keturunan Cakraningrat I hingga 7 turunan saja. Kuburan mereka semua ada di cungkup bagian tengah dan cungkup terdepan. Di cungkup tengah, bersemayam kuburan Panembahan Cakraningrat II berikut anak-cucu plus kerabat kraton di masa pemerintahannya pada abad ke-16.

Di cungkup bagian tengah inilah, puncak kemegahan seni arsitektur dan seni ukir Pasarean Aermata tersaji. Betapa tidak, di sepanjang dinding yang melatari kuburan raja-raja di cungkup ini, sepenuhnya bertahtakan konfigurasi seni ukir antik, unik, indah, dan artistik. Taburan seni ukir serupa, juga menghiasi seluruh warangka makam raja-raja dan kerabat kraton yang ada di dalamnya. Bagusnya, semua ukiran itu, baik warangka kuburan maupun dinding yang menjadi latar, dipahat di atas batu pualam putih kemilau. Dampaknya, jika malam sedang berselimut kegelapan, semua seni ukir itu nampak memancarkan sinar yang gemerlap.

Lebih mengagumkan lagi, wujud dari konfigurasi seni ukir yang ada, ternyata menyiratkan perpaduan seni ukir Islam, Hindu, dan Budha. Asesori seni ukir Islam, misalnya, tersaji dalam bentuk kaligrafi amat halus. Itu pun saling bertautan dengan ukiran bunga teratai dan miniatur patung ganesha (gajah--Red), yang merupakan simbol dari agama Budha dan Hindu.

Simpulnya, taburan seni ukir di cungkup bagian tengah ini seakan merupakan "simbol" persatuan dan persaudaraan antar-umat beragama di Pulau Madura pada abad ke-16 silam. Logikanya, di masa pemerintahan Cakraningrat dulu, kerukunan antar-umat beragama di Madura benar-benar bisa hidup berdampingan dalam konteks yang amat harmonis.

Sementara di bagian cungkup terdepan, bersemayam kuburan Panembahan Cakraningrat ke-V s/d ke-VII, berikut anak-cucu dan keturunan mereka lainnya. Di cungkup peninggalan abad ke-17 ini pun, juga penuh bertabur seni ukir yang elok. Hanya saja, jika dibanding dengan apa yang ada di cungkup bagian tengah, konfigurasi seni ukir di cungkup terdepan ini nampak lebih kasar. 

Kehebatan nilai seni ukir di kompleks Pasarean Aermata tidak hanya terbukti lewat buaian kata-kata. Terbukti, ketika seni ukir Pasarean Aemata diikutkan lomba seni ukir peninggalan purbakala se-Asia tahun 1975, berhasil keluar sebagai juara pertama, mengalahkan seni ukir yang ada di candi-candi Pulau Jawa, Thailand, Jepang, bahkan berada di atas nilai seni ukir Candi Angkor Wot yang kesohor di Kamboja." Jadi Pasarean Aermata itu merupakan situs peninggalan Islam di Madura yang tak ternilai harganya," komentar pengamat kebudayaan di Madura Barat, Ny Hj BUW Suyanto.

Karena keunikan seni arsitektur dan seni ukirnya itulah, Pasarean Aermata di Kabupaten Bangkalan, tidak hanya terkenal sebagai cagar budaya yang dikeramatkan banyak orang, tetapi juga kondang sebagai obyek wisata terbesar di Pulau Madura, selain Asia Tinggi (kuburan raja-raja Madura Timur) di Kabupaten Sumenep. "Makanya, pengunjung Paseran Aermata tidak hanya didominasi oleh para ahli tirakat dan peziarah dari seluruh pelosok tanah air," papar Kepala Dinas Pariwisata TK II Bangkalan, Drs Achmad Ridwan Bsc. "Lebih dari itu, tak jarang wisatawan dari Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, Inggris, atau Amerika juga melongok kehebatan seni ukir di sana," tambahnya. (M Sjamsul Arief)

 

Sumber: Suara Karya, 11 Januari 2000 

 

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan