Langsung ke konten utama

Ajaran Tasawuf pada Masjid Agung Demak

Oleh Wiwin Nurwinaya
Peminat Sejarah dan Arsitektur Islam

Dasar-dasar ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman prasejarah yang ditandai dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib, hal ini tercermin dari karya seni yang banyak berlatarkan religi, seperti halnya seni bangunan, bentuk menhir, punden berundak dan sebagainya. Dasar-dasar ajaran tersebut kemudian berkembang menjadi suatu konsepsi universal yang percaya terhadap kenyataan bahwa ruh manusia akan meninggalkan badan menuju ke alam makrokosmos.

Dalam ajaran Islam, ajaran tasawuf merupakan suatu praktik sikap ketauhidan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran tasawuf ini dianut oleh kaum sufi yaitu sekelompok umat yang selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi dan hidupnya senantiasa diisi dengan ibadah semata. Sufi berasal dari kata safa yang berarti kemurnian, hal ini mengandung pengertian bahwa seorang sufi adalah orang yang murni hatinya, yang merupakan insan tepilih. Pendapat umum mengatakan bahwa sufi berasal dari kata suf yang berarti wol (bulu domba), sebutan ini sangat sesuai dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh kaum sufi sebagai tobat dan kehendaknya meninggalkan kehidupan dunia (Nicholson, 1987: 3).

Di Indonesia ajaran tasawuf pertama kali muncul di Sumatra dan berkembang pada abad ke-13 sampai abad ke-17 yaitu pada masa kerajaan Samudera Pasai. Tokoh yang mengajarkannya adalah Hamzah Fansuri, Abdurrauf as-Sinkel, Nuruddin ar-Ranirri. (Marrison, 1953: 28-37).

Di pesisir Pulau Jawa, ajaran tasawuf dimulai sejak abad 15 dan diperkenalkan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Mereka mendapat dukungan dari Kesultanan Demak yang berdiri atas prakarsa Sultan Ampel. Ekspresi ajaran tasawuf tersebut dapat dilihat dari sisa-sisa tradisi berupa seni bangunan dan seni lukis yang mengandung simbol-simbol ajaran tasawuf, seperti yang terdapat pada ragam hias Masjid Agung Demak.

Simbol-simbol Masjid Agung Demak banyak didominasi motif kaligrafi, motif geometris, dan sulur-suluran. Adapun motif manusia dan hewan dimunculkan dalam bentuk stiliran. Hal ini sangat sesuai dengan ajaran agama Islam yang melarang adanya hiasan patung atau makhluk bernyawa karena akan menimbulkan kemusyrikan dan sesuai dengan Hadis Nabi, "Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang di dalamnya terdapat patung." (HR Bukhari dan Muslim)

Pada Masjid Agung Demak terdapat hiasan kaligrafi berupa kalimat thayyibah yang ditulis dengan motif cermin seperti yang terdapat pada maksura dan di atas mihrab. Hal ini merupakan simbol dari Nur Muhammad atau Al Haqiqatul Muhammadiyah yang merupakan kesempurnaan ilmu dan amal. Nur Muhammad bersifat qadim dan merupakan bagian dari sesuatu dan satu. Nur Muhammad memenuhi bagian tubuh Nabi Adam, Nabi Muhammad dan tubuh semua umat. Jadi pada hakikatnya hiasan lafal Muhammad yang berupa kaligrafi, cermin yang melambangkan persatuan antara makhluk dengan Khalik (Hamka, 1983: 155-156). Kalimat thayyibah tersebut disusun sedemikian rupa sehingga akan selalu terbaca oleh orang yang berada di dalam masjid.

Dengan demikian orang akan selalu mengingat zat Allah, karena kalimat thayyibah tersebut merupakan pangkal ajaran tasawuf di samping kalimat syahadat yang mengakui keesaan Allah dan mengakui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, maka dalam ajaran tasawuf Rasul dan Muhammad tidak pernah dipisahkan.

Selain itu ragam hias Masjid Agung Demak ada yang bermotif binatang yang digambarkan berupa bulatan dengan delapan puncak sinar yang terdapat pada dinding di atas mihrab sebanyak dua buah.

Ragam hias bentuk bintang tersebut sudah dikenal sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab. Bahkan pada masa Nabi Muhammad terdapat pasukan perang yang mempunyai bendera bergambar bulan sabit dan bintang.

Kemudian terdapat pula ragam hias tumbuh-tumbuhan terdiri dari motif daun dan bunga yang dibentuk menjadi spiral dan swatika. Dalam kesenian sufisme, motif tersebut dikaitkan dengan bentuk pilin yang melambangkan pengembaraan jiwa yang jauh untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sedangkan pada bagian dindingnya terdapat tempelan keramik yang berhias binatang berupa burung. Syair-syair sufi banyak yang berbicara tentang burung yang bersumber dari ayat-ayat Alquran tentang Nabi Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung. Kaum sufi mengartikan bahwa ucapan burung yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman sebagai pancaran-pancaran atau bisikan-bisikan ilham dari Allah.

Demikianlah ragam hias Masjid Agung Demak sebagai pusat Islamisasi di Jawa yang didirikan oleh Wali Sanga, ternyata banyak menyimpan ajaran tasawuf yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan renungan bagi kita semua. []



Sumber: Republika, 21 Januari 2000



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...