Langsung ke konten utama

Masuknya Islam di Jawa Kikis Kebesaran Majapahit

Berkibarnya bendera Islam di sepanjang pesisir Selat Malaka menjadi faktor yang mendorong masyarakat di daerah itu, termasuk di Jawa, berbondong memeluk Islam. Bahkan kerajaan Hindu-Majapahit pun tak kuasa membendung proses Islamisasi yang terus merasuk dalam setiap celah kehidupan masyarakat ini, terutama di pesisir pantai Jatim.

Cerita, hikayat, maupun folklore-folklore seputar hubungan kerajaan di Jawa--terutama Majapahit--dengan pusat penyebaran Islam di daerah itu sebenarnya banyak tersirat pada berbagai tulisan seputar peran Pasai dan Malaka dalam proses Islamisasi di Nusantara. Namun beberapa petikan saja mungkin sudah cukup menjadi petunjuk guna memahami masuknya Islam ke setiap jengkal tanah Jawa yang subur.

Mengenai hubungan Jawa dengan Samudra Pasai misalnya, banyak hikayat yang menggambarkan bahwa soal itu terutama bertaut dengan perniagaan. Bahwa para pedagang Jawa harus mampir ke Malaka dan Pasai sebelum melanjutkan perjalanan, itu sudah pasti. Namun soal penyerangan Majapahit ke Pasai lebih nyata memberi penjelasan bagaimana Islam begitu mudah menyusup ke setiap celah sumsum masyarakat penganut Hindu dan pemegang budaya Jawa yang egaliter.

***

Akhir abad ke-11 maupun ke-13 bisa dikatakan merupakan dekade langka catatan baik berupa bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing seputar masuknya Islam ke Pulau Jawa. Namun demikian, bertahun-tahun setelah akhir abad ke-13, terutama saat Majapahit mencapai masa kejayaan, bukti-bukti tentang proses Islamisasi ini lebih mudah ditelusuri. Sebut saja peninggalan kepurbakalaan berupa puluhan nisan kubur di Troloyo, Trowulan, dan Gresik.

Selain itu, berita Ma-Huan tahun 1416--menceritakan orang-orang Muslim yang bertempat tinggal di Gresik--membuktikan bahwa di pusat Majapahit maupun di kota-kota pelabuhan perniagaan telah terjadi proses Islamisasi dan mulai terbentuk masyarakat Muslim dengan corak kehidupan Islam yang dominan.

Menyimak pertanggalan yang sangat erat terkait perkembangan kekuasaan Muslim di Samudra Pasai dan Malaka, agaknya pertumbuhan masyarakat Muslim kala itu berkembang bak jamur di musim hujan. Itu terutama di sekitar Majapahit dan kota-kota pelabuhan lain di Jawa. Pada taraf permulaan masuknya Islam di pesisir Jawa ini, para petinggi Kerajaan Majapahit tidak setitik pun punya pikiran bahwa perkembangan yang berlangsung akan menjadi ancaman tersendiri bagi imperium mereka.

Meski pada dasarnya Majapahit, Malaka, atau Pasai murni hanya berbisnis, proses Islamisasi yang mengiringi kegiatan tersebut tak urung berujung pada munculnya kekuasaan politik. Sejarah sepertinya tak pernah berhenti berulang. Sebagaimana Kerajaan Samudra Pasai yang muncul dari komunitas Muslim pesisir Sumatera yang makin dominan, di Jawa pun tumbuh kekuatan sejenis. Dalam konteks ini, kelahiran Kerajaan Demak merupakan salah satu bukti.

Walhasil, meski tidak sepenuhnya, proses Islamisasi di Jawa ini menjadi salah satu faktor yang mengikis kebesaran Majapahit--di samping karena kelemahan mereka sendiri.

***

Pemberontakan-pemberontakan yang gencar melanda Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Jayanegara sungguh merupakan faktor tersendiri yang memperlicin proses Islamisasi dan perkembangan masyarakat Muslim di kota-kota pelabuhan yang dikuasai kerajaan itu. Puncaknya terjadi saat dua tokoh Majapahit--Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada--meninggal dunia. Saat itu, kekuasaan dan kedigjayaan Majapahit mulai redup bahkan berangsur-angsur padam. Wilayah-wilayah kekuasaan yang semula dalam genggaman Hindu itu satu per satu memproklamasikan kemerdekaan alias tak bisa disentuh lagi.

Pada 1478, saat Majapahit benar-benar runtuh, kekuasaan orang-orang Islam justru semakin besar dan kokoh. Menurut catatan Tome Pires, tanpa mengabaikan masih eksisnya beberapa kerajaan Hindu di pedalaman Jabar dan maupun Jatim, kerajaan bercorak Islam di Demak dan sepanjang pesisir utara tanah Jawa sungguh luar biasa banyaknya. Bahkan, masih menurut catatan Pires, keraton Daha-Kediri yang konon wilayah pelarian Brawijaya dari Majapahit, jatuh ke tangan kekuasaan orang-orang Muslim pada 1525. Selanjutnya, pada 1546, kerajaan bercorak Hindu lain--Pasuruan--tunduk dalam pemerintahan Islam.

Berdasarkan berita Pires dan babad-babad, terkuakkan pula bahwa sejak Demak berdiri sebagai kerajaan dengan Pate Rodim atau Raden Patah sebagai pemegang tahta, daerah Jabar pesisir utara--terutama Cirebon--telah berada di bawah pengaruh Islam. Pires mencatat, itu terjadi seorang adipati dari Jepara bernama Adipati Unus turut menguatkan pengaruh Islam (1470-1475). Peran Adipati Unus ini kian mencuat setelah dia dikukuhkan menjadi raja Sunda.

Tidak jauh berbeda dengan pesisir Cirebon, daerah Sunda Kelapa (Jakarta) pun tak urung terimbas gilang-gemilangnya proses Islamisasi ini. Bahkan Kerajaan Padjajaran pun sampai gagal merebut kekuasaan Sunda Kelapa. Upaya kerajaan Hindu di Jabar ini berhasil dipatahkan oleh Falatehan atau Fatahilah--kadang disebut juga Fadhilah Kahan--yang mendapat perintah penguasa Demak dan Sunan Gunungjati.

Pola penyebaran Islam agaknya tidak beranjak dipengaruhi oleh iklim pelayaran dan perdagangan kota pelabuhan yang menguntungkan. Kerajaan Banten, misalnya. Sebagai pelabuhan penting dan strategis dalam penguasaan Selat Sunda--juga merupakan mata rantai pelayaran dan perdagangan melalui lautan Indonesia di bagian Selatan dan Barat Sumatera, Banten begitu mudah tersisipi proses Islamisasi yang diembuskan lewat jalan niaga ini.

Bahkan proses itu pula yang membuat Banten secara langsung meluluhlantakkan kekuasaan Hindu-Budha Padjajaran (1579/1580). Patut diingat, meski sebagian besar pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Banten ini faktual sudah ada dalam kekuasaan Islam, masyarakat di pedalaman masih bersikukuh dengan agama nenek moyang mereka. Pusat Kerajaan Padjajaran bertekuk lutut kepada pasukan penyerang (Banten) di bawah pimpinan Maulana Yusuf.

Penyebaran Islam di Jawa memang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya. Lemahnya Majapahit dan maju pesatnya perniagaan jadi faktor penting dalam proses Islamisasi di Jawa. Buktinya, jajaran bupati di kota-kota pesisir--wilayah kekuasaan Majapahit--justru merasa senang bebas dari kerajaan Hindu-Jawa itu. Sorak kebebasan mereka terwujud saat Islam mengambil tempat menggantikan Hindu yang sudah puluhan tahun mereka anut. (Nunun Nurbaiti/berbagai sumber)



Sumber: Suara Karya, 7 Januari 2000



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...