Langsung ke konten utama

G30S dalam Pelajaran Sekolah

Oleh: SUSANTO ZUHDI

Kurikulum 2004 yang diujicobakan di Jawa Timur menuai reaksi keras. Pasalnya, pada pelajaran sejarah tidak dicantumkan kata PKI pada "Gerakan 30 September 1965".

Aspirasi guru dan sejumlah tokoh di Jawa Timur pun dibawa ke DPR. Masalah itu dibahas dalam rapat para menteri di bawah Menko Kesra pada Juni 2005. Akhirnya Depdiknas menyatakan, dalam masa transisi mata pelajaran sejarah di sekolah menggunakan Kurikulum 1994.

Bukan soal fakta

Kalau boleh berseloroh, mengapa tidak ditambah saja kata "PKI" sehingga tak perlu revisi selama enam bulan. Persoalannya tidak semudah itu, pun bukan soal fakta "G30S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat.

Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Kedua, soal tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri (terpisah) baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelajaran sejarah di SD digabung bersama Geografi dan Ekonomi. Adapun untuk SLTP, pelajaran Sejarah diberikan dalam kelompok IPS.

Tidak seperti pelajaran lain, Sejarah tidak hanya memiliki ranah (ilmu) pengetahuan, tetapi juga makna subyektif berbangsa. Tentu tidak ada "Matematika Indonesia" atau "Biologi Indonesia". Namun, ada "Sejarah Indonesia", seperti adanya "Sejarah Amerika" atau "Sejarah Jepang". Artinya, selain sebagai ilmu yang bekerja secara kritis, sejarah juga bermuatan makna yang dipegang dan nilai yang dianut suatu masyarakat pemilik sejarah itu.

Makna (kehidupan) adalah arti yang diberikan terhadap proses dan tujuan yang hendak dicapai suatu masyarakat atau bangsa. Bangsa Indonesia dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hendak mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, nilai-nilai Pancasila itulah yang menjadi landasan tujuan pendidikan nasional. Jadi, tidak tercantumnya "PKI" dilihat dari penolak Kurikulum 2004 adalah upaya sistematik bagi hidupnya kembali partai yang berlawanan dengan ideologi Pancasila.

Hilangnya kata "PKI"

Dalam kompetensi dasar Kurikulum 2004, pelajaran Sejarah untuk SMP kelas IX (kelas III dalam pengertian lama) disebutkan "kemampuan menjelaskan peristiwa G30S dan perkembangan sosial, ekonomi, politik masa Orde Baru".

Sebagai indikator, siswa dituntut dapat "menjelaskan peristiwa sekitar Gerakan 30 September 1965". Adapun materi pokok tentang "Peristiwa G30S dan perkembangan sosial, ekonomi, polik masa Orde Baru"

Kemudian dalam kurikulum untuk SMA dan madrasah aliyah kelas XII (kelas III pengertian lama) yang terkait kompetensi dasar adalah "kemampuan menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia di tengah usaha mengisi kemerdekaan". Adapun materi pokoknya mengenai "Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan peralihan kekuasaan politik".

Tampak jelas kata "PKI" tidak tercantum (lagi) dalam Kurikulum 2004. Dari sinilah persoalan berawal. Bukankah keterlibatan PKI dalam "Gerakan 30 September 1965" adalah fakta. Tetapi soal keterlibatan, bukankah juga ada pihak lain? Jadi, yang terlibat bukan hanya PKI. Oleh karena itu, seharusnya ada berbagai versi atau pendapat tentang keterlibatan pihak-pihak lain dengan "G30S 1965".

Pihak yang tidak setuju dihilangkannya "PKI" dalam kurikulum baru melihat ada latar belakang dan motivasi perjuangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Untuk memperkuat argumentasinya, mereka menunjukkan indikator keberhasilan pembelajaran. Disebutkan, siswa (diharapkan) mampu "membandingkan" beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September". Bagi mereka, ini adalah upaya mengaburkan fakta "keterlibatan PKI" dalam G30S 1965.

Keharusan akademis

Secara akademis berbagai pendapat tentang suatu topik bukan hanya perlu tetapi harus dibahas. Kemampuan kritis dituntut bagi pembelajar sejarah. Sebab tidak ada sejarah tanpa pertanyaan atau permasalahan. Analisis terhadap persamaan dan perbedaan fakta dalam rekonstruksi dan memahami sejarah suatu keharusan akademis. Salah satu pertanyaan itu adalah "di mana letak perbedaan pendapat yang satu dibanding yang lain".

Namun, prasyarat untuk melakukan perbandingan perlu dipenuhi. Guru harus memahami peta perbedaan pendapat, tersedianya buku atau bahan ajar memadai.

Argumentasi lebih lanjut dikemukakan, alih-alih siswa, mahasiswa sejarah saja belum tentu mampu "membandingkan" berbagai pendapat tentang "G30S 1965". Memang ada beberapa pendapat tentang siapa pelaku atau yang terlibat gerakan. Beberapa pendapat/teori mengatakan, selain PKI pelaku "G30S 1965" peristiwa itu juga dilatarbelakangi masalah internal TNI Angkatan Darat, ada yang mengatakan peran Mayjen Soeharto, peran CIA, intelijen Inggris, dan keterlibatan KGB/Rusia, atau boleh jadi teori konspirasi.

Mengapa bukan "fakta" yang ditegaskan, tetapi "pendapat"? Padahal, istilah "pendapat" adalah sesuatu yang lebih dekat dengan opini. Mungkin istilah interpretasi jauh lebih akademis jika mau digunakan. Jadi, jika sebuah perbandingan hendak dilakukan adalah dengan menyandingkan fakta-fakta dari berbagai pendapat. Seperti diketahui dalam sejarah ada fakta kuat "hard-fact" contoh "Proklamasi 17 Agustus 1945" dan fakta lembek (soft-fact) contoh "Tan Malaka ter(di)bunuh suatu pasukan bersenjata di Jawa Timur tahun 1948".

Sejarah adalah soal sudut pandang. Topik yang dibicarakan sebenarnya adalah masalah saat sejarah sebagai persoalan akademis dipindah ke materi pelajaran untuk pendidikan dalam arti subyektif bangsa. Akan tetapi, faktanya harus benar dalam lingkup kerja akademis.

Untuk tujuan pendidikan, materi sejarah adalah yang disepakati (accepted history). Tidak semua fakta harus dan pantas disampaikan pada anak didik. Karena sejarah juga soal seleksi bagi tujuan yang hendak dicapai, misalnya untuk tujuan berbangsa dan bernegara. Maka, apa perlunya terlalu menekankan fakta perang antarkerajaan. Tidakkah yang perlu dicari fakta sejarah yang merekatkan hubungan antarmasyarakat di kepulauan Indonesia.

Perbedaan interpretasi tetap perlu dan penting guna melihat keragaman sejarah. Apalagi bangsa ini dibangun dari keragaman suku bangsa dan kebudayaan. Meski demikian, bagi perluasan wawasan, diperlukan sejumlah acuan beragam termasuk yang kontroversial di luar buku teks yang kelak ditetapkan (accepted history).

Jelas, Kurikulum 2004 dirancang dalam suasana reformasi, digulirkan sejak tahun 1998. Kurikulum 1994 perlu diganti karena bersifat sentralistik, muatan berlebih, pemberian materi yang mengulang, tidak tampak penjejangan apakah perluasan atau pendalaman. Kurikulum 2004 umumnya lebih memenuhi persyaratan pembelajaran yang disebut berbasis kompetensi.

Tim yang diberi tugas Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk merevisi Kurikulum 2004 menghadapi pilihan guna menetapkan fakta yang accepted, tentang "G30S 1965". Kita tunggu.

SUSANTO ZUHDI
Direktur Geografi Sejarah Depbudpar;
Dosen FIB Universitas Indonesia



Sumber: Kompas, 29 Maret 2006



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...