JAKARTA (Suara Karya): Peristiwa Merah Putih di Manado, Sulawesi Utara, lima puluh tahun yang lalu dinilai memiliki nilai-nilai dan semangat kejuangan yang masih tetap relevan hingga saat ini. Terutama sekali, nilai semangat persatuan dan kesatuan, karena sebagai bangsa majemuk kita akan selalu dihadapkan pada sikap-sikap pihak yang tidak senang kita bersatu dan berhasil dalam pembangunan.
Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Soeyono mengatakan hal itu dalam sambutannya ketika membuka sarasehan memperingati 50 Tahun Peristiwa Merah Putih, di Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta, Rabu (13/3). Soeyono mengemukakan, di masa kolonialisme masyarakat Sulawesi Utara tetap menyadari bahwa mereka adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia.
"Masyarakat Sulawesi Utara, seperti rakyat di berbagai daerah lain secara serentak bangkit dan berjuang demi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan. Perjuangan rakyat Sulut ini timbul kendati mereka selalu dininabobokan oleh mitos politik Belanda, yang mengatakan bahwa Sulut merupakan provinsi kedua belas dari negeri Belanda," kata Kasum ABRI.
Sebelumnya, Ketua Panitia Pengarah Peringatan 50 Tahun Peristiwa Merah Putih Theo L. Sambuaga menceritakan peristiwa yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1946 di Manado, Sulut. Ketika itu, enam pejuang asal Minahasa berusaha mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan RI untuk wilayah Minahasa. Pasukan pejuang yang dipimpin oleh Taulu ini berusaha menaikkan bendera merah putih di markas KNIL Telling, Manado, setelah mereka merebut dan menguasai markas tanpa rasa takut.
Theo menyebutkan, peristiwa penurunan bendera Belanda dan menaikkan bendera Merah Putih itu menjadi pangkal perebutan kekuasaan di Minahasa yang berjalan tanpa letusan senjata. Masyarakat Minahasa terpacu untuk merdeka setelah melihat bendera Merah Putih berkibar di markas Belanda. "Semangat kejuangan dan keberanian inilah, yang harus selalu kita lestarikan dan tanamkan di benak generasi muda saat ini dan yang akan datang," kata Theo.
Tetap Relevan
Menurut Soeyono, dari Peristiwa Merah Putih ada beberapa hikmah dan makna yang bisa dipetik. Selain makna persatuan dan kesatuan bangsa, juga makna kesadaran ikut bertanggung jawab yang pada masa pembangunan sekarang ini diwujudkan melalui partisipasi seluruh masyarakat untuk membangun.
Begitu pula, nilai kejuangan yang didasari rasa cinta tanah air, kata Soeyono, akan menumbuhkan semangat pengabdian untuk berbuat yang terbaik, rela berkorban serta jiwa pantang menyerah. Dihubungkan pada tahun 2020, semangat ini relevan karena sebagai bangsa kita diuji dalam persaingan bebas dengan bangsa-bangsa lain.
Untuk itu Kasum menekankan, yang sangat penting dilakukan adalah bagaimana nilai-nilai yang dikandung dalam peristiwa tersebut diwujudkan dalam perilaku kita sehari-hari. "Terutama dalam perilaku para generasi muda penerus bangsa dan pewaris nilai-nilai perjuangan," kata Soeyono.
Dalam sarasehan itu, pengajar Universitas Indonesia Dr. RZ Leirissa berpendapat, dilihat dari konteks perang kemerdekaan, peristiwa Merah Putih merupakan gerakan yang berusaha menghambat perwujudan federalisme sebagai upaya menggagalkan Proklamasi Kemerdekaan.
Sebab, menurut Leirissa, taktik Belanda untuk mematahkan negara kesatuan Indonesia hanya dapat dilaksanakan dengan cara membentuk negara-negara federal (negara bagian). Dan itu bisa dilakukan, dengan terlebih dulu membentuk negara federal di wilayah Indonesia Timur. "Salah satunya, adalah mendirikan negara federal di Minahasa," tuturnya.
Sedangkan putra Manado yang pernah menjabat Duta Besar di Myanmar, Mayjen TNI Purn BP Makada yang tampil sebagai pembicara menilai, dari segi aspek politik Peristiwa Merah Putih membuktikan kepada dunia bahwa yang merdeka tidak hanya Pulau Jawa dan Sumatera saja seperti yang digembor-gemborkan Belanda. "Juga menunjukkan bahwa Indonesia Timur adalah bagian yang tidak terpisahkan dari negara Republik Indonesia," ujarnya. (VICS)
Sumber: Suara Karya, 14 Maret 1996
Komentar
Posting Komentar