Tanggal 19 September 1945 di Surabaya terjadi "Insiden Tunjungan". Pada hari itu di Hotel Yamato Surabaya bendera Merah Putih diganti dengan bendera Belanda, Merah Putih Biru. Peristiwa tersebut hampir saja menimbulkan pertumpahan darah besar-besaran, para pemuda Surabaya segera bertindak, naik ke tiang bendera di atas bangunan hotel itu dan menyobek warna biru dari bendera Belanda sehingga tinggal Merah Putih.
Latar belakang peristiwa tersebut semula adalah adanya keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia setelah Jepang menyerah, Pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian di Australia telah membentuk NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sebagai pengganti pemerintah Hindia Belanda yang menyerah kepada tentara Jepang. NICA masuk kembali ke Indonesia berseragam tentara Inggris (sekutu) bulan September 1945 yang diberi tugas melucuti tentara Jepang.
Insiden Tunjungan itulah yang kemudian meletuskan peristiwa 10 November 1945, tentara Belanda mendarat kembali di Surabaya berseragam tentara Sekutu yang dilawan "habis-habisan" oleh pemuda-pemuda Surabaya.
Semangat "arek-arek Suroboyo" yang mencetuskan Insiden Tunjungan dan pertempuran 10 November 1945 itu gemanya juga membakar semangat pemuda di daerah-daerah lainnya menghadapi NICA yang ingin kembali berkuasa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tak terkecuali di Sulawesi Utara.
Dalam buku-buku Sejarah Indonesia, Peristiwa "Merah Putih 14 Februari 1946" yaitu perebutan kekuasaan dari tangan NICA di Sulawesi Utara, kurang dikedepankan bahkan tidak tertulis padahal peristiwa tersebut sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian peristiwa nasional sebagai rentetan Proklamasi 17 Agustus 1945.
***
Selama pendudukan Jepang, para pemuda di Minahasa atau Sulawesi Utara banyak yang tergabung dalam "Barisan Pemuda yang saat itu disebut Boe Teisingtai atau Pasukan Pembela Tanah Air. Setelah tentara Jepang harus menyerah kepada tentara Sekutu, warisan yang diperoleh para pemuda dari "Barisan Pemuda" adalah jiwa kemerdekaan karena mereka tidak memiliki pemimpin sementara saat itu NICA yang membonceng tentara Sekutu mendarat di Sulawesi Utara, melarang pengibaran Sang Merah Putih.
Para pemuda yang bersemangat kebangsaan bertekad hendak mempertahankan Sang Merah Putih dan mulai memperhatikan sepak terjang NICA dan kaki tangannya. Pihak NICA sendiri saat itu memaksa para bekas KNIL untuk kembali memperkuat tentara kerajaan. NICA telah membentuk 8 kompeni, yang diberi tugas menguasai kota-kota penting di Sulawesi Utara.
Empat di antara 8 kompeni tersebut yaitu Kompeni -7 atau "Kompeni Macan", Kompeni -143 di Bitung, Kompeni -142 dan Kompeni -148 sangat berperan dalam peristiwa perebutan kekuasaan dari tangan NICA. Semangat bekas KNIL yang sudah ditarik masuk di kompeni-kompeni tersebut didorong oleh informasi dalam buletin-buletin yang dikeluarkan NICA mengenai revolusi yang terjadi di Pulau Jawa.
Para bekas KNIL yang sudah disemangati jiwa kebangsaan dan kemerdekaan itu tinggal menunggu waktu yang tepat untuk merebut kekuasaan. Tekad itu didorong untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan yang diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta, melemahkan kedudukan NICA, menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa suku Minahasa di daerahnya sendiri yang biasanya mendapat ejekan Twaalfde Provincie (Provinsi ke-12 Belanda) juga tidak mau ketinggalan berkewajiban membela Tanah Air dan juga mendorong orang-orang KNIL bangsa Indonesia untuk ikut bertindak melawan NICA.
Para bekas KNIL ini sadar, aksinya akan benar-benar berhasil jika menggunakan orang-orang militer karena gudang-gudang perbekalan dan juga senjata NICA dikuasai mereka. Untuk itulah bekas KNIL yang ada di tangsi kompeni harus menjadi penggeraknya. Taktik yang secara lisan akan mereka dengungkan adalah menuntut persamaan hak sesuai janji Ratu Belanda Wilhelmina akhir Desember 1942 karena dalam NICA masih tetap ada perlakuan perbedaan bangsa dan gaji khususnya terhadap orang-orang Indonesia yang menjadi anggota KNIL.
Puncak aksi perebutan kekuasaan dari tangan NICA meletus tanggal 14 Februari 1946 di tangsi Kompeni di Teling I dan II Manado, tangsi Tomohon dan tangsi Girian, Bitung. Serangkaian aksi terjadi sejak pukul 01.00 tanggal 14 Februari itu sehingga pukul 19.00 malam itu juga para pejuang mendatangi kecamatan-kecamatan di seluruh Minahasa, mengibarkan Sang Merah Putih.
Peristiwa "Merah Putih" itu menampilkan nama-nama pejuang antara lain Ch Ch Taulu, BW Lapian, Alexander Sigar Rombot, Justus Kotambunan, Samuel Kamaunang, Wangko Sumanti, Frans Lantu, No Korompis, Mas Sitam, Mambi Runtakahu, Gerson Andries, Mais Wuisan, Lengkong Item, Frans Bisman, Nico Anes, Sigar Mende, Jan Sambuaga, Frans Korah, Suparmin, Bert Sigarlaki, Oscar Rumambi, Samuel Montolalu, Chris Pontoh, dan sebagainya.
Sebagian besar pelaku sejarah Peristiwa "Merah Putih" tersebut sudah meninggal, beberapa di antaranya dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta yaitu Ch Ch Taulu, BW Lapian, Wangko Sumanti, Frans Lantu, dan Nico Anes. Tiga pelaku aktif yang kini tinggal di Jakarta adalah Alexander Sigar Rombot, Justus Kotambunan, dan Samuel Kumaunang.
***
Sigar Rombot, pensiunan perwira penerangan Angkatan Darat, yang dalam Peristiwa"Merah Putih" bisa dikategorikan sebagai ikut merancang perebutan kekuasaan dari tangan NICA di Sulawesi Utara tersebut pernah menceriterakan aksi "Merah Putih" tersebut. Sebagai markonis atau radio telegrafis yang saat itu berpangkat kopral, pengetahuannya sangat luas mengenai situasi nasional dan internasional sehingga oleh pejuang-pejuang lainnya ia sangat diandalkan.
Dalam suatu pertemuan para pejuang untuk melakukan aksi perebutan kekuasaan dari NICA, telah disepakati yaitu aksi perebutan kekuasaan akan dilaksanakan serentak di tangsi kompeni Manado, Tomohon, dan Bitung. Persiapan yang matang menentukan atau menunjuk pejuang-pejuang terpercaya untuk melakukan aksi di masing-masing posnya dengan siasat yang sama yaitu "menipu" para pimpinan NICA tanpa harus ada pertumpahan darah.
Rapat-rapat diadakan secara legal dan ilegal. Rapat para pejuang tanggal 12 Februari 1946 mengambil keputusan, aksi perebutan kekuasaan dimulai tanggal 14 Februari 1946 jam 03.00 tapi bila salah satu atau beberapa pimpinan aksi tertangkap maka aksi itu harus dipercepat dimulainya yaitu jam 01.00. Aksi harus dilaksanakan secara teliti dan rahasia, merebut rumah jaga di tangsi kompeni Teling I dan II sekaligus menguasai gudang senjata dan perbekalan lainnya, menangkap semua Belanda di kedua tangsi itu dengan "tanpa kekerasan". Dalam aksi ini tidak dibenarkan ada letusan senjata, dalam keadaan bahaya harus bisa membela diri atau kawan-kawan.
Aksi itu benar-benar dipercepat karena gerakan para pejuang itu tercium NICA dan kaki tangannya, 2 jam setelah pertemuan beberapa pejuang ditangkap antara Ch Ch Taulu, Wangko Sumanti, Jan Sambuaga, dan Frans Lantu.
Menurut penuturan Sigar Rombot, minggu lalu, Kompeni 7 atau "Kompeni Macan" yang sebenarnya merupakan kompeni andalan NICA yang menguasai tangsi Telling I dan Telling I, jam 01.00 melakukan aksinya. Aksi ini seharusnya dipimpin Ch Ch Taulu namun karena pimpinannya ini ditangkap maka tanggung jawab sebagai pimpinan dipegang oleh Justus Kotambunan bersama 3 orang lainnya yaitu Mambi Runtukahu, Mas Sitam, dan Gerson Andries, ketiganya dari "Kompeni Macan".
Dalam aksinya yang menggunakan strategi tanpa pertumpahan darah ini, Justus Kotambunan melakukan aksi "tipu" menghadapi perwira NICA dengan melaporkan bahwa seluruh KNIL siap menerima perintah menghadapi para pemberontak, padahal sebenarnya jam 02.30 seluruh KNIL di Manado sudah menjadi anak buah para pemimpin yang memberontak. Saat peristiwa NICA Manado masuk ke tangsi Teleng I langsung dilucuti dan masuk ke sel. Tanggal 14 Februari 1946 jam 03.30 Sang Merah Putih berkibar di tangsi Teleng I dan II.
Rombot ditugasi memimpin pemberontakan di tangsi kompeni Tomohon. Rencana pemberontakan itu bocor sehingga Rombot akan ditangkap karena dianggap menjadi biang keladi rencana pemberontakan tersebut sehingga ia harus bersembunyi, akibatnya aksi di Manado tidak serentak diikuti di Tomohon.
Pukul 03.30, pasukan pendahuluan yang dikirim dari Manado menggunakan sebuah jeep tidak berhasil menemui Sigar Rombot. Pimpinan aksi di Manado, Wangko Sumanti, mencoba mencari hubungan melalui telepon ke Tomohon namun telepon tersebut diterima oleh seorang perwira Belanda yang bagi Sumanti merupakan informasi bahwa Tomohon belum melakukan aksi.
Pukul 04.30 Sumanti mengirim 4 kendaraan berisi pasukan dan senjata. Iring-iringan kendaraan tersebut berhenti di depan tangsi kompeni Tomohon. Pada saat itulah Sigar Rombot maju ke depan menemui Letkol De Vries, pimpinan NICA di sini memberitahukan De Vries sudah dikepung dan harus menyerah. Tanpa banyak kesulitan, De Vries benar-benar bertekuk lutut dan menyerahkan pestol bergagang gading dan sebuah teropong miliknya kepada Sigar Rombot.
Selaku orang yang diserahi tanggung jawab memimpin aksi di tangsi Tomohon ini, Sigar Rombot yang saat itu berusia 31 tahun memerintahkan agar bendera Merah Putih Biru yang berkibar di tangsi itu diturunkan. Frans Bisman, salah seorang anggota pasukan "Kompeni Macan" yang dikirim dari Manado saat itu juga maju ke depan, menurunkan bendera Belanda Merah Putih Biru kemudian merobek warna birunya dan menaikkan kembali Merah Putih ke atas tiang bendera.
Peristiwa "Merah Putih" yang terjadi di Girikan - Bitung berlangsung dengan sedikit kekerasan namun bukan pertumpahan darah. Tangsi Kompeni -143 Girikan merupakan asrama 8.000 tawanan Jepang yang dijaga ekstra ketat. Sersan Mais Wuisan yang semula ditugasi memimpin aksi perebutan kekuasaan, tidak berhasil menjalankan aksinya dan gagal, kemudian pimpinan aksi diambil alih oleh Maurits Rotinsulu dan Bert Sigarlaki.
Aksi pemberontakan yang terjadi di Manado dan Tomohon nampaknya sudah diketahui oleh perwira NICA, Letnan van Emden di Girikan, sehingga penjagaan kamp tawanan makin diperketat. Para pejuang kemudian mencari siasat dengan menyampaikan berita ada tanda bahaya dari Manado yang meminta dikirim pasukan dari Bitung.
Siasat tersebut berhasil. Pukul 09.00 tanggal 14 Februari 1946 Letnan van Emden menyiapkan pasukan kemudian berhasil "dibujuk" untuk memeriksa pos pasukan yang berada di sekitar 100 meter dari Girikan. Di pos inilah, petugas jaga Samuel Kumaunang yang berbadan kekar berhasil meringkus Letnan van Emden dengan gaya judokanya, sedang pasukan yang mengawalnya dilucuti.
Kota Bitung sendiri sudah lumpuh, semua Belanda hari itu sudah ditangkap. Tanggal 14 Februari 1946 bendera Merah Putih sudah berkibar di seluruh daerah Minahasa.
***
Sebagai klimaks setelah Peristiwa "Merah Putih" tersebut adalah diadakannya pembicaraan oleh 11 orang yang mengeluarkan "Maklumat" untuk diketahui oleh Sekutu tentang pengambilalihan kekuasaan dari tangan NICA di Sulawesi Utara tersebut tanpa sedikit pun ada sikap permusuhan dengan pihak Belanda.
Pembicaraan 11 orang tersebut mewakili 3 kelompok yaitu "Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara - TRISU" yang diwakili Ch Ch Taulu, Alexander Sigar Rombot, dan Mais Wuisan, kelompok pamongpraja dan polisi sebanyak 6 orang, yaitu BW Lapian, Maurits Tangkilisan, Wolter Saerang, DH Pantouw, A Manoppo, dan N Tikoalu, serta 2 orang dari kelompok KNIL Letkol Tumbelaka dan Kapten J Kasegar.
Maklumat tersebut sesuai kesepakatan 11 orang ditandatangani oleh Kapten J Kasegar. Menurut Sigar Rombot, penandatanganan Maklumat itu sengaja dipilih seorang militer agar pengakuan internasional terutama dari Sekutu bisa lebih kuat.
(S Kartoredjo)
Sumber: Suara Karya, 5 Juni 1995
Komentar
Posting Komentar