Langsung ke konten utama

WR Supratman dan "Indonesia Raya"

MENYANGKUT nama Wage Rudolf Supratman (1903-1938) dan lagu Indonesia Raya masih terdapat berbagai kontroversi yang belum memperoleh kata putus.

Pertama, masalah otentisitas lagu yang konon dijiplak dari Lekka Lekka atau Pinda Pinda dan direkam pada tahun 1927 menjadi Indonees Indonees, lantas pada tanggal 28 Oktober 1928 diubah menjadi Indonesia Raya.

Kedua, masalah apa siapanya Ny. Salamah (1904-1992) yang selama bertahun-tahun mendampingi proses kreatif Supratman. 

Ketiga, masalah tempat kelahiran Supratman di Somongari (Purworejo) tanggal 9 Maret 1903 tetapi anak-anak sekolah menghafal Supratman lahir di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara).

Keempat, tak kalah menarik usulan pemusik Suka Hardjana agar teks lagu Indonesia Raya direvisi disesuaikan dengan semangat Sumpah Pemuda. 

Tulisan ini tidak ingin ikut masuk dalam wacana (dispute) di atas. Saya merasa tidak memiliki otoritas dan kemampuan untuk itu. Tulisan ini sekadar memanfaatkan kesempatan keramaian parade WR Supratman yang masih berlangsung di Surabaya (20 Mei-20 Juni), sekaligus kesempatan kita melihat kembali "sekerup-sekerup kecil" menjelang 50 Tahun Indonesia Merdeka.

Tulisan ini hanya ingin mengangkat kembali penelitian kecl yang pernah saya lakukan, pustaka maupun lapangan di Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo tahun 1983. Sayang, bahan-bahan bagus yang dimiliki Sdr Remy Sylado yang pernah diungkapkan dalam Kompas Minggu 5 Januari 1992 terlewatkan, terutama yang menyangkut kontroversi pertama. Hasil penelitian itu dipublisir majalah Prisma 5 Mei 1983.

***

WAGE, nama itu diberikan oleh ibunya, Senen, yang menunjukkan status seorang anak dusun. Nama itu diambil dari salah satu nama hari kalender pasaran, sesuatu yang biasa dilakukan penduduk pedesaan.

Dari namanya juga, terlihat dia dilahirkan bukan di kota. Penduduk Somongari, 12 kilometer tenggara kota Purworejo, merasa heran, mengapa tempat kelahiran Supratman dinyatakan di Meester Cornelis. "Kelahiran Wage di Dukuh Trembelang, Kelurahan Somongari," ujar Sastrosupardjo waktu itu (1983) yang sudah menjabat lurah sejak 1937. Ny. Salamah menambahkan, "Berkali-kali Bapak (Supratman, Red) mengatakan tempat kelahirannya di Semongari."

Kisahnya kemudian terungkap. Beberapa bulan menjelang kelahiran Supratman, Senen - istri Sersan KNIL Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, dikirim kembali ke Somongari. Anak itu lahir 9 Maret 1903, dan diberi nama Wage. Beberapa bulan kemudian, Sersan Djoemeno memberi nama Supratman, sekaligus keterangan kelahiran bahwa Wage Supratman lahir di tangsi Meester Cornelis. Ketika Supratman ikut kakaknya, Ny. Rukiyem Supratiyah van Eldik di Makassar, ada tambahan nama Rudolf. Tujuannya supaya bisa dimasukkan ke sekolah Europese Lagere School dan statusnya disamakan dengan Belanda. Nama lengkapnya kemudian, seperti dihafal sampai sekarang sebagai Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Tentang tempat kelahiran, pada tahun 1977 pernah didiskusikan dan direkomendasikan agar tempat kelahiran Supratman dinyatakan bukan di Jatinegara tetapi di Somongari. Anehnya, kalau anak-anak di luar Somongari dan Purworejo menyatakan tempat kelahiran Supratman di Somongari, sebaliknya anak-anak sekolah di tempat lain akan menjawab di Jakarta. Keanehan seperti itu masih berlangsung hingga sekarang, karena memang tercantum dalam buku sejarah.

Tentang Ny. Salamah yang pernah jadi kontroversi dalam soal ahli waris, sebetulnya sudah selesai dengan surat keterangan Departemen Agama tertanggal 3 November 1971. Pernikahannya dengan Salamah, sebelumnya Supratman pernah dekat dengan Mujenah, tidak diakui oleh keluarga Supratman. Setelah diteliti kembali tarik ulur atas hak-hak pensiun dari pemerintah, Ny. Salamah akhirnya dinyatakan sebagai istri yang sah.

Pernyataan-pernyataan Salamah tentang kesukaan Supratman (makan pisang ambon dan susu), atau "kemiskinan" hidup Supratman sebagai wartawan di Jakarta, menunjukkan kedekatan hubungan Salamah dan Supratman.

***

Bagaimana dengan posisi Wage Rudolf Supratman yang sekarang kita hafal sebagai penggubah lagu-lagu perjuangan? Sebagai wartawan, memang kurang menonjol, kecuali dialah peliput Kongres Pemuda Indonesia I (30 April-2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda Indonesia II (27-28 Oktober 1928) yang keduanya dia tulis di koran Sin Po.

Sebaliknya sebagai komponis, dialah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu pujian untuk perjuangan (ode). Selain Indonesia Raya, ia mengarang Dari Barat Sampai ke Timur (1925), Bendera Kita (1927), Ibu Kita Kartini (1931) yang semula berjudul Raden Ajeng Kartini, Bangunlah Hai Kawan (1931), Indonesia Hai Ibuku (1927); dan tiga lagu lain yang dia ciptakan di Surabaya: Mars Parindra (1937), Mars Surya Wirawan (1937), dan Matahari Terbit (1938), lagu terakhir ini dianggap memuja-muja Jepang sehingga Supratman ditahan Belanda.

Ketertarikan Supratman pada musik, dimulai dalam kapal van der Wijk, yang tengah membawanya berlayar dari Batavia ke Makassar tahun 1914. Di atas kapal itu ia terpesona dengan permainan biola kakak iparnya, Sersan KNIL van Eldik. Sesampai di Makassar ia menjadi salah seorang anggota grup band Black and White. Seperti kakak iparnya, dia pegang biola. Selain bermain musik, dia menjadi guru sambil bersekolah.

Perhatiannya pada musik, mengantar Supratman pada keinginan menciptakan lagu-lagu perjuangan. Tahun 1922 dia mulai berkenalan dengan lagu La Marseille, lagu kebangsaaan Perancis ciptaan Rouget de L'isle, yang berirama mars membangkitkan semangat. Keinginannya mencipta lagu perjuangan membawa Supratman ingin kembali ke Jawa, di tengah suasana keinginan Merdeka sedang berkobar - di Jakarta, terutama di Bandung dengan tokohnya Ir Soekarno lewat Kelompok Studi Umum maupun sebelumnya Kelompok Studi Indonesia di Surabaya yang didirikan Soetomo.

Menurut Supratman, salah satu cara "masuk" menjiwai semangat perjuangan adalah menjadi wartawan. Itulah profesinya, sambil sering berdendang dengan biolanya, dan ternyata lagu La Marseille itu yang selalu muncul. Lagu-lagu pujian yang diciptakan pun disemangati suasana berkembangnya ide-ide kemerdekaan.

Penjelasan bagaimana proses penciptaan Indonesia Raya terjadi memang masih terbuka. Tetapi yang jelas, pada Kongres Pemuda Indonesia II, Supratman dalam kedudukan sebagai wartawan Sin Po diberi kesempatan tampil oleh Sugondo Djojopuspito selaku ketua panitia. Pada kesempatan jam istirahat, pada malam kedua sekaligus malam penutupan, 28 Oktober 1928 - hari bersejarah lahirnya Sumpah Pemuda, Supratman tampil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biola. Penampilan yang sama dilakukan pada sebuah pertujukan kesenian, dan seperti dinyatakan Sugondo, beberapa orang mulai berdiri dan menyebut-nyebut sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Teks Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan pada akhir bulan Desember 1928, saat pembubaran panitia kongres kedua. Ketiga kalinya, dikumandangkan saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember, dan pada kesempatan itu hampir semua hadirin serentak berdiri, memberi penghormatan lagu yang nadanya mirip La Marseille itu.

Dalam perjalanan sejarahnya, terjadi beberapa perubahan teks, pernah dilarang Jepang dan dibolehkan kembali pada pertengahan tahun 1945, diseragamkan lewat peraturan tertanggal 26 Juni 1958. Kebesaran Indonesia Raya, terungkap antara lain dari pernyataan Presiden RI pertama Soekarno. Katanya, "... Setia kepada Indonesia Raya, setia kepada lagu Indonesia Raya yang telah kita ikrarkan sebagai lagu perjuangan ...."

***

SUPRATMAN sendiri, sejak Juli 1933 terus sakit-sakitan. Pada November 1933 berhenti sebagai wartawan Sin Po, dan menetap mula-mula di Cimahi, kemudian di Palembang, akhirnya di Surabaya. Pada tanggal 17 Agustus 1938, sekitar pukul 01.00, Supratman meninggal. Jasadnya dikebumikan di Kenjeran Surabaya dengan pelayat yang jumlahnya tak lebih dari 40 orang. Tanggal 13 Maret 1956, kerangka jenazahnya dipiindahkan ke makam baru di Tambak Segaran Wetan dengan upacara resmi. Walaupun belum ada kepastian positif, tetapi konon makam itu akan tergeser oleh proyek pelebaran jalan.

Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Maha Putra Utama kelas III dianugerahkan Pemerintah RI tahun 1971. Beberapa peninggalannya masih tersimpan rapi, hingga sekarang, di Gedung Pemuda Jl. Kramat Raya - tempat pertama kali Indonesia Raya dinyanyikan secara instrumentalis, antara lain biola, teks lagu Indonesia Ray, dan beberapa kenangan.

Kebesaran nama Supratman nasibnya hampir serupa kebesaran nama Chairil Anwar. Beberapa sajak Chairil, pada beberapa tahun kemudian dikutak-katik, dituduh sebagai jiplakan. Pertanyaannya, adakah sebuah proses kreatif berangkat dari nol? (St. Sularto)



Sumber: Kompas, 14 Juni 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...