Langsung ke konten utama

Dari Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (1) BK: Indonesia Merdeka, Sekarang!

DI depan sidang resmi pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno tampil memukau. Sesekali tepuk tangan menggemuruh, memenuhi ruang sidang Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Deplu), Jakarta. Ilustrasi yang disampaikan, menyentakkan semangat 60 anggota sidang yang dipimpin dr KRT Radjiman Wedyodiningrat dan wakilnya RP Suroso.

Sebelum Ir Soekarno, selaku anggota, pada tanggal 29 Mei dan 31 Mei, tampil dua pembicara utama, pengantar untuk pembahasan tentang dasar negara, yang tak kalah menarik. Berturut-turut Prof Dr Mr Soepomo dan Prof Mr Muhammad Yamin.

Mereka bertiga, seperti tercantum dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Setneg, 1995), menyampaikan "pendirian" masing-masing tentang dasar negara pada tiga hari pertama sidang yang berlangsung sampai 1 Juni.

Tiga hari sidang resmi pertama itu sidang mendengarkan "pendirian" Soepomo, Yamin, dan Soekarno tentang dasar negara. Sidang kedua berlangsung tanggal 10-17 Juli 1945, dengan penambahan 6 anggota, membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan UUD, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran. Sidang resmi kedua ini juga dipimpin KRT Radjiman Wedyodiningrat.

Sidang tidak resmi hanya dihadiri 38 anggota, berlangsung dalam masa reses antara sidang pertama dan sidang kedua. Sidang itu membahas rancangan Pembukaan UUD 1945 yang dipimpin Soekarno.

Mengenai sidang-sidang BPUPKI, dijelaskan oleh tim penyunting yang terdiri dari Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati, seluruh anggota dibagi habis dalam beberapa bunkakai (kelompok kerja) dan satu Panitia Hukum Dasar. Panitia ini mempunyai 19 anggota di bawah pimpinan Soekarno, dan namanya diubah kemudian menjadi Panitia UUD. Sebagian anggota panitia ditugasi duduk dalam Panitia Kecil Perancang UUD dipimpin Soepomo.

Buku 512 halaman tidak termasuk daftar istilah asing, indeks, riwayat hidup singkat anggota BPUPKI dan PPKI, dan guntingan berita sekitar persidangan ini diberi kata pengantar Dr Taufik Abdullah.

Berbeda dengan edisi I dan II, dalam edisi III ini dimanfaatkan dua berkas transkrip asli risalah sidang BPUPKI-PPKI oleh Arsip Nasional, yaitu Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin. Selain itu tim penyunting telah menerima tambahan 20 halaman risalah sidang BPUPKI dari sejarawan Belanda, Dr R. J. Drooglever. Dari manuskrip itu termuat catatan lengkap nama-nama anggota BPUPKI yang berpidato dan lama pidato masing-masing pada tanggal 29, 30, dan 31 Mei 1945.

Seluruh koleksi dan tambahan bahan itu dipakai untuk menyempurnakan edisi I dan II, termasuk tambahan bagi buku karangan Muhammad Yamin Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 jilid pertama yang diterbitkan Yayasan Prapantja, Jakarta, tahun 1959.

***

MEMBUKA dengan pernyataan tentang pertanyaan ketua (Radjiman) tentang dasar negara Indonesia Merdeka, Bung Karno berkata, merdeka adalah political independence, politieke onafhankelijkheid. Tatkala Dokuritzu Zyunbi Toyoosakai (BPUPKI) akan bersidang, dia merasa khawatir para anggota sidang zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil, kata orang Jawa jelimet.

Persyaratan yang diberikan oleh Jepang, agar BPUPKI merencanakan sampai njelimet hal ini dan hal itu, dia merasa tidak akan merdeka. "Kalau benar semua ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka--sampai di lubang kubur," katanya, yang disusul tepuk tangan riuh peserta sidang.

Mengenai political independence penjelasannya adalah penegasan risalah yang dia tulis tahun 1933. Dalam risalah berjudul Mencapai Indonesia Merdeka itu, katanya, kemerdekaan politik tak lain dan tak bukan ialah satu jembatan, satu jembatan emas. "Saya katakan dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat."

Dia ambil contoh Arab Saudi Merdeka yang didirikan oleh Ibn Saud. Sesudah jembatan diletakkan, di seberang jembatan artinya kemudian daripada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Arab Saudi. Diambilnya contoh lain Soviet Rusia Merdeka. Di seberang jembatan itu, barulah Lenin membangun negara. Karena itu, katanya, janganlah para peserta sidang gentar dengan mengingat ini dan itu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai baru merdeka. "Dengan semangat pemuda-pemuda kita yang dua milyun banyak, mereka menyampaikan hasrat Indonesia Merdeka, sekarang."

Berpuluh-puluh tahun lalu, katanya, telah disiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan semboyan Indonesia Merdeka Sekarang. "Bahkan tiga kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang." Tepuk tangan riuh kembali.

Di bagian lain, dia menggelitik lagi, membakar semangat peserta sidang. "Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan Negara Indonesia Merdeka?" Peserta sidang menjawab dengan serentak, "Tidak. Tidak." Syaratnya, bisa mempertahankan. Secara internasional, ada rakyat, bumi dan pemerintah.

Lantas dia lanjutkan, "Kalau umpamanya sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak. Sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan Negara Indonesia Merdeka." Lagi-lagi, peserta sidang bertepuk tangan. Riuh sekali.

Menurut Bung Karno, setelah pidatonya memasuki persoalan weltanschauung, "Kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'. .... Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih ialah, dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia."

Kebangsaan ini bukan dalam arti sempit, satu nationale staat ... bukan sekadar satu golongan orang yang hidup dengan le desir et l'etre ensemble di atas daerah yang kecil ..., tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian.

Dengan Kebangsaan sebagai prinsip pertama, dia kemudian uraikan empat prinsip negara Indonesia, berturut-turut Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan terakhir Ketuhanan. "Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan negara kita akan ber-Tuhan pula! 

"Namanya bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi."

Tepuk tangan riuh.

***

KUTIPAN sebagian risalah ini, dengan fokus seruan segera Merdeka dan gagasan tentang nama Pancasila, bukan dimaksud untuk mengkultuskan yang satu dan meremehkan yang lainnya. Posisi Soepomo dan Yamin, tentu juga semua anggota BPUPKI tak kalah pentingnya dengan peran Soekarno. Kutipan ini bukan juga ingin memasuki debat tentang siapa penggali Pancasila, yang hingga kini belum selesai antara lain karena belum/tidak ditemukannya dokumen yang lengkap.

Kutipan ini sekadar mengingatkan momentum penting sidang-sidang kedua lembaga tersebut sebagai mata rantai berdirinya Republik Indonesia. Dan, menyambung maksud Mensesneg Moerdiono dalam Kata Sambutan, " .... Dengan pemahaman yang mendalam, pada satu sisi kita dapat menjabarkannya secara taat asas, pada sisi yang lain kita dapat melihat ruang gerak yang terbuka untuk menjawab tantangan dan peluang yang muncul secara dinamis dalam dunia di sekitar kita." Yang penting menghayati suasana kejiwaan para bapak bangsa, kata Mensesneg (Gatra, 10 Juni 1995).

Mengenai Pancasila, dikemukakan oleh Taufik Abdullah, fakta bahwa Pancasila telah menjadi asas negara sebenarnya secara teoretis bisa mengurangi arti penting dari persoalan siapa yang pertama merumuskannya. Sang pencetus gagasan hanya penting sebagai kelengkapan catatan sejarah.

Menurut ahli peneliti utama LIPI itu dalam Kata Pengantar, Pancasila yang akhirnya menjadi asas negara adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Pembukaan UUD dan inilah hasil kerja sembilan pemimpin bangsa yang kemudian disempurnakan lagi oleh empat orang founding fathers.

"Gugatan terhadap 'hak cipta' Bung Karno dengan mudah memancing perdebatan emosional hanya menunjukkan kedudukan unik yang dipunyai sang Proklamator tersebut dalam sejarah perjuangan bangsa ...."

Tulis Taufik Abdullah, " .... Risalah sesungguhnya adalah pula 'kaca sejarah' yang mengajak kita--dalam kekinian kita--melihat diri dalam perjalanan sejarah." (St. Sularto)



Sumber: Kompas, 20 Juni 1995



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan