Langsung ke konten utama

Polongbangkeng, Wilayah Republik Pertama di Sulawesi Selatan

Polongbangkeng di Kabupaten Takalar, kini nyaris tak dikenal lagi generasi muda di Sulawesi Selatan. Lagi pula, tak ada yang istimewa di kota yang terletak sekitar 40 kilometer dari Ujungpandang, kecuali jika harus melongok ke masa lalu--masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Dulu, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Polongbangkeng jadi pusat perjuangan mendukung Proklamasi oleh pejuang-pejuang Sulsel. Ketika NICA mendarat diboncengi tentara Belanda, Polongbangkeng pula yang jadi basis pejuang mempertahankan kedaulatan RI  di tanah Makassar. Para pejuang yang bermarkas di Polongbangkeng berasal dari berbagai daerah seperti Robert Wolter Monginsidi (Minahasa), Muhammad Syah (Banjar), Raden Endang (Jawa), Bahang (Selayar), Ali Malaka (Pangkajene), Sofyan Sunari (Jawa), Emmy Saelan dan Maulwy Saelan (Madura), dan tentu saja pahlawan nasional pimpinan Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) Ranggong Daeng Romo.

Pada akhir Agustus 1945, Fakhruddin Dg Romo, pemuda belasan tahun datang ke Polongbangkeng dan mengabarkan tentang dukungan Proklamasi di Kota Makassar. Di Makassar saat itu memang masih terdapat prokontra tentang dukungan terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI. Tapi di Polongbangkeng, sang raja yang berkuasa di sana Pajonga Daeng Ngalle langsung menyatakan dukungan terhadap Proklamasi. Raja Polongbangkeng lalu menyampaikan perintah kepada pemuda dan sanak keluarganya agar pertama, menunjukkan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia, kedua, menyiapkan rakyat Polongbangkeng mempertahankan kemerdekaan, dan ketiga, membentuk organisasi penggalangan massa menghadapi segala kemungkinan.

Perintah raja yang amat dihormati ini membangkitkan semangat rakyat yang berbulat tekad dalam semboyan: siri'na pacce--tanggung jawab atas harga diri bangsa. Awal September 1945, mereka melakukan upacara keteguhan hati di istana kerajaan Balla Lompoa tempat lambang kerajaan Lipan di Polongbangkeng, tersimpan. Upacara ini membuat Polongbangkeng menjadi "wilayah Republik Indonesia" pertama yang terbentuk di Suawesi Selatan.

Ini dipertegas dengan penyematan lencana merah putih di dada setiap rakyat Polongbangkeng dalam sebuah rapat raksasa ribuan massa dan dihadiri utusan Gubernur Sulsel, Lanto Daeng Pasewang tanggal 18 September 1945. Saat itu juga diperkenalkan pekikan perjuangan: MERDEKA kepada rakyat.

Menolak NICA

Tanggal 21 September 1945, sekutu yang menang perang dengan Jepang, mendarat di Pelabuhan Makassar. Mereka yang datang untuk mengambil alih tugas-tugas pemerintahan Jepang di Makassar, ternyata mempersenjatai bekas tentara KNIL yang pernah disekap Jepang. Tindakan di awal Oktober 1945 ini kontan membuat marah para pemuda pejuang. Situasi Makassar yang tidak menentu, membuat para pemuda melirik Polongbangkeng sebagai pusat perjuangan.

Awalnya adalah pembentukan Gerakan Muda Bajeng tanggal 16 Oktober 1945, yang dipelopori oleh Syamsuddin Dg Ngerang, Manidah Dg Ngitung, Makkaraeng Dg Manjarungi, dan Fakhruddin Dg Romo serta didukung sepenuhnya Raja Polongbangkeng. Saat dibentuknya, M Saleh Lahade dari Takalar, dan beberapa pimpinan pemuda pejuang dari daerah lain menyatakan bergabung. Usia mereka rata-rata dua puluhan tahun, tapi semangat para pemuda membuat mereka berani mengambil tanggung jawab besar. Mereka kemudian berpartisipasi dalam serangan umum ke kantong-kantong NICA di Makassar setelah itu.

Usai serangan umum, masih dalam bulan Oktober, para pelajar SMP Nasional datang bergabung. Mereka di antaranya Robert Wolter Monginsidi dan Maulwy Saelan yang amat ditakuti tentara NICA. Kedatangan mereka membuat Polongbangkeng semakin kuat dan diincar NICA sebagai prioritas utama penaklukan. Gerakan Muda Bajeng yang kemudian berubah jadi Lipan Bajeng--mengambil nama hewan lambang kerajaan Polongbangkeng--mengaktifkan serangan ke Makassar dan sekitarnya untuk mengumpulkan senjata. Dan sejak 2 April 1946, Lipan Bajeng dibentuk sebagai pasukan militer bersenjata dengan pimpinan Ranggong Daeng Romo dari Makassar.

Ranggong yang jago di medan perang lalu membentuk pasukan khusus Lipan Bajeng berintikan 40 orang dengan 30 pucuk senjata. Pasukan ini sering terlibat dalam kontak senjata di berbagai tempat, bahkan di sarang NICA sekalipun. Namun dengan persenjataan yang lebih mutakhir, KNIL gencar berpatroli mendukung pembentukan negara boneka Indonesia Timur--hal yang teramat ditentang para pejuang. Karena itu, Polongbangkeng kembali dilirik untuk menjadi pusat kelasykaran melawan NICA dengan KNIL-nya. Tanggal 16 Juli 1946, sedikitnya 19 lasykar pemuda melebur diri dalam LAPRIS dengan Panglima Ranggong Daeng Romo dan Sekjen Robert Wolter Monginsidi sementara Ketua Palang Merah dijabat Emmy Saelan, wanita muda asal Madura.

Pasukan Khusus LAPRIS yakni Harimau Indonesia dengan salah satu pimpinannya Robert Wolter Monginsidi tampil sebagai kekuatan dahsyat yang mengancam musuh di mana-mana. Aksi mereka merambah seluruh Sulsel dalam radius ratusan kilometer, hingga ke Enrekang di utara Sulsel. Aksi-aksi yang dilakukan kelompok-kelompok kecil dipimpin Robert sendiri jadi legenda di masyarakat. Robert jadi tokoh misterius yang amat ditakuti Belanda. Kadang-kadang aksi Robert tidak masuk akal.

Suatu hari ia menyamar jadi Polisi Militer Belanda dan merampas jeep perwira dalam Kota Makassar. Ia kemudian mengikat tangan temannya Abdullah Haddade dan beberapa anggota lainnya. Ia kemudian memasuki tangsi KNIL membawa tawanan Abdullah yang berpura-pura tak berdaya. Dalam markas KNIL mereka lalu beraksi menembak kiri kanan dan menjatuhkan banyak korban di pihak musuh. Saat bala bantuan KNIL datang, Robert dan kawan-kawan telah menghilang, kembali ke Polongbangkeng. Aksi seperti ini sering dilakukan, dan jadi taktik tersendiri Robert yang berwajah indo.

Pertempuran Besar

Selain aksi-aksi individu, LAPRIS juga sering berhadapan dalam pertempuran besar dengan NICA. Dalam bulan Oktober 1946 misalnya, pertempuran besar antara sekitar 300 personil pasukan LAPRIS melawan pasukan KNIL pimpinan Kapten Volmosen dan Letnan van Deken terjadi dekat kuburan Syekh Yusuf di Gowa. LAPRIS yang dibantu massa rakyat, memenangkan pertempuran dan mengusir NICA dari Katangka.

Di Limbung, LAPRIS dipimpin langsung Robert Wolter Mongisidi menyerang kantor distrik dan membakar rumah-rumah aparat NICA setempat. Dilanjutkan dengan serangan ke Jembatan Romangpolong yang melibatkan 100 personil dan serangan besar-besaran ke Malino. Sayang, serangan ke Malino ditebus dengan gugurnya pimpinan pemuda Raden Endang, pejuang dari Jawa yang sejak awal telah memperkuat pejuang Polongbangkeng. Tanggal 12 Januari 1947, Mongisidi kembali memimpin serangan ke kampung Bitowa, salah satu daerah KNIL di Gowa. Melihat semangat anggota lasykar yang tinggi, Mongisidi memerintahkan untuk melanjutkan serangan ke seluruh penjuru Kota Makassar malam harinya. Sayang serangan ini gagal tapi cukup mengagetkan musuh. 

Di sekitar Polongbangkeng sendiri, terjadi pertempuran besar puluhan kali. Musuh mengerahkan pasukan besar untuk menundukkan "wilayah RI" yang satu ini. Tapi, pejuang yang didukung Raja Polongbangkeng dan rakyatnya bukan lawan ringan. Di Pappa, luar Polongbangkeng, terjadi kontak senjata tanggal 21 Februari 1946. NICA berhasil dipukul mundur oleh Lipan Bajeng. Esoknya, pertempuran Bontocinde juga berhasil memukul NICA yang datang menyerang. Sukses pejuang diraih dalam pertempuran Jembatan Parrisi melawan patroli KNIL. Lipan Bajeng berhasil menewaskan 16 serdadu KNIL, merampas satu truk dan menguasai sejumlah amunisi. Pertempuran yang terbilang amat sengit terjadi 8 Agustus 1946 di Komara yang dipimpin langsung oleh Panglima LAPRIS, Ranggong Daeng Romo. Pejuang berkekuatan 1 kompo pasukan terlatih dan 3 kelompok pasukan rakyat bersenjata tradisional, sementara KNIL berkekuatan 3 kompi artileri dan infanteri. Pertempuran ini menyebabkan LAPRIS kehilangan 7 anggotanya, tapi di pihak KNIL tidak kurang dari 20 serdadu tewas.

Pimpinan Pejuang Gugur

Konsekuensi perjuangan memang cuma dua, menang atau kalah. Keduanya juga bisa berarti mati. Di Polongbangkeng, kemenangan demi kemenangan ditebus dengan nyawa pejuang, juga pimpinan mereka yang gagah berani.

Tanggal 3 Januari 1947, Ketua Palang Merah LAPRIS dan Harimau Indonesia Emmy Saelan mengantar seorang pasien anggota pasukan Mongisidi ke Kota Makassar. Saat berpisah di Bitowa, Mongisidi membekali Emmy dengan sebutir granat--pembunuh dahsyat yang selama ini tak disukainya. "Tangan dan jari-jari saya tidak cocok memegang granat, cuma untuk memegang orang sakit. Tapi karena perintah atasan aku bawa saja benda ini," katanya ketika itu.

Ternyata, Emmy dalam perjalanan bertemu patroli KNIL. Emmy yang dikenal rakyat Polongbangkeng dengan panggilan Daeng Kebo (Tuan Putih) tak mau menyerah begitu saja, ia menarik sumbu granat dan melemparkannya ke musuh. Sebanyak 7 serdadu KNIL tewas, tapi pecahan granat juga menewaskan sang srikandi pemberani asal Madura ini. Peristiwa tanggal 7 Januari 1947 ini dikenang dengan pahit para pejuang daerah ini.

Sementara itu, tanggal 27 Februari 1947, KNIL yang telah memperkuat diri dengan personil dan senjata, berhasil memasuki sarang LAPRIS di Polongbangkeng. Panglima Ranggong Daeng Romo yang saat itu berada di Polongbangkeng berinisiatif menghadapi sendiri pasukan KNIL sembari menyuruh anggota pasukannya menyelamatkan diri. Dengan berani ia melangkah keluar markas, mencabut pistol dan menembak. Musuh yang terlalu banyak membuat sang panglima tak berdaya. Sebutir timah panas mengenai kepalanya. Ia pun gugur sebagai kesuma bangsa. Jenazahnya bahkan diperebutkan pejuang dengan KNIL. Tapi pasukan LAPRIS dengan cara yang sangat berbahaya berhasil membawa jenazah Ranggong dan memakamkannya di Jera Bakkaka.

Setahun berikutnya, tanggal 26 Oktober 1948, tokoh pejuang yang jadi otak gerakan bawah tanah di Kota Makassar, Robert Wolter Mongisidi, tertangkap Belanda. Pemuda kelahiran Malalayang, Manado, tahun 1925 ini menolak minta ampun kepada Belanda dalam pengadilan kolonial tanggal 26 Maret 1949.

Akhirnya, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dengan mengepit kitab suci, eksekusi hukuman mati terhadap Mongisidi dilaksanakan tanggal 5 September 1949 di Makassar, kota yang amat memujanya. Dalam kitab suci yang dikempitnya, ditemukan secarik kertas bertulisan tangan Mongisidi sendiri. Jelas tertera prinsip hidupnya: Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan.

Dari Polongbangkeng sendiri, perjuangan tetap tidak pernah pupus. Sebab mati hanya sebuah konsekuensi, tapi bukan berarti semangat ikut terkubur.

(Tomi Lebang/A Sydharta)



Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelar 'Pahlawan Nasional' untuk Adam Malik

JAKARTA -- Mantan wakil presiden (almarhum) Adam Malik kemarin mendapat anugerah gelar 'Pahlawan Nasional' dari pemerintah. Gelar yang sama juga dianugerahkan kepada almarhum Tjilik Riwut (mantan Gubernur Kalteng tahun 1957-67), Sultan Pasir Kaltim almarhum La Maddukelleng, serta Sultan Siak Riau almarhum Sultan As-syaidis Syarif Kasim Sani. Gelar itu diserahkan Presiden BJ Habibie kepada ahli waris masing-masing, pada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November, di Istana Merdeka kemarin. Gelar untuk Adam Malik diterima oleh istrinya, Ny Nelly Adam Malik. Tampak hadir pada acara itu antara lain Ny Hasri Ainun Habibie, Ketua DPR/MPR Harmoko, Ketua DPA Baramuli, Ketua MA Sarwata, Menko Polkam Feisal Tanjung, serta Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita. Pada acara tersebut, Kepala Negara juga menyerahkan tanda kehormatan 'Bintang Republik Indonesia' kepada sejumlah tokoh masyarakat yang sudah meninggal, khususnya yang berjasa pada masa perjuangan melawan penjajahan Bela...

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

B ali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan. Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement  pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno. Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Ma...

Nassau Boulevard Saksi Perumusan Naskah Proklamasi

G edung berlantai dua bercat putih itu masih nampak megah, sekalipun dibangun 80 tahun lalu. Nama jalan gedung ini pada masa pendudukan Belanda, Nassau Boulevard No 1, dan diubah menjadi Meijidori pada pendudukan Jepang. Untuk selanjutnya menjadi Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sekarang ini. Gedung yang diapit oleh Kedutaan Besar Arab Saudi dan Gereja Santa Paulus dibangun dengan arsitektur gaya Eropa, yang hingga kini masih banyak terdapat pada gedung-gedung di sekitar kawasan Menteng. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung ini bersamaan dengan dibukanya 'kota baru' Menteng, pada 1920, saat kota Batavia, sebutan Jakarta waktu itu, meluas ke arah selatan. Gedung yang kini diberi nama Museum Perumusan Naskah Proklamasi memang pantas dilestarikan oleh pemerintah, karena mempunyai nilai sejarah yang amat penting. Di tempat inilah pada malam tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan 7 Ramadhan 1364 H hingga menjelang fajar keesokan harinya para pendiri negara ini merumuskan naskah ...

Syekh Siti Jenar: Satu Cermin Banyak Gambar

A PAKAH Syekh Siti Jenar itu seorang mukmin? Kalau jawabannya "ya", kenapa ia akhirnya "diadili" oleh dewan wali (Wali Songo) atas tuduhan menyebarkan agama sesat? Kalau jawabannya "tidak", kenapa ia disejajarkan kedudukannya dengan Wali Songo dan disebut syekh atau wali? Berbagai pertanyaan tersebut selama ini menghinggapi benak masyarakat. Namun, jika Anda mengajukan pertanyaan tersebut pada buku Syekh Siti Jenar (Pergumulan Islam Jawa), semua akan terjawab tuntas. Bagi pengarang buku ini, Syekh Siti Jenar adalah sosok penganut Islam yang "aneh". Lewat ajarannya wihdatul wujud ( manunggaling kawula Gusti ), ajarannya dianggap menyesatkan banyak orang. Karena Tuhan diyakini menyatu dalam diri Syekh Siti Jenar yang juga dipanggil Lemah Abang tersebut. Tuhan adalah dia, dan dia adalah Tuhan. Ditinjau dari segi syari'ah, hal demikian sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana mungkin Tuhan yang berbeda ruang dan waktu disamakan denga...

9 Maret 1942: Belanda Menyerah di Kalijati

61 tahun silam (9 Maret 1942- red ), di Pangkalan Udara (PU) Kalijati Kab. Subang Jabar telah terjadi peristiwa sangat penting. Suatu peristiwa yang menghiasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pascakolonialisme Belanda, yaitu takluknya pemerintah dan tentara Belanda kepada Jepang di PU Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma- red ). Kejadian bersejarah itu berlangsung setelah terjadi pertempuran mahadahsyat di seputar Subang-Bandung. Lewat pertempuran yang memakan banyak korban dari dua kubu itu, Jepang akhirnya mampu menghancurkan kubu pertahanan Belanda di Ciater Subang dan menguasainya (6 Maret 1942). Kemudian disusul dengan perundingan Jepang-Belanda di rumah dinas seorang Perwira Staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di PU Kalijati Subang. Dua hari kemudian, dalam tempo cukup singkat, secara resmi Belanda mengakui menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dituangkan dalam naskah penyerahan Hindia Belanda. Di awal perundingan, Jenderal Ter Poorten selaku Panglima Belanda han...

Piagam Jakarta: Kisah Tujuh Kalimat Sakral

U ntuk membuat artikel ini, saya terlebih dahulu mendatangi sebuah gedung di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Karena di gedung yang dibangun pada awal abad ke-20 inilah, tempat bersidangnya para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa kolonial Belanda gedung yang hingga kini masih tampak antik dan anggun itu bernama Gedung Volksraad . Tempat para 'wakil rakyat' yang diangkat oleh pemerintah jajahan mengadakan sidang-sidang. Sampai awal tahun 1970-an gedung ini masih ditempati oleh Departemen Kehakiman. Kemudian dijadikan sebagai gedung BP-7 yang sejak reformasi dibubarkan. Gedung yang terletak bersebelahan dengan Deplu, dahulunya bersama-sama dengan gedung di kawasan Pejambon lainnya merupakan tanah pertanian milik Anthony Chastelin, yang juga memiliki tanah serupa di Depok. Bahkan, anggota Dewan VOC yang kaya raya inilah yang membangun Depok, ketika ia menghibahkan tanah miliknya itu kepada ratusan budak dengan syarat mereka harus mengubah agamanya me...

Pasarean Aermata, Situs Kebesaran Islam Bernuansa Persatuan Antar-umat Beragama

S epintas kilas, situs makam tua di puncak Bukit Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, itu tak menyiratkan keistimewaan apa pun. Apa yang nampak dari kejauhan, tak lebih dari sekadar 3 cungkup angker, menyembul dari balik pagar keliling warna hitam legam. Selebihnya, hanyalah suasana yang sunyi-mati. Tetapi, suasana akan menjadi lain jika pengunjung sudah menyatu dengan kompleks makam tua peninggalan abad ke-16 s/d 17 itu. Pasarean "Aermata", demikian Rakyat Madura biasa menyebut situs kuno itu, ternyata menawarkan peninggalan sejarah, sekaligus cagar budaya yang tak ternilai harganya. Secara pisik, kompleks Pasarean Aermata terdiri dari 3 buah cungkup utama, sebuah museum, serta sebuah peringgitan--tempat juru kunci menerima pelancong, peziarah, dan pengunjung dengan ragam kepentingan lainnya. Di 3 cungkup utama inilah bersemayam kuburan raja-raja Islam dari Kraton Bangkalan, semuanya keturunan Panembahan Cakraningrat I alias Raden Praseno hingga 7 turunan. ...