Langsung ke konten utama

Westerling Setelah Tiada (2) Sang Kapten Setelah Carte Blanche

Bila rakyat Indonesia, khususnya warga Sulawesi Selatan, masih mengenang kekejaman Westerling itu bisa dimaklumi. Sebab, berdasarkan catatan yang berhasil dikumpulkan Manai Sophiaan, bekas pimpinan redaksi harian "Pewarta Celebes" yang terbit di Makassar (sekarang Ujungpandang), peristiwa 11 Desember 1946 itu memang keji dan mengerikan. Kapten Raymond Westerling yang merupakan promotor pembantaian tesebut bukan hanya kejam, tetapi bahkan juga maniak (senang bila menyaksikan orang lain kesakitan karenanya).

Selain sebagai wartawan dan pimpinan redaksi sebuah harian terbitan Makassar, Manai Sophiaan, ayah kandung sutradara Sophan Sophiaan (Jawa Pos, 4 Desember 1987), adalah putra daerah Takalar, Sulsel. Di daerah itu Westerling juga menghabisi puluhan orang tak berdosa.

Jauh sebelum Westerling mendarat di Makassar, kota tersebut sebenarnya sudah menjadi ajang pertempuran antara rakyat setempat dengan pasukan Belanda. Kian lama, kegigihan rakyat Sulsel dalam memerangi Belanda kian besar.

Sehingga, Belanda pun memutuskan untuk menurunkan pasukan Baret Merah-nya (APRA), yang merupakan pasukan khusus untuk menandingi kekejaman Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Mereka ini mendapatkan pendidikan militernya di Inggris.

Pasukan Baret Merah yang diturunkan untuk mematahkan perlawanan rakyat Sulawesi Selatan itu, dipimpin langsung oleh Kapten Raymond Westerling. Dia diterjunkan di Medan, untuk kemudian dikirimkan ke Makassar bersama satu kompi pasukan.

Dalam suatu wawancara dengan wartawan pada awal kedatangannya di Makassar, Westerling pernah mengatakan, "Saya tidak menerima petunjuk khusus dalam pelaksanaan tugas saya di sini. Saya hanya menerima carte blanche (mandat penuh) untuk mematahkan teror yang berlangsung di sini. Berdasarkan surat kuasa itu, saya akan menjalankan taktik saya sendiri. Dan, saya tidak perlu meminta persetujuan pusat, bila hendak mengambil suatu kebijaksanaan."

Berpegang teguh pada carte blanche itu, Westerling pun lantas memulai "kebijaksanaannya". Dimulai dari Kampung Kalukuang, yang terletak tidak jauh dari Makassar.

Bersama satu detasemen pasukannya, yang diberi nama Korps Speciale Troepen (KST = korps pasukan khusus), Westerling membersihkan kampung itu. Caranya?

Dikumpulkannya seluruh warga kampung tersebut di sebuah lapangan terbuka. Lantas salah seorang dari mereka ditanya, adakah penentang Belanda yang bersembunyi di daerah mereka? Memang tidak jelas, apakah orang yang dimaksudkan oleh Westerling itu ada atau tidak. Yang pasti, penduduk daerah tersebut tidak ada yang mengaku.

Westerling kesal, barangkali. Ditaruhnya sebuah botol kosong di atas kepala salah seorang warga. Kemudian, dari jarak sekitar 10 meter, ditembaknya botol itu tanpa mengenai kepala yang menyanggahnya. Tentu saja hal ini membuat mereka yang berkumpul di lapangan desa itu jadi panik, dan lari pontang-panting. Saat itulah, Westerling dan pasukannya menyemburkan senjata mesinnya. Dan, tewaslah sebanyak 83 orang yang tak berdosa.

Pada hari itu juga, Westerling dan KST-nya melanjutkan aksinya ke Kabupaten Goa. Dengan cara yang sama, dan dibantu oleh polisi setempat, Westerling berhasil menghabisi 257 orang di beberapa kampung di daerah tersebut.

Westerling semakin membabi buta. Hampir setiap hari ia lakukan cara seperti yang pernah dilakukannya di kampung Kalukuang itu. Atau kadang-kadang, Westerling juga menggunakan variasi dalam gerakan pembantaiannya itu. Misalnya, setelah berkumpul dan rakyat tetap bungkam atas pertanyaan si kapten, mereka pun disuruh bubar dengan cara berlari. Ketika para penduduk itu sudah berlari pada jarak sekitar 20 meter, senapan pun menyalak. Dan puluhan, bahkan tak jarang ratusan orang roboh tanpa nyawa dengan batok kepala yang telah jebol.

Cara terakhir ini, selain dimaksudkan sebagai variasi, oleh Westerling juga dijadikan sebagai media untuk mengajarkan secara langsung kepada para anak buahnya, tentang bagaimana caranya agar bisa menembak dengan tepat.

Cara lain yang juga dilakukan Westerling untuk "membersihkan" Sulawesi Selatan adalah membakar suatu kampung tanpa pemberitahuan lebih dulu. Rakyat yang panik dan berlarian ke berbagai arah, segera dihajar dengan tembakan. Yang ditembak juga tidak pandang bulu, tua-muda, pria-wanita, bahkan anak-anak sekalipun. Hal inilah yang dilakukannya di Kecamatan Suppa, yang menyebabkan tewasnya sekitar 200 orang.

Ketika ditanya wartawan tentang apa yang diperbuatnya itu, dengan tegas Westerling mengatakan, "Semua pembesar tahu persis apa yang saya lakukan. Bahkan, pihak Batavia (sekarang Jakarta) telah mengetahui hal ini. Namun sampai saat ini, belum ada seorang pun menyalahkan apa yang saya lakukan selama di sini."

Kini, para korban kekejaman Westerling itu dikuburkan di kampung masing-masing dengan nisan yang bertuliskan, "Korban Kekejaman Westeling 1946-1947". Misalnya yang terdapat di Makam Pahlawan Kabupaten Takalar, atau yang ada di Kampung Bajeng dan Palleko.

Apa yang diperbuat Westerling itu memang sulit untuk dilupakan. Karenanya, ada pula korban pembantaian tersebut yang dikubur di samping rumahnya sendiri. Dan, di atas nisannya yang telah lapuk tertera tulisan, "Dibunuh oleh Baret Merah Westerling".

Tetapi nampaknya Westerling ataupun pasukannya juga tak peduli terhadap semua ini. Buktinya, ia masih terus melakukan pengejaran dan pembersihan. Dan, Westerling Cs. semakin mengganas, ketika mendengar bahwa sejumlah pasukan yang dikirimkan dari Jawa telah mendarat di Sulawesi Selatan.

Maka Westerling pun membuat taktik lain. Ditangkapnya para pemuda dan "orang-orang besar" di suatu kampung. Lantas, memaksa mereka untuk pergi ke hutan, melacak keberadaan para tentara yang dikirimkan dari Jawa itu. Bila ternyata gagal menemukan tempat persembunyian orang buruannya, maka mereka pun dihabisi di tengah jalan oleh anggota Baret Merah yang mengawalnya. (bersambung)



Sumber: Jawa Pos, 5 Desember 1987



Komentar

Postingan populer dari blog ini

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata. K ETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu. Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java . Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awa...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Perjuangan "Antara" di Jaman Kolonial Hindia Belanda

Oleh : Djamal Marsudi. Di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, pers nasional merupakan senjata yang sangat ampuh dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bersamaan dengan timbulnya kaum pergerakan, timbullah berbagai suratkabar harian dan majalah. Pada umumnya pers di kala itu bersifat perjuangan. Berkali-kali suratkabar-suratkabar Indonesia itu "dibredel" pemerintah Hindia Belanda. Wartawan-wartawannya diborgol dan masuk penjara tidak sedikit, tetapi perjuangan pers tetap berjalan. Pada tahun 1937 yang berarti menjelang pecah Perang Dunia II, atas usaha-usaha pemuda wartawan yang dinamis didirikan sebuah kantor berita Nasional bernama "Antara" di Jakarta oleh Pandu Kartawiguna, Mr. Soemanang, Albert Manumpak Sipahutar, Armyn Pane, Adam Malik dan lain-lain lagi. Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda telah diserbu oleh Nazi Jerman, hanya lima hari saja negeri Belanda bisa dipertahankan. Oleh karena negeri Belanda diduduki Nazi Jerman, maka negeri jajahannya yang berna...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Petualangan Jin Bun

BERSAMA saudaranya yang bernama Kin San, Jin Bun bertolak dari Palembang ke Tanah Jawa. Satu tujuannya, yaitu mencari bapaknya, Prabu Brawijaya, yang telah mengecewakan hati sang ibunda, Putri Cina. Namun, nasib berkata lain. Petualangan dan kerja keras Jin Bun di Tanah Jawa berbuah penobatan dirinya sebagai pendiri kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, yaitu Kerajaan Demak, yang berhasil menghancurkan Kerajaan Majapahit, kerajaan yang dipimpin ayahnya sendiri. Dalam catatan sejarah, kita mengenal Jin Bun dengan nama lain: Raden Patah. J IN Bun lahir dari rahim seorang Putri Cina yang terpaksa menelan rasa pilu disia-siakan suaminya, Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Kesakitan hatinya itu dimulai ketika ia dicemburui oleh sesama selir. Ia kemudian dikirim ke Palembang oleh Prabu Brawijaya untuk dijadikan hadiah bagi Arya Damar yang saat itu menjadi wakil Majapahit di Palembang. Padahal, saat itu Putri Cina sedang dalam keadaan hamil tujuh bulan mengandung bayi sang prabu. Tak berapa la...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...