Langsung ke konten utama

WESTERLING ATAU SEBUAH TEROR

Mungkin ia tentara sejati, tapi tindakannya di Sulawesi Selatan menimbulkan pro dan kontra: tidakkah Kapten Westerling telah melakukan kejahatan perang? Tiga tulisan mengetengahkan sosok anggota Pasukan Para Khusus yang meninggal dua pekan lalu itu dan aksi-aksinya, hasil riset kepustakaan oleh Priyono B. Sumbogo (wartawan) dan Sri Mulungsih (pustakawati), dan sebuah wawancara dengan Willem Izjereef (penulis peristiwa Sulawesi Selatan, oleh koresponden TEMPO di Belanda).

"INGATLAH dosa Tuan yang membunuh secara kejam dan pengecut peristiwa Sulawesi Selatan dan APRA di Bandung. Kalau Tuan tidak menerima tantangan duel ini, memanglah Tuan pengecut yang tidak tahu malu. Inilah surat saya yang penghabisan dan saya akan tunggu kematian Tuan walaupun menahan waktu bertahun-tahun." ("Tantangan untuk Westerling", surat pembaca di harian Suluh Indonesia, 5 Januari 1959, dikirimkan oleh Darwin alias Kancil).

Hampir 29 tahun kemudian, di Belanda, di musim gugur, kematian itu memang datang. Kamis dua pekan lalu, 26 November 1987, di Purmerend, kota kecil 20 km dari Amsterdam, orang yang disebut Westerling mengembuskan napas terakhirnya. Bukan karena duel, tapi karena serangan jantung. Lima hari kemudian, Selasa pekan lalu, di musim ketika daun-daun rontok dan pohon cuma dahan dan ranting, ia dikuburkan di timur Amsterdam. Pelayat hampir semuanya mengenakan pakaian seragam, komplet dengan pangkat dan tanda jasa. Bukan, mereka bukan tentara Belanda. Seragam itu adalah seragam KNIL. Jadi, mereka bekas tentara pendudukan Hindia Belanda. 

Memang, itulah pemakaman Raymond Paul Pierre Westerling, nama yang pantas ditantang duel, agaknya. Seorang yang boleh jadi dipuji sebagai seorang tentara sejati, tapi yang harus menanggung timpaan sumpah serapah sebagai penjagal keji manusia. Dialah yang memimpin pembantaian sekian ribu warga Sulawesi Selatan. Juga orang yang dituduh memprakarsai teror APRA di Bandung dan sekitarnya, Januari 1950.

Kematian Westerling, 68 tahun, boleh dikata mendadak. Yakni setelah ia marah-marah saat diwawancarai wartawan Belanda. Marah? Ia sangat kecewa. Hari-hari belakangan ini di Belanda muncul polemik hangat tentang buku Prof. Lou de Jong, seorang sejarawan. Dalam buku yang masih hendak terbit itu, Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia Kedua), De Jong menulis tentang kejahatan perang Belanda, yang disamakannya dengan kejahatan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Dan itu berarti juga menuding Westerling sebagai penjahat perang.

Sejumlah tanggapan pun bermunculan. Mulai soal angka korban: 200-kah, 2 atau 3 ribu, hingga 40 ribu? Sampai, apakah yang dilakukan oleh tentara pendudukan itu kejahatan atau bukan. Satu pihak menyebut bahwa tentara hanya melaksanakan perintah atasan. Di pihak lain, seperti Willem Ijzeref, penulis buku De Zuid-Celebes Affairs--yang dikutip De Jong untuk bahan bukunya--setuju dengan pendapat bahwa para tentara itu (terutama Westerling) adalah penjahat perang. "Dari segi perang, itu soal lain. Tapi dari segi hukum, mereka harus dihukum sebagai penjahat perang," katanya.

Tapi, siapakah Westerling yang begitu kontroversial?

Masa lalunya tak banyak terungkap. Dalam stambuk tentara KNIL, namanya hanya tertera sebagai Kapten Westerling. Masa kecilnya ditutupnya rapat. Ia lahir di Istambul (Turki), 31 Agustus 1919. Ayahnya seorang Belanda, ibunya keturunan Yunani. Mereka pedagang karpet. Dari ibunya ia belajar bahasa Yunani dan Perancis. Sedangkan bahasa Turki dipelajarinya dari pengasuhnya.

Ketika ia berusia 5 tahun, kedua orang tuanya meninggalkan Westerling. Anak yang tak bahagia ini lalu hidup di panti asuhan. Tempat itulah mungkin yang membentuk dirinya untuk menjadi orang yang tidak bergantung dan tidak terikat kepada siapa pun.

Perang Dunia pecah. Kebetulan, sejak remaja Westerling sudah tertarik pada buku-buku perang. Zaman memberikan kesempatan baginya untuk jadi tentara. Di usia menjelang 22 tahun, Desember 1940, ia datang ke Konsulat Belanda di Istambul. Westerling menawarkan diri menjadi sukarelawan--dekat sebelum Belanda dikuasai Hitler. Ia diterima. Tapi untuk itu, ia harus bergabung dulu dengan pasukan Australia.

Bersama kesatuannya, Westerling angkat senjata di Mesir dan Palestina. Dua bulan kemudian ia dikirim ke Inggris dengan kapal. Di sini ke-semaugue-annya mulai muncul. Ia menyelinap menuju Kanada, melaporkan diri ke Tangsi Ratu Juliana, di Sratford, Ontario. Di situlah ia belajar berbahasa Belanda. 

Westerling lalu dikirim ke Inggris. Ia bergabung dalam Brigade Putri Irene. Di Skotlandia, ia memperoleh baret hijaunya. Ia juga mendapat didikan sebagai pasukan komando. Spesialisasinya adalah sabotase dan peledakan. Ia pun memperoleh baret merah dari SAS (The Special Air Service, pasukan khusus Inggris yang terkenal). Dan yang membanggakannya, ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London, pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, dan menjadi instruktur pasukan Belanda. Yakni untuk latihan bertempur tanpa senjata dan membunuh tanpa bersuara. Tapi ia pun pernah dipekerjakan di dapur--sebagai pengupas kentang.

Ternyata, hidup di barak membuatnya boyak. Ia ingin mencium bau mesiu dan ramainya pertempuran yang sebenarnya, bukan cuma latihan. Cita-citanya kesampaian pada 1944: Inggris menerjunkannya ke Belgia. Dari situ ia bergerak ke Belanda Selatan. Inilah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tanah leluhur--benarkah ia merasakannya sebagai tanah leluhur? Menurut buku De Zuid-Celebes Affairs, di Belgia itulah ia kali pertama merasakan perang sesungguhnya. Tapi, menurut Westerling sendiri, dalam Westerling, "De Eenling", perkenalannya pertama dengan perang adalah di hutan-hutan Burma.

Gemilang agaknya prestasi militer Westerling. Tapi entah mengapa ia meninggalkan satuannya, pasukan elite Inggris, dan masuk menjadi tentara Belanda (KNIL). Ia lalu terpilih masuk dalam pasukan gabungan Belanda-Inggris di Kolombo. Pada September 1945, bersama beberapa pasukan Westerling diterjunkan ke Medan, Sumatera Utara. Tujuannya, menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli, dan membebaskan pasukan pro-Belanda yang ditawan. Berhasil.

Sebulan kemudian tentara Inggris mendarat di Sumatera Utara, dan entah bagaimana Westerling bergabung dengan pasukan ini. Tugasnya, melakukan kontraspionase--demikian Westerling "De Eenling". Itu makanya di Medan ia mengkoordinasikan orang-orang Cina, membentuk pasukan teror Poh An Tui (PAT). Pertengahan tahun 1946 ia dikirim ke Jakarta.

Di KNIL, karier militer Westerling cepat naik. Mulanya, ia hanya seorang instruktur. Tak lama, pada usia 27 tahun, Letnan Satu Westerling diangkat sebagai Komandan 'Depot Speciale Troepen' (DST), Pasukan Para Khusus Belanda. Pasukan inilah yang ditugaskan ke Makassar, untuk membantu Kolonel De Vries mempertahankan kekuasaan Belanda. Pada 5 Desember 1946, ia sampai di Makassar. Belum seminggu di tempat baru, ia sudah membuat teror yang menggemparkan. Kampung dikepung, dihujani mortir. Rumah-rumah dibakar habis. Penduduk dikumpulkan, dibantai. Dan para anggota pergerakan kemerdekaan disiksa, sebelum dihabisi dengan tembakan pistolnya.

Empat bulan teror dilangsungkan, perlawanan penduduk memang jadi mereda. Dan rakyat--mungkin karena takut--menge-elukannya ketika Westerling meninggalkan Makassar, kembali ke Jawa. Konon, seorang simpatisan memberikan kenang-kenangan sebilah badik.

Westerling ternyata memang berbakat menjadi jagal manusia. Di Bandung ia nebeng kemelut politik Indonesia, untuk menyalurkan bakatnya membunuh. Lewat APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), ia memancing pertumpahan darah.

Tapi di Bandung pula ia memasuki hidup berumah tangga, menikah dengan wanita setempat, tapi bernama Ivonne Fournier. Semua itu--APRA dan perkawinannya--dilakukannya sebagai orang swasta, setelah jabatannya sebagai Komandan DST dicopot oleh Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor, di Batujajar, 21 November 1948.

Gagal dengan APRA-nya, Westerling tak juga patah. Ia dan anak buahnya, menurut buku Westerling oleh Supardi, sering mengadakan pertemuan di Nite Club Black Cat di Jalan Segara (Jalan Veteran I, kini), Jakarta. Mereka menggunakan pabrik besi Nyo Peng Liong sebagai tempat mereparasi senjata. Sedangkan dana ia peroleh dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat, bantuan seorang yang bernama Jungschlager (orang ini diduga anggota Nefis, Dinas Intelijen Militer Belanda), dan dari pampasan perang dari Jepang.

Pada 23 Februari 1950 pukul 10 pagi Letnan Sanjoto mendapat informasi bahwa Westerling berada di Pelabuhan II Tanjungpriok. Sanjoto lalu menugasi Letnan Kusuma dan Letnan Supardi, penulis buku itu, menangkap Westerling. Pukul 19.00 mereka mengendarai jip Willys, mendatangi Westerling. Rencananya, mereka akan mengajak ngobrol sebentar, lalu Supardi menembak Westerling, dan Kusuma meledakkan granat. 

Skenario ternyata tak berjalan. Sebelum rencana terlaksana, Westerling malah menghampiri mereka, mengajak minum bir. Mereka rupanya tak kuasa menolak. Tapi tugas tetap dilaksanakan: kedua letnan itu mengatakan kepada Westerling bahwa ia diharap datang ke markas Tanjungpriok sebentar.

Mereka berangkat dengan kendaraan masing-masing. Di tengah perjalanan Westerling dan anak buahnya memberondong mobil Kusuma dan Supardi hingga terbalik dan penumpangnya luka. Mayor Brentel Susilo dan Letnan J. C. Princen (kini di Lembaga Hak Asasi Manusia di Jakarta), yang menguntit jejak Westerling, ganti mengejarnya. Terlambat, hari itu juga Westerling terbang ke Singapura dengan pesawat Catalina yang diduga telah dipersiapkan.

Di Singapura Westerling sempat ditangkap Inggris. Tapi kemudian ia bisa berangkat ke Belanda, Agustus, tahun itu juga. Nasibnya di luar medan perang bisa dibilang buruk. Ia mencoba bergerak di bidang percetakan, gagal. Pernah juga ia mencoba menjadi penyanyi opera, belajar menyanyi di Jerman, gagal lagi.

"Saya jual buku saja," katanya suatu ketika. Dan akhirnya memang ia hidup sebagai pedagang buku bekas.

Hampir pula Westerling terjun ke kancah perang lagi. Ia sempat membikin 2 memorandum yang isinya mendorong agar Eropa (juga Belanda) berperan menghadapi Vietkong. Tak ada yang menanggapi. Yang terjadi kemudian malah sebaliknya. Menjelang perebutan Da Nang, Juli 1965, seseorang menghubunginya, menawarinya untuk melatih pasukan Vietkong. Kabarnya, Westerling hampir berangkat bila tidak dicegah pemerintah Belanda.

Westerling memang khas tentara bayaran. Ia tampaknya tak pernah berpikir untuk siapa dan untuk apa dia menembak.

Hingga saat-saat terakhirnya, sejauh diketahui, belum pernah ia mengaku bersalah atas terornya di Indonesia. Yang dilakukannya, kata dia, adalah melindungi rakyat.

Si jagoan Kapten De Turk (julukannya karena dia berdarah Turki) akhirnya "ditaklukkan" bukan di medan perang, tapi di medan ilmu. Sejarawan De Jong dengan bukunya yang akan terbit rupanya membuka kembali masa lalunya, dan membuat jantungnya kambuh.

Zaim Uchrowi


Sumber: Tempo, 12 Desember 1987


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

Kubah Mesjid, Bukan Asli Arsitektur Islam

K ubah sebagai bagian dari arsitektur bangunan, bukan merupakan nama yang asing lagi kedengarannya. Ia merupakan bagian yang sukar dipisahkan dari bangunan mesjid. Kubah memang seakan sudah menjadi trademark- nya arsitektur mesjid di dunia. Hampir dapat dipastikan bahwa semua mesjid yang ada di muka bumi ini menyertakan kubah sebagai bagian dari bangunan mesjidnya. Tak heran pula, bila kemudian ada yang mengatakan bahwa kubah merupakan ciri khas dari arsitektur mesjid. Bahkan kubah telah menjadi simbol dari bangunan mesjid. Lapangan Terbuka Pada awalnya, mesjid bukanlah merupakan suatu bangunan yang megah perkasa seperti mesjid-mesjid yang tampil di masa kejayaannya yang penuh keindahan dengan ciri-ciri keagungan arsitektural pada penampilan mesjidnya. Mesjid Quba di Madinah sebagai mesjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. di sekitar tahun 622 M misalnya, memiliki bentuk yang sangat sederhana dan merupakan karya spontan masyarakat muslim di Medinah saat itu. Denahnya seg...

Bagaimana Westerling Bisa Lolos dari Indonesia (2) Menyamar sebagai "Sersan Ruitenbeek" dengan Paspor Palsu Mendarat di Singapura

Oleh: H ROSIHAN ANWAR Malam tanggal 9 Februari 1950 Komisaris Tinggi Belanda, Dr. Hirschfeld mengadakan jamuan menghormati Staatssecretaris van Oorlog dari Belanda yang dihadiri oleh PM RIS Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono. Kedua orang ini pada suatu kesempatan terpisah berbicara dengan Dr. Hirschfeld dan mengatakan jikalau Westerling jatuh ke tangan Belanda, mereka akan menuntut penyerahannya agar diajukan ke mahkamah pengadilan karena percobaannya melakukan kudeta di Bandung tanggal 23 Januari 1950. Adapun ucapan Presiden Sukarno yang berasal dari sebelum tanggal 23 Januari tidak lagi berlaku. Penegasan pendirian Indonesia ini berarti suatu perubahan dari reaksi-reaksi pribadi mereka yang pertama. Maka Komisaris Tinggi Belanda lalu mengambil jarak dari rencana pelolosan Westerling. Karena RIS menuntut agar Westerling diserahkan apabila dia jatuh ke tangan Belanda, maka ditekankan oleh Komisaris Tinggi bahwa anggota-anggota angkatan bersenjata Belanda dalam...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Jumat Berdarah Itu Merenggut 40.000 Rakyat Sulsel

D ini hari, 11 Desember 1946, Pasukan Para Khusus Baret Hijau pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling memulai gerakannya di Sulawesi Selatan. Sasaran pertama di wilayah timur Makassar. Di daerah ini, dua pimpinan gerakan perjuangan diduga bersembunyi, tepatnya di Kampung Batua. Kedua pimpinan pejuang itu adalah Robert Wolter Monginsidi dan Ali Malakka. Penduduk kampung dikumpulkan. Jumlahnya sekitar 3.000 orang, penduduk Batua dan sekitarnya. Laki-laki dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Westerling kemudian tampil ke depan, membacakan 74 nama yang dicari. Nama-nama itu disebutnya "pemimpin gerakan perlawanan, pembunuh, dan perampok". Letnan Satu Westerling bersama Pasukan Para Khusus Baret Hijau-nya mendarat di Makassar, awal Desember 1946. Di daerah itu pangkat pria keturunan Belanda (ayah) dan ibu bangsawan Turki ini dinaikkan setingkat lebih tinggi, menjadi Kapten oleh Kolonel De Vries, Komandan Territorial Borneo dan Timur Besar. De Vries memuji cara kerja Westerling...

Kepiawaiannya Membuat Sunan Kudus Jadi Idola Kaum Muda

S elain dikenal sebagai tokoh penyebar Islam di daerah pesisir utara Jawa, Sunan Kudus juga merupakan pujangga besar. Kepiawaiannya mengarang cerita-cerita yang sarat filsafat dan jiwa keagamaan, praktis membuat dia menjadi idola kaum muda kala itu. Gending maskumambang  dan mijil  merupakan dua buah ciptaannya yang melegenda hingga kini. Khusus dalam ilmu agama, Sunan Kudus yang bernama asli Ja'far Shodiq ini merupakan sosok paripurna. Dia sangat menguasai ilmu tauhid, ushul fiqh, hadist, tafsir, juga mantiq. Karena itu, di antara sembilan wali, Sunan Kudus dikenal sebagai waliyul ilmi. Sebagai ahli ilmu agama, Sunan Kudus memiliki begitu banyak murid dan kader yang terserak di berbagai pelosok daerah. Karena itu, hampir di setiap kampung di seputar Kudus kini terdapat makam murid Sunan Kudus yang turut berjasa dalam syiar Islam di Jawa pada tahap awal ini. Dalam melakukan syiar Islam, cara yang ditempuh Sunan Kudus sebenarnya tak banyak berbeda dengan wali-wali lain: m...

Sang Cipta Rasa, Mesjid dengan Sejarah yang Panjang

* Tempat Syekh Siti Jenar Dihukum Mati Jika kita mendengar kata Cirebon, mungkin ingatan kita tertuju kepada kota udang, sebagaimana julukan kota ini. Namun dalam kenyataannya lebih dari itu. Cirebon tidak hanya terkenal sebagai kota penghasil lauk dari udang, tetapi juga terkenal sebagai kota yang memiliki berbagai peninggalan purbakala seperti mesjid, kraton, dan kompleks makam. Sebagai bekas kerajaan yang bercorak Islam, peranan Cirebon dalam sejarah kuno Indonesia, khususnya sejarah Jawa Barat, tidak dapat dikatakan kecil. Hal ini antara lain ditandai dengan sejumlah bangunan purbakala seperti di atas dan hasil-hasil kesusastraan kuno. Jaman keemasan dan kemakmuran Cirebon, rupanya dialami pada masa pemerintahan Syarif Hidayatillah (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1479-1568. Pada masa ini Syarif Hidayatillah menjabat sebagai susuhunan agama dan kepala negara. Salah satu bangunan purbakala yang berasal dari masanya adalah Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Mesjid Agung: Menurut Sejarah dan...