Langsung ke konten utama

Jumat Berdarah Itu Merenggut 40.000 Rakyat Sulsel

Dini hari, 11 Desember 1946, Pasukan Para Khusus Baret Hijau pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling memulai gerakannya di Sulawesi Selatan. Sasaran pertama di wilayah timur Makassar. Di daerah ini, dua pimpinan gerakan perjuangan diduga bersembunyi, tepatnya di Kampung Batua. Kedua pimpinan pejuang itu adalah Robert Wolter Monginsidi dan Ali Malakka.

Penduduk kampung dikumpulkan. Jumlahnya sekitar 3.000 orang, penduduk Batua dan sekitarnya. Laki-laki dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Westerling kemudian tampil ke depan, membacakan 74 nama yang dicari. Nama-nama itu disebutnya "pemimpin gerakan perlawanan, pembunuh, dan perampok".

Letnan Satu Westerling bersama Pasukan Para Khusus Baret Hijau-nya mendarat di Makassar, awal Desember 1946. Di daerah itu pangkat pria keturunan Belanda (ayah) dan ibu bangsawan Turki ini dinaikkan setingkat lebih tinggi, menjadi Kapten oleh Kolonel De Vries, Komandan Territorial Borneo dan Timur Besar. De Vries memuji cara kerja Westerling. Komandan ini pulalah yang meminta bantuan dari Jawa guna menumpas perjuangan di wilayahnya.

Pasukan Baret Hijau--beranggotakan sekitar 130 orang--pimpinan Westerling kemudian beraksi. Dan warga yang tidak mau menunjukkan nama yang disebutkan tadi, harus menebus sikap kesatria itu dengan nasib nahas: langsung ditembak di tempat hingga tewas.

Setelah mengintimidasi sambil memberikan contoh orang yang tidak mau menunjukkan nama-nama itu, Westerling dan pasukannya akhirnya memperoleh 32 nama. Mereka begitu saja dinyatakan bersalah, lalu diberondong senjata. Kampung Batua pun dihujani mortir, kemudian dibakar.

Itulah operasi pertama yang dilancarkan pasukan Westerling di Sulawesi Selatan. Hari-hari berikutnya operasi yang disertai teror terus dilancarkan. Tidak hanya di Makassar. Sasaran operasi diteruskan sampai ke berbagai daerah. Pasukan Westerling juga masuk ke Pare-pare, Mandar, hingga Bantaeng. Pembantaian pun terjadi di hampir seluruh pelosok Sulawesi Selatan.

Di tiga daerah itu (Pare-pare, Mandar, Bantaeng), dikabarkan hampir 700 orang dibantai pasukan Westerling yang haus darah. Jumlah itu belum termasuk korban yang oleh Westerling disebut "perampok", yakni sekitar 2.660 orang. Tak hanya itu. Masih ada sekitar 550 orang yang tidak sempat menyelamatkan diri ketika kampungnya dibakar.

Di Mandar sendiri, seperti dituturkan Haji Muhammad Riri Amin Daud--salah seorang korban dan saksi mata kekejaman pasukan Westerling di Sulawesi Selatan (Kompas, 22 Agustus 1995)--pernah terjadi peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh para pejuang.

Peristiwa itu bermula ketika terjadi konfrontasi antara para pejuang dengan tentara musuh. Dua serdadu Belanda tewas dalam peristiwa itu. Ini membuat telinga Westerling merah, matanya gelap. Dia, tentu saja, tidak tinggal diam. Pembalasan dilakukan dengan melakukan pembantaian, yang kemudian dikenal dengan Jumat Berdarah.

Disebut Jumat Berdarah, karena hari itu bertepatan dengan hari Jumat. Penduduk selain berkumpul karena hari pasar, juga untuk Shalat Jumat. Mereka langsung digiring kemudian dibantai. Jumlah mereka yang dibantai itu dalam bilangan ratusan orang. Mayat mereka dikubur dalam sebuah kuburan--sekarang dikenal dengan Galunglombo--di Kabupaten Polmas.

Dalam setiap operasinya, selalu saja ada kebandelan masyarakat yang dijumpainya. "Upacara" mengambil seorang penduduk yang telah dikumpulkan dan memintanya menunjukkan yang mana "kaum ekstremis" selalu memakan korban. Seorang atau dua orang yang dicomot biasanya tetap membisu. Tapi akibatnya, maut pun menyergap mereka.

Begitulah. Pasukan Westerling di Sulawesi Selatan bertindak kejam terhadap penduduk di daerah itu. Hampir tiap hari terjadi pembantaian para pejuang kemerdekaan. Bahkan, mereka yang berada dalam tahanan pun, tak luput dari berondongan senjata. Kekejaman Westerling dan pasukannya yang membantai ribuan penduduk daerah itu, kemudian dikenang sebagai Peristiwa Korban 40.000 jiwa.

Pembantaian tanpa perikemanusiaan ala Westerling itu tetap dikenang oleh warga Sulsel. Inilah bukti nyata heroisme rakyat Sulsel, sebagai darma bakti untuk Indonesia Raya.

[] bur/dari berbagai sumber



Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulsel Diperingati

JAKARTA--Sekitar 1.500 masyarakat dan warga Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Jakarta, kemarin, memperingati Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulsel dengan melakukan ziarah di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Kamis (11/12).

Upacara ziarah dan peringatan dipimpin Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI M Yunus Yosfiah), dihadiri antara lain Ketua Umum Pengurus Besar (PB) KKSS Prof Dr Ir Beddu Amang.

Ziarah diawali apel penghormatan dan hening cipta di pelataran monumen TMP Kalibata, dengan komandan upacara Dandim 0507/BS Bekasi Letkol Inf Hasanuddin Hanafi.

Ziarah itu secara rutin dilakukan masyarakat Sulawesi Selatan di Jakarta, termasuk warga KKSS lainnya di daerah guna mengenang 40.000 pahlawan Sulsel, yang dibantai secara keji dan kejam oleh tentara penjajah Belanda pimpinan Westerling pada 11 Desember 1946.

Di Jakarta, peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa itu juga dirangkaikan dengan temu kekeluargaan antara tokoh pejuang asal Sulawesi Selatan dengan warga KKSS se-Jabotabek di Hotel Cempaka, Jakarta, Kamis malam.

Dalam amanatnya Kassospol ABRI Letjen TNI Yunus Yosfiah mengatakan, peringatan ini merupakan suatu wujud pengakuan, penghargaan, dan penghormatan atas pengorbanan rakyat Sulawesi Selatan yang bersedia mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan RI.

"Saya kira ini juga merupakan tekad rakyat Sulawesi Selatan untuk selalu menghargai dan ingin terus melanjutkan motivasi juang yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu, khususnya mereka yang gugur dalam peristiwa 11 Desember 1946 itu," ujarnya.

Menurut Kassospol, peringatan ini tidak hanya sekadar bersifat seremonial. Tapi, justru yang lebih penting, adalah bahwa melalui peringatan ini, setiap tahun warga dan rakyat Sulawesi Selatan bisa menyegarkan motivasi juang dan pengabdian dalam memberikan kontribusi dan menyumbangkan tenaga untuk pembangunan bangsa dan negara. "Inilah makna penting dari peringatan seperti ini," ujar Kassospol.

[] bur



Sumber: Republika, 12 Desember 1997



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belanda Meminta Maaf Atas Ulah Westerling

BANDUNG, (PR).- Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas kejahatan yang dilakukan tentaranya selama masa periode pendudukan di Indonesia antara tahun 1946-1947. Mereka juga memberikan ganti rugi terhadap keluarga korban pembantaian yang dilakukan tentara mereka di Indonesia para periode tersebut. Dikutip dari bbc.co.uk, Minggu (11/8/2013), dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Kamis (9/8/2013) waktu setempat, permintaan maaf secara terbuka oleh pemerintah Belanda terkait kasus pembantaian rakyat Indonesia oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947. "Duta Besar Belanda di Indonesia yang mewakili negara ini akan menyampaikan permintaan maaf," bunyi pernyataan tersebut. Namun, belum disinggung soal ulah pembantaian oleh pasukan yang dipimpin Westerling lainnya, dalam peristiwa penembakan terhadap pasukan Siliwangi di Jln. Lembong, Bandung. Ini terjadi pada peristiwa pembantaian oleh Angkatan Pe...

Permohonan Maaf Belum Lengkap: Keluarga Korban Westerling di Tasikmalaya & Ciamis Harus Berani Bicara

BANDUNG, (PR).- Walau Pemerintah Belanda dikabarkan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas kejahatan tentaranya, Kapten Raymond Westerling, selama masa periode pendudukan di Indonesia antara tahun 1946-1947, tetapi persoalan itu belum sepenuhnya selesai. Diduga masih banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Westerling selama di Indonesia, bukan hanya di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947, tetapi juga terindikasi dilakukan pula di Jawa Barat selama kurun waktu Januari-November 1948. Pengamat sejarah dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr Reiza Dienaputra, di Bandung, Senin (12/8/2013), menyebutkan, disinyalir ada kejahatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan pasukan Belanda yang dipimpin Westerling terhadap warga sipil di Kab. Tasikmalaya dan Kab. Ciamis selama tahun 1948. Namun, sejauh ini, keluarga korban belum ada yang melapor sehingga ulah Westerling di Tasikmalaya dan Ciamis belum terungkap.  "Diharapkan pihak keluarga korban Westerling di Tasikmalaya dan Ciamis dap...

Korban Westerling Tolak Permintaan Maaf Belanda

JAKARTA, (PR),- Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945. "Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar se...

TRAGEDI WESTERLING: Belanda Meminta Maaf atas Pembunuhan Massal

JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf kepada keluarga korban pembunuhan massal yang dilakukan Kapten Raymond Pierre Paul Westerling dalam kurun wktu 1945-1949. Permintaan maaf tersebut disampaikan Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan di Jakarta, Kamis (12/9). "Atas nama Pemerintah Belanda, saya ingin menyampaikan permintaan maaf atas kejadian itu. Saya juga meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar, dan Parepare," kata De Zwaan. Permintaan maaf itu terungkap di depan sejumlah kalangan, terutama para janda korban dan sejumlah keluarga mereka yang mendampingi. Menurut De Zwaan, waktu itu, tentara Belanda telah melakukan kekerasan di Sulawesi Selatan. Kekerasan tersebut menyebabkan banyak korban yang tidak berdosa dan penderitaan. Beberapa tahun terakhir, ibu-ibu dari Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan yang suaminya tewas dalam tragedi itu mendatangi pengadilan Belanda. Mereka menuntu...

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

B ali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan. Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement  pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno. Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Ma...

JEJAK NASIONALISME BANDA (4) Sosok Des Alwi, dari Perjuangan hingga Orde Baru

P engusaha Hashim Djojohadikusumo meluncurkan ulang buku Pertempuran 10 November 1945  karya Des Alwi akhir November 2011. "Dari Banda inilah, Indonesia yang sekarang ada tercipta. Salah satu tokohnya adalah Des Alwi," ujar Hashim memuji Des Alwi, sahabat dan kerabat dekat keluarga besar Djojohadikusumo. Tahun 1930-an, Des Alwi menjadi murid dan anak angkat Bung Hatta alias Om Kaca Mata dan Bung Kecil, yakni Sutan Syahrir alias Om Rir. Des Alwi adalah tokoh lintas zaman dan generasi. Dia bergaul dengan perintis dan pendiri Republik. Turut terlibat langsung dalam desing peluru, keringat, dan darah semasa revolusi fisik, berseberangan dengan masa akhir rezim Orde Lama, dan dekat dengan tokoh-tokoh Orde Baru. Semasa hidup, dalam satu kesempatan saat bertemu di sebuah restoran di bilangan Menteng, Jakarta, Des Alwi bercerita saat dia berada di Kuala Lumpur, kubu anti-Soekarno kerap menghubungi dirinya. Des ikut pula merintis upaya mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia karena ...

Kebangkitan Pendidikan Nasional

Oleh KI SUPRIYOKO S ERATUS tiga tahun yang silam, tepatnya tanggal 20 Mei 1908, Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Suradji, Soewarno, Goembrek, Muhammad Saleh, R. Angka, dan kawan-kawan yang waktu itu tercatat sebagai pelajar pada sekolah pendidikan dokter Hindia, School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA sepakat melahirkan organisasi sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik yang diberi nama Boedi Oetomo. Lahirnya Boedi Oetomo memang melalui sejarah yang cukup panjang dan penuh dengan romantika. Bagaimanapun Boedi Oetomo lahir di lingkungan orang-orang Belanda sehingga tidak boleh terlalu "telanjang" yang dapat menimbulkan kemarahan pemerintah kolonial. Menurut sejarawan berkelas dunia yang berprofesi sebagai dosen pada Deparment of History, National University of Singapore (NUS), Prof. M. C. Ricklefs, B.A., Ph.D., FAHA, nama Wahidin Soedirohoesodo tidak tercatat di dalamnya karena memang tidak termasuk pendiri Boedi Oetomo. Ketika dia berdiskusi di pe...