Bagaimana Westerling Bisa Lolos dari Indonesia (2) Menyamar sebagai "Sersan Ruitenbeek" dengan Paspor Palsu Mendarat di Singapura
Oleh: H ROSIHAN ANWAR
Malam tanggal 9 Februari 1950 Komisaris Tinggi Belanda, Dr. Hirschfeld mengadakan jamuan menghormati Staatssecretaris van Oorlog dari Belanda yang dihadiri oleh PM RIS Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono. Kedua orang ini pada suatu kesempatan terpisah berbicara dengan Dr. Hirschfeld dan mengatakan jikalau Westerling jatuh ke tangan Belanda, mereka akan menuntut penyerahannya agar diajukan ke mahkamah pengadilan karena percobaannya melakukan kudeta di Bandung tanggal 23 Januari 1950. Adapun ucapan Presiden Sukarno yang berasal dari sebelum tanggal 23 Januari tidak lagi berlaku.
Penegasan pendirian Indonesia ini berarti suatu perubahan dari reaksi-reaksi pribadi mereka yang pertama. Maka Komisaris Tinggi Belanda lalu mengambil jarak dari rencana pelolosan Westerling. Karena RIS menuntut agar Westerling diserahkan apabila dia jatuh ke tangan Belanda, maka ditekankan oleh Komisaris Tinggi bahwa anggota-anggota angkatan bersenjata Belanda dalam hal itu tidak boleh diikutsertakan.
Tetapi setelah Komisaris Tinggi menjauhkan diri dari rencana pelolosan di tingkat bawah orang toh masih meneruskan rencana tersebut, karena menyangka rencana itu memperoleh persetujuan diam-diam dari pihak para wakil pemerintah Belanda. Anggapan ini diperkuat oleh karena seorang perwira Belanda mengatakan, orang "di tingkat paling atas" mengetahui hal itu.
Ditemukan di Mess Bintara
Pada tanggal 16 Februari 1950 seorang perwira yang sedang mengurus repatriasi kesatuan-kesatuan tentara Belanda dan dulu pernah bertempur bersama-sama Kapten Westerling, menemukan kawan seperjuangannya itu dalam sebuah mess bintara di Jakarta dalam keadaan putus asa dan fisik sudah lemas sama sekali. Westerling bercerita bagaimana sejak tiga minggu dia dikejar-kejar, kontak-kontaknya tempat dia bersembunyi sudah digulung habis dan dia tidak berani ke sana karena dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan rumah. Dia tidak merasa aman lagi, dan malam-malam belakangan ini dia tidur di bawah langit terbuka di park-park Jakarta. Dia tahu betul apa yang akan terjadi, jika dia tertangkap oleh militer Indonesia. Untuk menyelamatkan nyawanya satu-satunya jalan ialah meninggalkan Indonesia dengan diam-diam. Dia tidak mau ke Negeri Belanda, tetapi ke Singapura.
Teman lamanya mau membantu Westerling, tetapi risikonya banyak apabila Westerling dimasukkan sebagai penumpang gelap dalam kapal yang membawa pulang tentara Belanda. Setelah berunding dengan beberapa rekannya, maka cara paling aman ialah mengangkut Westerling dengan pesawat Catalina dari Koninklijke Marine kemudian menurunkannya di suatu tempat di luar perairan teritorial Singapura. Maka didekatilah Komandan Penerbangan Udara Marine yang mengatakan mau membantu, apabila ada persetujuan komandan Angkatan Laut (Zeemacht). Ini tentu susah karena laksamana tersebut terkenal bersikap tertib (correct) dan tidak akan mau membantu dalam sebuah rencana yang tidak disetujui oleh pemerintah RIS.
Diputuskanlah mencoba tanpa pengetahuan terlebih dulu dari pihak laksamana memperoleh sebuah pesawat terbang air Catalina yang konon akan dipakai oleh "seorang perwira tinggi dengan tugas khusus" yaitu untuk mengadakan pemeriksaan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Hari Senen tanggal 20 Februari 1950 sampai permintaan kepada Komandan Zeemacht yang tidak tahu suatu apa tentang "rencana" tadi. Menurut rutin yang lazim surat itu diteruskan oleh laksamana kepada Komandan Marine Luchtvaart Dienst, yang belakangan ini menarik kesimpulan surat permintaan tentang soal biasa, tetapi dikirimkan "secara rahasia" kepada laksamana tentulah mengenai Catalina guna keperluan mengangkut Westerling. Juga disimpulkannya laksamana setuju dengan "rencana". Berdasarkan semua itu Komandan Marine Luchtvaart Dienst menyetujui supaya keesokan harinya didatangkan sebuah pesawat Catalina dari Surabaya.
"Sersan Ruitenbeek"
Dalam pada itu timbul masalah baru. Westerling tidak punya paspor dan hal itu akan menyulitkannya bila mendarat di semenanjung Melayu. Dia minta diberikan paspor atas nama "Ruitenbeek". Teman-temannya menemukan di antara dokumen-dokumen pemerintah Hindia Belanda dulu sebuah paspor yang belum dipergunakan, dan segera paspor disiapkan atas nama "Ruitenbeek".
Tanggal 23 Februari Westerling yang masih menyamar berpakaian seorang sersan diambil dan dibawa ke pesawat Catalina di Tanjung Priok. Pada saat terakhir timbul kesulitan karena salah seorang awak kapal Catalina mengenal "Sersan Ruitenbeek" sebagai eks-kapten Westerling yang "kesohor". Tetapi awak kapal itu tutup mulut, dan Catalina berangkat menuju Tanjung Pinang, serta tiba di sana kira-kira pukul 1 siang. Pesawat mengisi bensin dan beberapa jam kemudian penerbangan dilanjutkan ke Pontian di pantai barat Malaka, dekat Singapura. Di sana pesawat Catalina mendarat di laut pukul 6.15 sore, kira-kira tiga mil dari pantai.
Westerling yang diberi paspor dan uang diturunkan ke dalam sebuah perahu karet. Demikianlah dalam cahaya senjakala dia berkayuh ke arah pantai, meloloskan diri dengan paspor terakhir dari pemerintah Hindia Belanda. Itu adalah gerak kejang terakhir dari zaman kolonial.
Hari Sabtu tanggal 25 Februari 1950 kantor berita Aneta menyiarkan berita sensasionil: "Westerling lolos dengan sebuah Catalina dari Marine Belanda". Kepala Dinas Penerangan Marine membawa sendiri berita itu kepada laksamana. Dia mengira laksamana akan senang dengan kabar tersebut. Dengan tidak disangka-sangkanya, laksamana menjadi marah sekali. Segera laksamana memanggil komandan Marine Luchtvaart Dienst untuk mempertanggungjawabkan. Barulah komandan M.L.D. mengerti laksamana tidak mengetahui tentang "rencana". Dia minta bicara di bawah empat mata, lalu menerangkan kepada laksamana bagaimana duduk perkaranya. Uraian ini membuat laksamana semakin naik pitam. Dia melompat ke dalam mobil dan menuju rumah kediaman Komisaris Tinggi Belanda. Masih marah terus, terengah-engah, tanpa diberitahukan lebih dulu, laksamana memasuki kamar Hirschfeld. Saking marahnya, laksamana tidak dapat ngomong. Dengan tenang Hirschfeld berkata: "Laksamana, saya kira Anda marah. Saya juga marah. Silahkan duduk." Lalu mulailah suatu konperensi yang berlangsung dua hari di Komisariat Tinggi mengenai pertanyaan bagaimana masih bisa diselamatkan hubungan antara Belanda dengan Indonesia yang telah mendapat pukulan hebat karena lolosnya Westerling dari Indonesia.
Dr. J. G. de Beus dalam bukunya "Morgen bij het aanbreken van de dag" (1977) menulis tidaklah benar mitos yang berkembang selama bertahun-tahun yakni Belanda sendiri telah menyiapkan perebutan kekuasaan (staatsgreep) oleh Westerling atau menyokongnya. Fakta sebenarnya ialah Westerling baik pada "staatsgreep"-nya maupun pada "ontsnapping"-nya telah mendapat bantuan orang-orang Belanda dan Indonesia pribadi, akan tetapi percobaan perebutan kekuasaan negara itu dengan serta merta ditindas karena tindakan Komisaris Tinggi Belanda dan angkatan bersenjata Belanda, dan bahwa pelolosan (ontsnapping) dilaksanakan dengan sangat berlawanan dengan kemauan Komisaris Tinggi dan Komandan Angkatan Laut. Demikianlah cerita tentang lolosnya Kapten Westerling dari Indonesia pada tahun 1950 sebagaimana dtulis oleh seorang diplomat Belanda yang pada masa itu bertugas di Jakarta. (Habis) ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 12 Desember 1984
Komentar
Posting Komentar