Langsung ke konten utama

Sang Cipta Rasa, Mesjid dengan Sejarah yang Panjang

* Tempat Syekh Siti Jenar Dihukum Mati

Jika kita mendengar kata Cirebon, mungkin ingatan kita tertuju kepada kota udang, sebagaimana julukan kota ini. Namun dalam kenyataannya lebih dari itu. Cirebon tidak hanya terkenal sebagai kota penghasil lauk dari udang, tetapi juga terkenal sebagai kota yang memiliki berbagai peninggalan purbakala seperti mesjid, kraton, dan kompleks makam.

Sebagai bekas kerajaan yang bercorak Islam, peranan Cirebon dalam sejarah kuno Indonesia, khususnya sejarah Jawa Barat, tidak dapat dikatakan kecil. Hal ini antara lain ditandai dengan sejumlah bangunan purbakala seperti di atas dan hasil-hasil kesusastraan kuno.

Jaman keemasan dan kemakmuran Cirebon, rupanya dialami pada masa pemerintahan Syarif Hidayatillah (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1479-1568. Pada masa ini Syarif Hidayatillah menjabat sebagai susuhunan agama dan kepala negara. Salah satu bangunan purbakala yang berasal dari masanya adalah Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.

Mesjid Agung: Menurut Sejarah dan Tradisi

Tidak banyak yang kita ketahui dari sumber-sumber sejarah mengenai mesjid ini. Ada yang memperkirakan mesjid ini didirikan pada tahun 1500 M oleh para wali. Sedangkan menurut cerita tradisi yang kembali dituturkan oleh para sesepuh Cirebon yang masih erat hubungannya dengan pihak kraton, mesjid ini didirikan oleh para wali yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1498 M dan ditujukan untuk Sunan Gunung Jati yang pada waktu itu sedang memerintah. Sunan Gunung Jati yang bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Kholipatur Rasulullah SAW waktu itu bersemayam di Kraton Pakungwati atau Kraton Kasepuhan, berjaya memerintah pada tahun 1479-1568. Dikatakan pula bahwa sebagian dari pekerjanya didatangkan khusus dari Majapahit sebanyak 500 orang, untuk membangun mesjid tertua ketiga setelah Mesjid Pejlagrahan dan Mesjid Panjunan ini.

Bagian inti mesjid yang terletak di dalam adalah bagian asli, sedangkan bagian serambi luar adalah bagian tambahan yang dibuat pada tahun 1934-1935. Serambi asli yang terletak di sebelah selatan disebut prabhayaksa dan serambi bagian timur disebut pamandangan.

Di antara tiang-tiang yang kokoh pada bangunan inti terdapat sebuah tiang yang diberi nama Saka tatol. Tiang itu dibuat dari sisa-sisa kayu yang berserakan oleh Sunan Kalijaga dengan segala keramatnya hingga menjadi sebuah tiang yang sama kokohnya dengan saka-saka lain yang dibuat dari kayu utuh.

Mesjid ini pertama kali digunakan untuk shalat subuh berjamaah dengan imamnya Sunan Gunung Jati, sebagai ketua dari walisanga yang terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Undung (setelah wafat digantikan oleh putranya, Sunan Kudus), Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang (Syekh Siti Jenar), Syekh Bentong, dan Syekh Majagung.

Di bagian atas dari relung atau mihrab, tepat di tengah-tengah terdapat sebuah tonjolan yang berbentuk jantung dengan ukiran bunga teratai. Menurut tradisi hal itu adalah batas bagi imam yang memimpin shalat dan tidak boleh melewati batas tersebut sebab di bawahnya ada seorang pahlawan wanita Islam yang harum namanya.. Sekarang masih disebut-sebut namanya dengan Hayyun Bila Ruhin, berarti hidup tanpa roh dari seorang putri, adik kandung Sunan Kalijaga bernama Ratu Mas Kadilangu. Beliau membela muslim Cirebon yang sedang mendapat musibah bila shalat di mesjid agung. DIkatakan bahwa menjangan wulung yang bertengger di atas memolo mesjid menyebabkan kematian setiap orang yang memasuki mesjid agung. Dan juga disertai dengan adzhan sebanyak 7 orang, dikumandangkan dalam waktu bersamaan. Ratu Mas Kadilangu berhasil memusnahkan racun menjangan wulung hingga hancur berkeping-keping dan beterbangan ke arah utara (Leran). Hal tersebut menimbulkan tersebarnya memolo hingga mesjid agung tidak mempunyai memolo lagi. Racun tersebut sampai sekarang masih dikenal dalam masyarakat Cirebon khususnya dalam dunia ilmu hitam yang masih tumbuh subur. Menurut sejarah pada jaman Panembahan Ratu, memolo mesjid agung telah terbakar dan tidak diganti lagi.

Menurut Purwaka Caruban Nagari

Menurut PCN, sebuah kitab yang ditulis pada tahun 1720 M, mesjid agung ini adalah suatu karya orang Carbon dengan Demak. Di dalam mesjid ini pernah dilakukan hukuman mati terhadap Syekh Lemah Abang (Syekh Siti Jenar) yang berasal dari Bagdad yang beraliran Syiah Muntadar, dan bertempat tinggal di Pengging, Jawa Timur. Hukuman mati ini dilaksanakan oleh Sunan Kudus dengan sebilah keris Kantanaga milik Susuhunan Jati Purba (Sunan Gunung Jati) pada tahun 1506. Jenasahnya dikebumikan di Anggraksan, Kanggaraksan sekarang.

Juga dikatakan bahwa pada suatu saat pernah diadakan sidang di mesjid agung ini, pada masa selesainya perang raja Galuh tahun 1528-1530. Susuhunan Jati Purba berkenan menerima pembesar pemerintahan, para wali Jawadwipa, para Senopati, dan para pembesar lainnya, di antaranya Sultan Demak (Raden Trenggono), Sunan Kalijaga, Sunan Giri alias Sunan Dalem, Haji Abdullah Iman, dan lain sebagainya.

Struktur Organisasi dan Kegiatannya

Kepengurusan mesjid agung ini sampai saat ini masih dipertahankan, dan ada di bawah pengawasan Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Administrasinya dikelola oleh 40 orang santri, masing-masing 20 dari Kasepuhan dan Kanoman. Pemimpin mesjid adalah penghulu kraton, dengan membawahi khotib, kepala kaum, dan ketua mesjid. 

Sementara kegiatannya, di samping kegiatan rutin yaitu untuk shalat lima watu, ada pula shalat yang dilakukan pada hari-hari besar lainnya seperti maulud, rajab, ramadhan, syawal, dan dzulhijah.

Struktur bangunan

Pintu masuk utama mesjid ini berada di sebelah timur. Pintu gerbangnya sudah mengalami perbaikan oleh masyarakat setempat tanpa sepengetahuan pihak arkeologi. Begitupun tembok keliling pelataran.

Atap mesjid berbentuk limas bertingkat tiga. Bentuk atap seperti ini, terdapat juga di Sendangwulur dan di mesjid Mantingan, Jepara, serta Demak. Keseluruhan atap ditutup dengan sirap.

Bangunan inti merupakan bangunan asli dan berdenah bujur sangkar, arahnya ke kiblat. Pintu masuknya di sebelah timur, merupakan pintu umum, masuk tanpa berjongkok. Di sebelah utara terdapat pintu untuk para keluarga, masuknya harus berjongkok. Menurut tradisi fungsinya untuk menghormati orang tua.

Di kiri-kanan pintu terdapat lubang angin yang bentuknya menyerupai salib. Lubang angin demikian juga terdapat di Gedong Ijo kraton Kacirebonan.

Mihrabnya yang indah terdapat di sisi barat, terbuat dari batu pualam muda warna putih. Bagian depannya diberi hiasan tiang semu dengan kuncup teratai di atas. Di sebelah utara mihrab terdapat mimbar kuno yang terbuat dari kayu berbentuk kurai, diberi nama Sang Renggagas atau Ratu Rara Tila. Mimbar seperti ini terdapat juga di mesjid Pejlagrahan dan Langgar agung kraton Cirebon.

Di sebelah utara mimbar terdapat maksurah, yaitu suatu ruangan yang diberi pagar kayu, digunakan untuk shalat Sultan Kasepuhan. Di sebelah tenggara mimbar juga terdapat mihrab untuk Sultan Kanoman.

Seni Bangunan dan Seni Hias

Ditinjau dari segi bahan, maka tiang-tiang pada mesjid agung terdiri dari satu macam bahan yaitu kayu, kecuali tiang hasil restorasi. Menurut bentuknya, tiang-tiang dari kayu tersebut dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu tiang berbentuk persegi panjang, yang dapat dibedakan lagi menjadi polos dan berhias simbar terbalik serta tiang berbentuk bulat.

Sementara dilihat dari bentuk atap, maka terdapat bangunan yang beratap satu tanpa memolo. Bentuk atap seperti ini dapat pula dijumpai pada relief candi Sukuh, candi Jago, dan di Trowulan. Bentuk lainnya adalah bangunan dengan atap bertingkat tiga tanpa memolo. Bentuk atap ini mungkin berasal dari gaya bangunan jaman sebelum Islam yang dihubungkan dengan bentuk bangunan Meru di Bali.

Ragam hias yang dipergunakan di sini adalah motif-motif ilmu ukur (geometris), motif tumbuhan (floral), dan motif anyaman yang tidak terdapat pada ragam hias sebelum Islam. Di samping itu, terdapat motif khas yaitu motif wadasan yang hanya terdapat di daerah Cirebon dan sekitarnya.

Demikianlah selintas gambaran mengenai mesjid agung Sang Cipta Rasa. Seperti halnya bangunan-bangunan purbakala yang lain, mesjid ini pun wajib kita lindungi dan pelihara, untuk diperlihatkan kepada anak-cucu di kemudian hari. (Rachman Sulendraningrat dan Djulianto S)

 

Sumber: Tidak diketahui, 11 Mei 1984 

 

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan