Oleh P. J. Suwarno
NASIONALISME adalah paham yang menjadi populer pada waktu revolusi besar di Prancis meletus tahun 1789. Dari Prancis menyebar ke seluruh Eropa bersama tentara nasional Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Dari Eropa tersebar ke Dunia Ketiga lewat pemerintah jajahan yang sebelum Perang Dunia I masih tegak berdiri di seluruh Asia dan Afrika.
Nasionalisme, suatu konsep yang banyak diperdebatkan karena mengandung banyak aspek, seperti aspek sejarah budaya, politik, sosiologis dan yang terakhir yuridis ketatanegaraan. Kata nasionalisme berasal dari bahasa latin natus est artinya dilahirkan. Kita di Indonesia menyebutnya sebagai paham kebangsaan. Bangsa diartikan sekelompok manusia yang mempunyai keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan itu.
Jadi kalau orang berpegang pada arti bangsa di atas yang pernah dikutip Ir. Soekarno dari pendapat E. Renan, maka untuk menjadi suatu bangsa unsur mutlak yang harus ada ialah keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan itu. Di sini jelas pembentukan bangsa (nation building) menyangkut domain afektif dan psikomotorik anggota masyarakat.
Tepat sekali tindakan para perintis Angkatan 1908 yang memotivasi pemuda-pemudi mencintai suatu kebudayaan asli dalam hal ini kebudayaan Jawa. Sebab dengan mencintai kebudayaan Jawa, keinginan mereka untuk bersama-sama mengembangkan kebudayaan itu akan tumbuh. Keinginan bersama untuk mengembangkan kebudayaan Jawa itu pasti akan menumbuhkan semangat untuk mempertahankannya.
Maka ketika Sutomo atas dorongan Dr Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar Belanda yang bersimpati kepada orang Indonesia menulis "Nasionalisme Jawa Bangkit". Keinginan bersama bersatu untuk mengembangkan kebudayaan itu diberi wadah organisasi modern yang diberi nama Budi Utomo. Sampai sekarang dapat disebut Budi Utomo merupakan pelopor organisasi kebangsaan Indonesia dalam arti modern.
Pada waktu itu nasionalisme di Barat sudah berumur 100 tahun lebih, bahkan sudah berkembang ke dalam sebagai kesadaran akan hak untuk memiliki negara dan memerintahnya dan menjelma menjadi semangat demokrasi, sedangkan ke luar berkembang menjadi imperialisme. Sebab setiap bangsa ingin agar persatuannya dapat bertahan terus-menerus dan bebas dari semua ancaman. Bertahan yang kelewatan menimbulkan agresivitas yang didukung oleh kaum kapitalis menjadi imperialis. Maka tak terhindarkanlah perang antarbangsa di Eropa yang terkenal dengan nama perang dunia.
Belajar dari Eropa
Dari sejarah nasionalisme Eropa tersebut orang dapat melihat pola perkembangan nasionalisme yang dapat digambarkan sebagai berikut. Nasionalisme yang berkembang ke dalam melahirkan demokrasi, karena setiap nasionalis sadar bahwa negara itu milik mereka bersama, bukan milik seseorang, raja atau diktator misalnya. Kesadaran itu menimbulkan keinginan mereka untuk ikut mengaturnya sesuai dengan kehendaknya. Sehingga melahirkan pemerintahan demokrasi. Sedangkan ke luar menmbulkan kesadaran ketahanan nasional yang berlebihan dan menjurus ke agresivitas. Agresivitas ini diberi warna yuridis dan ekonomis menjadi imperialisme.
Apakah pola itu akan diikuti oleh perkembangan nasionalisme Indonesia? Sebagai Negara Ketiga kiranya Indonesia bisa belajar dari perkembangan nasionalisme Eropa. Sehingga segi-segi negatif yang melekat pada perkembangan nasionalisme Barat tersebut dapat dikendalikan. Masyarakat Indonesia harus merencanakan perkembangan nasionalisme ke dalam menjelmakan Demokrasi Pancasila dan ke luar menjelmakan persahabatan antarbangsa di seluruh dunia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan demikian nasionalisme yang kebetulan ditumbuhkan oleh Belanda di Indonesia dengan politik etisnya dahulu, kini harus digarap dengan perencanaan yang tepat dan bertahap. Untuk itu perlu dicari dan dikembangkan faktor-faktor yang mampu menimbulkan keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan itu.
Angkatan 1908 memilih faktor sosio-budaya untuk menumbuhkan nasionalisme tersebut. Angkatan 1928 memilih faktor sosio-budaya terutama pendidikan dan Angkatan 45 menyempurnakannya dengan memilih faktor politik dan revolusi yang melahirkan negara dengan pemerintah yang merdeka.
Proses membangsa yang secara nyata dimulai tahun 1908 tersebut kini sudah berlangsung selama 76 tahun. Semua faktor tersebut meninggalkan bekas pada nasionalisme Indonesia. Bekas yang kini sangat terasa ialah faktor politik pemerintahan yang mengejawantah pada birokrasi Indonesia. Birokrasi itu begitu kuat, sehingga meresapi hampir seluruh sendi masyarakat dan ada yang mengatakan masyarakat Indonesia mengalami birokratisasi.
Menggarap birokrasi
Memang birokrasi merupakan alat yang ampuh sekali untuk menyatukan bangsa Indonesia yang tersebar di tiga ribu pulau dan terdiri dari bermacam-macam suku bangsa ini. Tetapi birokrasi dapat juga mematikan keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan itu. Maka masalahnya bagaimana birokrasi yang kuat itu dapat digunakan untuk menumbuhkan keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan itu
Birokrasi dalam pengertian modern sebenarnya merupakan alat bagi negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Jadi mereka digaji dari pajak rakyat agar melayani kebutuhan rakyat. Di sinilah arti yang sebenarnya bahwa pegawai negeri dalam UU No. 8 Tahun 1974 disebut sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Jumlah pegawai negeri sekarang sekitar tiga juta. Kalau tiga juta ini sungguh-sungguh melayani masyarakat yang diabdinya, maka setiap seorang pegawai negeri akan melayani sekitar 50 warga negara.
Kalau setiap pegawai negeri mengamalkan fungsinya sesuai dengan arti birokrasi modern dan UU No. 8 Tahun 1974, maka mereka pasti akan mampu menimbulkan rasa cinta masyarakat pada negara. Sebab mereka merasa diayomi oleh pegawai negeri yang dihayatinya sebagai alat negara. Rasa cinta negara ini pasti akan menimbulkan keinginan bersama untuk mempertahankan negara itu. Inilah nasionalisme. Sebaliknya kalau setiap pegawai negeri tidak menghayati dan mengamalkan fungsinya, malahan justru sebaliknya menguasai dan minta dilayani oleh rakyat, maka di sini akan terjadi setiap seorang pegawai negeri akan diabdi dan dilayani oleh sekitar 50 orang warga negara. Dalam keadaan demikian pasti masyarakat akan merasa tertekan oleh birokrat. Kalau hal demikian berkelanjutan mereka akan resah dan akan membenci birokrasi sebagai alat negara, sehingga mereka akan apatis dan merasa tidak ikut memiliki negara. Inilah proses pudarnya nasionalisme dari dalam.
Kecuali itu birokrasi yang rapi dan efektif dapat juga digunakan untuk menghasilkan pembangunan yang berdaya-guna. Dalam hal ini orang dapat pula mengatur prioritas yang berorientasi pada pemupukan keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan tadi, misalnya Departemen Perhubungan, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, dan Departemen Penerangan. Kalau birokrat dalam departemen-departemen ini dapat dibina sedemikian rupa, sehingga transportasi, komunikasi, dan arus informasi di seluruh Indonesia dapat berjalan lancar, murah, dan sederhana, maka jarak antarsuku yang diciptakan oleh laut, gunung dan hutan akan terjembatani, sehingga pergaulan antarsuku akan berkembang dan kemungkinan tumbuhnya keinginan bersama untuk bersatu dan mempertahankan persatuannya akan lebih besar.
Peranan pendidikan
Sesudah transportasi, komunikasi dan informasi dapatlah disebut pendidikan. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk menumbuhkan keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan, meskipun temponya agak pelan dan lambat laun. Memang sampai sekarang Pemerintah belum bisa melepaskan bekas pendidikan intelektualistis yang ditinggalkan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia. Sehingga pendidikan anak-anak Indonesia sampai sekarang masih berfokus pada penggarapan domain kognitif dan masih kurang mempertahankan domein afektif dan domein psikomotorik.
Padahal untuk dapat membangkitkan keinginan bersama untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan itu, domain-domain afektif dan psikomotorik sangat penting. Makanya harus digarap dengan kesungguhan dan perencanaan yang matang, terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Hal ini kiranya sudah diberi perhatian maksimal pada Kabinet Pembangunan IV sekarang. Sedangkan untuk ilmu-ilmu eksakta perlulah kiranya ditumbuhkan minat pada anak didik untuk mengadakan eksperimen di tengah-tengah masyarakat pedesaan, sehingga mereka lebih mengenal alam dan masyarakat Indonesia. Dengan demikian mereka akan terpupuk keinginannya untuk mempertahankan dan mengembangkan alam serta masyarakat Indonesia. Inilah proses membangsa.
Demikian juga departemen-departemen lain harus dibina tidak hanya menjadi aparat yang efektif dan bersih, tetapi juga menumbuhkan keinginan masyarakat untuk bersatu dan tetap mempertahankan persatuan (negara) itu, sebab mereka merasa dilayani diayomi dan disatukan dalam suatu hidup bersama baik dengan warga sekitar, maupun dengan sesama warga yang berasal dan hidup di lain pulau.
Kalau birokrasi yang berkembang menjadi kuat baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif dibina seperti tersebut nasionalisme Indonesia akan berkembang sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh Pancasila. Ke dalam mengejawantahkan demokrasi khas Indonesia yang mengutamakan musyawarah mufakat, ke luar selalu mencari persahabatan dengan negara-negara lain di seluruh dunia.
Sebaliknya kalau birokrasi yang kita warisi dari Belanda dan Orde Lama itu dibiarkan menuruti nalurinya, akan tumbuhlah suatu feodalisme yang tiada taranya di Indonesia ini. Sebab akan terjadi tiga juta birokrat dilayani 150 juta warga negara. Dengan demikian memang bangsa Indonesia masih tetap merupakan persatuan, tetapi selalu merasa dipaksa untuk bersatu dengan kekuasaan yang tak dapat ditolaknya. Ini berarti penekanan dan penindasan yang dilegalisasi oleh orang-orang yang dipersatukan tadi. Dengan demikian nasionalisme Indonesia akan berkembang ke dalam menjadi diktatoris dan ke luar menjadi imperialis, sebab selalu mencurigai negara tetangga atau negara-negara dunia kalau-kalau mempengaruhi warga negara Indonesia untuk melawan penindasan dari birokrat yang kuat tersebut.
Birokrasi, faktor pembentuk nasionalisme yang diwarisi oleh Indonesia ini dapat dikembangkan menjadi faktor pembina nasionalisme modern yang khas Indonesia, tetapi dapat juga berkembang menjadi faktor pembangkit feodalisme yang imperialistis. ***
* P. J. Suwarno antara lain mengajar di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sumber: Tidak diketahui, 19 Mei 1984
Komentar
Posting Komentar