Langsung ke konten utama

JEJAK KERAJAAN DENGAN 40 GAJAH

Prasasti Batutulis dibuat untuk menghormati Raja Pajajaran terkemuka. Isinya tak menyebut soal emas permata.

KETERTARIKAN Menteri Said Agil Husin Al Munawar pada Prasasti Batutulis terlambat 315 tahun dibanding orang Belanda. Prasasti ini telah menyedot perhatian Sersan Scipiok dari Serikat Dagang Kumpeni (VOC), yang menemukannya pada 1687 ketika sedang menjelajah ke "pedalaman Betawi". Tapi bukan demi memburu harta. Saat itu ia ingin mengetahui makna yang tertulis dalam prasasti itu.

Karena belum juga terungkap, tiga tahun berselang Kumpeni mengirimkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Kapiten Adolf Winkler untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasilnya juga kurang memuaskan. Barulah pada 1811, saat Inggris berkuasa di Indonesia, diadakan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Apalagi gubernur jenderalnya, Raffles, sedang getol menulis buku The History of Java. Meski demikian, isi prasasti berhuruf Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno itu sepenuhnya baru dipahami pada awal 1900-an, antara lain lewat jasa Poerbatjaraka, ahli sastra Universitas Airlangga.

Menurut Poerbatjaraka, prasasti ini berisi kalimat sebagai berikut: "Inilah batu peringatan akan Prebu Ratu Purana. Ia dinobatkan dengan gelar Prebu Guru Dewata Srana; dinobatkan sebagai Sri Baduga Maharaja, ratu haji di Pakuan Pajajaran. Yang Mulia Raja Dewata lah yang mendirikan Pakuan. Dialah putra Rahyang Dewaniskala, yang meninggal pada Gunatiga, cucu dari Rahyang Niskawalastu-Kancana, yang sudah mencari akhiratnya di Nusalarang. Dialah yang menyebabkan kereta-kereta dapat pergi ke daerah pegunungan, yang mendirikan balai-balai dan menyediakan tempat semedi, yang membuat Talaga-Warna-Mahawijaya. Dialah itu. Pada 1255 Saka."

Dari isinya bisa ditafsirkan bahwa Prasasti Batutulis dibuat untuk mengenang Sri Baduga Maharaja, yang banyak jasanya bagi Kerajaan Pajajaran. Ia berjasa mendirikan ibu kota kerajaan, Pakuan Pajajaran, membuat jalan untuk kereta-kereta sehingga dapat pergi ke daerah pegunungan, dan membuka hutan yang khusus ditanami pohon-pohon yang dipakai untuk upacara persembahan. Karena itu, raja yang semula bernama Prebu Ratu Purana ini dinobatkan dua kali: sebagai Prebu Guru Dewata Srana dan Sri Baduga Maharaja.

Di bawah pemerintahan Sri Baduga (1482-1521 Masehi), Pajajaran memang mengalami masa gemilang. Salah satu sumber berita yang menyebutkannya adalah Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisbon yang pernah tinggal di Malaka pada 1512-1515. Pires, yang sempat mengunjungi Sunda Kalapa ketika Sri Baduga berkuasa pada 1512, mengisahkan kekayaan negeri itu dalam buku Suma Oriental.

Menurut Pires, Kerajaan Pajajaran memiliki 40 ekor gajah dan 4.000 ekor kuda yang sebagian besar didatangkan dari Pariaman, Sumatera Barat. Di kerajaan ini juga bisa didapat lada yang berkualitas lebih bagus daripada lada India, juga buah asam dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi seribu kapal. Rajanya, Sri Baduga, memiliki dua permaisuri dan seribu selir. Tapi Pires sama sekali tak menyebut emas permata. 

Zaman keemasan Pajajaran meredup ketika Surawisesa, pengganti Sri Baduga, memerintah hingga 1535. Ia terdesak oleh Fatahillah dan pasukan Cirebon-Demak. Meskipun begitu, Kerajaan Pakuan Pajajaran baru sepenuhnya lenyap pada 1579--lebih setengah abad setelah Sri Baduga meninggal--dengan raja terakhir Ragamulya Suryakencana. Ragamulya ini cicit Surawisesa.

Hasan Djafar, arkeolog dari Universitas Indonesia, punya tafsir berbeda. Menurut dia, Prasasti Batutulis dibuat pada i saka panca pandawa ngeban bumi alias 1455 Saka atau 1533 Masehi untuk memperingati 12 tahun meninggalnya ("sradha" dalam istilah Hindu) Sri Baduga Maharaja. Dari situ bisa disimpulkan, kata Hasan, bahwa Sri Baduga meninggal pada 1521 Masehi.

Dia juga meragukan cerita Pires. Ia menganggap angka yang disebutkan oleh Tome Pires terlalu dilebih-lebihkan. "Mungkin ia cuma melihat banyak pasukan berkuda," kata pakar epigrafi ini.

Arkeolog dan mantan Direktur Kebudayaan Edi Sedyawati segendang sepenarian. Menurut dia, tak ada satu cara untuk mengetahui bahwa Pajajaran termasuk kerajaan yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Informasi mengenai Pakuan Pajajaran sejauh ini sangat minim karena tak banyak peninggalan sejarah mengenai kerajaan tersebut yang sudah ditemukan. 

Karena itu, menurut Hasan, tidak masuk akal jika kemudian ada yang mengira Pajajaran mewariskan harta kekayaan--lebih-lebih yang tersembunyi di bawah sebuah prasasti.

Wicaksono, Nurkhoiri



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Perjuangan "Antara" di Jaman Kolonial Hindia Belanda

Oleh : Djamal Marsudi. Di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, pers nasional merupakan senjata yang sangat ampuh dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bersamaan dengan timbulnya kaum pergerakan, timbullah berbagai suratkabar harian dan majalah. Pada umumnya pers di kala itu bersifat perjuangan. Berkali-kali suratkabar-suratkabar Indonesia itu "dibredel" pemerintah Hindia Belanda. Wartawan-wartawannya diborgol dan masuk penjara tidak sedikit, tetapi perjuangan pers tetap berjalan. Pada tahun 1937 yang berarti menjelang pecah Perang Dunia II, atas usaha-usaha pemuda wartawan yang dinamis didirikan sebuah kantor berita Nasional bernama "Antara" di Jakarta oleh Pandu Kartawiguna, Mr. Soemanang, Albert Manumpak Sipahutar, Armyn Pane, Adam Malik dan lain-lain lagi. Pada bulan Mei 1940 negeri Belanda telah diserbu oleh Nazi Jerman, hanya lima hari saja negeri Belanda bisa dipertahankan. Oleh karena negeri Belanda diduduki Nazi Jerman, maka negeri jajahannya yang berna...

Pendidikan Itu untuk Rakyat ....

Oleh: INDIRA PERMANASARI S ekitar 70 tahun lalu, tepatnya 1927, seorang anggota Volksraad (dewan perwakilan rakyat buatan Belanda dalam rangka politik etis) Meyer Ranneft, berpidato tentang pendidikan di Hindia Belanda. " ... Masyarakat Hindia Belanda, yang kini diusahakan untuk dibangun lebih cepat oleh pemerintah melalui pendidikan, mempunyai dua ciri penting. Pertama, masyarakat ini adalah suatu masyarakat yang mempunyai pertentangan-pertentangan yang tajam; ia adalah konglomerasi dari suatu equilibrium yang labil. Kedua, negeri ini miskin. Bilamana meneliti sistem pendidikan, kita melihat adanya kekurangan justru pada dua masalah pokok ini. Apakah pendidikan kita turut mempertajam kontras sosial ekonomi, sehingga melonggarkan sendi-sendi persatuan? ...." Cuplikan pidato itu dibacakan Dr Mestika Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang dalam forum diskusi 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan Sejarah di Bandung pekan lalu. Menurut Mestika, pada masanya Ranneft me...