Langsung ke konten utama

Kutai Kartanegara Dipimpin 22 Orang Sultan

KUKAR (Kutai Kartanegara) yang beribukota Tenggarong, Kalimantan Timur (Kaltim) mulai 22 hingga 30 September 2002 akan menggelar Pesta Adat Erau dan Festival Keraton Nusantara (FKN) III, ternyata pernah mempunyai 22 orang Sultan (Raja) yang menjadi pimpinannya.

Keterangan yang dihimpun dari berbagai sumber di Kukar menyebutkan, Sultan pertama yang memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara yang sebelumnya mempunyai nama Kutai Martadipura adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti pada tahun 1300 M - 1325 M.

Menyusul dari tahun 1325 M hingga 1360 M Kutai dipimpin oleh Aji Batara Agung Paduka Nira, tahun 1360 - 1420 naik tahta Aji Maharaja Sultan, kemudian Aji Raja Mandarsyah berkuasa mulai 1420 hingga 1475.

Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya naik tahta mulai 1475 hingga 1554, menyusul Aji Raja Mahkota Mulia Alam pada tahun 1545 hingga 1610, setelah itu naik Aji Dilanggar menggantikannya dengan masa kekuasaan sejak 1610 hingga 1635.

Pada tahun 1635 sampai 1650, Kutai dipimpin oleh Aji Pangeran Sinum Panji Mandapa ing Martapura, setelah itu dia digantikan oleh Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura yang berkuasa hingga 1665.

Kerajaan tertua di Indonesia ini juga sempat dipimpin oleh seorang rajanya yang bernama Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura dari tahun 1665 hingga 1680, menyusul Aji Raden Gelar Ratu Agung meneruskan kekuasaannya hingga tahun 1700.

Sultan ke-12 yang memimpin Kutai adalah Aji Pangeran Dipati Tua yang berkuasa sejak 1700 hingga 1710, kemudian dia digantikan oleh Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura hingga tahun 1735.

Selanjutnya selama 43 tahun kerajaan ini dipimpin oleh Aji Muhammad Idris yaitu dari tahun 1735 hingga 1778, sementara Aji Muhammad Aliyeddin sempat menjadi Raja Kutai dari tahun 1778 sampai 1780, disusul oleh Aji Muhammad Muslihuddin hingga tahun 1816, setelah itu tahta kerajaan Kutai digantikan oleh Aji Muhammad Sulaiman sampai tahun 1899.

Sulaiman mangkat, kerajaan Kutai dipimpin oleh Aji Muhammad Alimuddin yang sempat berkuasa dari tahun 1899 hingga 1910, mulai tahun itu didirikan Dewan Perwalian Kutai Kartanegara dengan Sultannya Aji Pangeran Mangkunegoro pada tahun 1910 sampai 1920.

Tahun 1920 hingga 1960 Sultan Kutai dipegang oleh Aji Muhammad Parikesit, namun seiring dengan diberlakukannya pemerintahan daerah setempat kesultanan Kutai dibekukan menyusul pemerintahan kerajaan berubah menjadi pemerintahan negara.

Akan tetapi sejak berhembusnya reformasi dan naiknya Drs H, Syaukani HR, MM menjadi Bupati Kutai Kartanegara, pada tahun 1999 hingga sekarang kesultanan Kutai Kartanegara dihidupkan kembali dengan menetapkan H Aji Muhammad Salehuddin II yang dikenal sebagai Pangeran Prabu dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara yang ke-22.

Pangeran Prabu yang dinobatkan pada tahun 1999 tersebut kini dibangunkan sebuah istana di belakang Museum Mulawarman Tenggarong yang bangunannya menggunakan arsitektur modern dan teknologi canggih, namun tidak meninggalkan ciri khas dari Kerajaan Kutai Kartanegara.

Pembangunan istana Raja Kutai ke-22 ini mempunyai berbagai fasilitas termasuk kamar untuk peraduan sultan dan permaisuri, tempat untuk menerima tamu dan lainnya, sementara halaman istana dipenuhi dengan taman bunga yang indah dan sejuk, yang rencananya pada Erau tahun ini bangunan Istana Raja tersebut sudah dapat digunakan. (Herry T BS)



Sumber: Suara Karya, 26 September 2002



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan