Langsung ke konten utama

Masjid Indonesia, Perkawinan Budaya yang Kaya Raya

Aku diberitahu tentang sebuah mesjid
yang tiang-tiangnya dari pepohonan di hutan 
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya

DEMIKIANLAH penggalan bait pertama sajak Mencari Sebuah Mesjid yang ditulis penyair Taufik Ismail. Sajak yang keseluruhannya cukup panjang ini, dalam bentuknya yang besar ikut dipajang di salah satu pojok arena pameran Festival Istiqlal 1991. Setiap hari, banyaklah pengunjung yang ikut membacanya. Bahkan siswa-siswi SMP dan SMA rela duduk beralas karpet di hadapan sajak itu, untuk menyalinnya sampai habis. Tak salah jika dikatakan, "stand" sajak Taufik Ismail ini merupakan salah satu dari sekian banyak stand di arena pameran itu yang mendapatkan perhatian berlimpah dari pengunjung.

Bait-bait sajak nan indah dan syahdu ini, seakan ingin memperlengkap koleksi benda-benda Islami yang dipamerkan pada pesta akbar yang berlangsung sebulan penuh, 15 Oktober hingga 15 November itu. Di arena pameran itu, sebelum tiba pada "stand" sajak Taufik Ismail tadi, pada bagian arsitektur, pengunjung memang sudah bisa menyaksikan foto-foto dan maket sejumlah masjid lengkap dengan sedikit latar sejarahnya.

Tampaknya, kerinduan Taufik Ismail dalam pengembaraannya mencari masjid itu, adalah juga kerinduan yang serupa dari para pengunjung pameran tersebut. Kerinduan yang wajar dimiliki pada nurani terdalam setiap umat Islam, karena jika ditafsirkan lebih jauh, masjid dalam sajak ini bukan hanya dalam wujud fisik, melainkan sebagai ungkapan yang menggambarkan sebuah kedamaian yang hakiki. Dalam arsitektur Islam, masjid memang merupakan bangunan yang mulia. Dia menjadi pusat kegiatan umat, baik dalam hubungan umat dengan Sang Maha Pencipta (hablumminallah) maupun hubungan antarsesama umat (hablumminannas).

***

DALAM pameran Festival Istiqlal pengunjung dapat menyaksikan maket maupun foto puluhan masjid, terutama yang terdapat di Indonesia. Salah satu masjid tertua di dunia juga ikut dipamerkan gambar maupun maketnya, yakni Masjid Quba di Medinah yang dibangun tahun 622 Masehi. Setelah itu, puluhan foto bangunan masjid dan berbagai ornamennya yang terpajang di dinding ruang pamer, merupakan cerminan dan sekaligus rangkaian perjalanan sejarah panjang arsitektur masjid di Nusantara. Sebuah sejarah penuh nuansa, bagai mosaik yang kaya raya.

Hingga kini diyakini, Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu sumber penyebab mosaik yang penuh warna ini. Dengan jumlah penduduk beragama Islam yang tercatat sebagai paling besar di dunia, kedatangan Islam pada awalnya dahulu memang berlangsung dari pulau ke pulau.

"Kedatangan ini melalui suatu cara yang khas, yang dikenal dengan istilah penetration pacifique, yakni masuk dengan cara yang damai tanpa maksud mengenyahkan apa-apa yang sudah lebih dahulu dimiliki sebagai kekayaan budaya penduduk di pulau-pulau itu," jelas arsitek Masjid Salman Bandung, Ir Achmad Noe'man, yang juga ikut mewujudkan gagasan festival ini.

Dari sinilah kemudian Islam berkawin dengan budaya masyarakat setempat, sehingga melahirkan dinamika baru yang lebih kompleks namun sekaligus unik. Gejala ini merambah ke segala aspek, termasuk juga dalam bidang arsitekturnya. "Arsitektur Islam di Indonesia, khususnya bangunan masjid, menunjukkan kekayaan rupa yang luar biasa. Hanya saja, dunia belum mengenalnya secara luas," sambung Achmad Noe'man.

***

RIWAYAT tumbuhnya masjid di kota-kota Indonesia ini saja sudah merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Umumnya perkembangan masjid pertama-tama mencoba menyatu dengan sikap hidup dan lingkungan masyarakat setempat, sehingga mempelajari sejarah perkembangan masyarakat Islam di kota-kota di Nusantara, niscaya harus memperhitungkan pula faktor ini.

Di Jakarta saja misalnya, menurut Ridwan Saidi yang cukup menaruh perhatian dalam masalah ini, tumbuhnya masjid diawali dari daerah-daerah di tepi-tepi sungai. Ini semata-mata karena menyadari posisi Betawi (nama Jakarta ketika itu) sangat mengandalkan kepada sungai, sebagai tempat lalulintas orang dan komoditi ekonomi. Para pedagang yang melayari sungai dengan perahu itu, memerlukan istirahat, sekaligus juga beribadah. Maka, dibangunlah kemudian masjid di kota-kota tepi sungai itu, sebagai tempat shalat dan berkomunikasi di anara para pedagang dan penduduk setempat.

Bahkan, lanjut Ridwan, para pedagang yang sebagian besar memeluk Islam ini, sempat membangun masjid di tengah laut, yakni di atas atol (batu karang berbentuk cincin) yang terputus dari pantai. Penyebabnya, Belanda melarang mereka membangun di Kota Inten (sekarang daerah Pasar Ikan). "Masjid di tengah laut itulah yang kemudian dikenal sebagai Masjid Luar Batang," kata Ridwan, seraya menambahkan kata batang berasal dari bahasa Sumenep (Madura) bebatang yang artinya tempat menambatkan perahu. Masjid ini didirikan tahun 1750, hingga kini masih ada dan termasuk masjid tertua di Jakarta. 

Berikutnya, kita kenal masjid-masjid di Betawi ini yang cukup terkenal, misalnya Masjid Kebun Jeruk yang dibangun 1752, Masjid Angke abad ke-17, Masjid Krukut abad ke-19, Masjid Raden Saleh, dan Masjid Matraman yang lebih muda. Kesemuanya itu adalah masjid-masjid yang terletak di pinggir sungai. Waktu-waktu berikutnya barulah pertumbuhan masjid-masjid ini bergeser ke daerah pedalaman, seperti Masjid Kampung Sawah, Masjid Klender, dan lainnya.

Adanya perkawinan budaya antara Islam dengan budaya setempat, bahkan budaya luar, juga tampak jelas pada ragam arsitektur masjid-masjid di Jakarta. Masjid Angke, atau Kebun Jeruk misalnya, sangat kentara warna arsitektur Cinanya. Juga pada Masjid Karet Tengsin, yang menurut Ridwan menaranya mirip pagoda. "Ini tentunya akibat terpengaruh oleh budaya lain," katanya.

***

UNTUK seluruh Indonesia, variasinya jelas lebih beragam lagi, yang terbawa hampir pada seluruh elemen dari sebuah masjid. Mulai dari atap misalnya, dikenal berbagai jenis atap mulai dari berbentuk datar, limasan, hingga kubah. Variasi dan kombinasi dari ketiga bentuk ini kemudian melahirkan pula bentuk-bentuk lain, yang dikenal dengan istilah limas-datar (tiered-flat), limas-kubah (tiered-dome), dan datar-kubah (flat-dome). Atap berbentuk limas, misalnya terdapat pada Masjid Lima Kaum di Sumatera Barat, terdiri dari empat limas yang ditumpuk.

Pada bagian gerbang juga bisa dilihat betapa beragamnya bentuk yang dikenal di sini. Masjid Sendang Dhuwur (Jawa Timur) misalnya, sangat terasa berwarna arsitektur Hindu, seperti juga gerbang Masjid Panjunan (Cirebon). Sedangkan gerbang Masjid Jamik Sumenep (Madura) terkena pengaruh Cina, ditandai dari warna benderang oranye dan putih yang sangat dominan. Semua ini membuktikan Islam yang masuk tetap berusaha mempertahankan apa yangs udah lebih dulu ada, sebatas hal itu memang secara prinsip tidak bertentangan dengan akidah Islam.

Keragaman ini juga merambah ke berbagai unsur penunjang lainnya yang ada pada sebuah bangunan masjid. Misalnya saja keberagaman dalam bentuk menara, mimbar, mihrab, sampai kepada bedug yang dipakai sebagai alat memanggil umat untuk shalat. Tempat berwudhu (membasuh beberapa bagian tubuh untuk menyucikan diri sebelum shalat) juga ditemukan dalam bentuk yang bervariasi.

Menurut Ridwan Saidi, munculnya berbagai bentuk elemen arsitektur sebuah masjid ini sangat terkait dengan kondisi daerah setempat. Bentuk kubah pada atap misalnya, yang sebetulnya ditransfer dari Timur Tengah, merupakan jawaban terhadap kondisi daerah tropis. "Atap berbentuk kubah memiliki kemampuan untuk menyimpan udara sejuk, sehingga suhu udara di dalam masjid tidak terasa terlalu panas seperti udara di luar," kata Ridwan.

***

APA pun bentuknya, masjid-masjid di Indonesia dengan segala keberagamannya, telah tumbuh menjadi sebuah kekayaan budaya tersendiri. Sebagaimana juga yang bisa disaksikan dalam arena pameran Festival Istiqlal yang berlangsung sebulan penuh dan baru saja berakhir Jumat lalu (15/11). Masjid-masjid dengan kekayaan arsitektur yang dipamerkan di festival tersebut melengkapkan kehendak panitia menampilkan sosok budaya yang bernapaskan Islam, karena nilai luhur dan mulia yang melekat pada bangunan masjid.

Bentuk-bentuk itu sebetulnya tidak menjadi soal benar, karena esensinya jauh lebih penting. Yakni kehangatan sekaligus kesejukan sebuah tempat di mana umat berserah diri secara total kepada Khaliknya, dalam keadaan diri yang bersih, suci ....

Seperti juga yang diungkapkan dengan pas sekali oleh Taufik Ismail di baris-baris terakhir sajaknya Mencari Sebuah Masjid itu: ... ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan/hangat air yang terasa, bukan dingin kiranya/demikianlah air pancuran/barcampur dengan air mataku/yang bercucuran.

(taufik ikram jamil/
arya gunawan)



Sumber: Kompas, 17 November 1991



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...