Langsung ke konten utama

Westerling Setelah Tiada (3) Andi Mattalatta, Panglima tanpa Pangkat

Salah satu hal yang menyebabkan kian membabibutanya Westerling adalah, bergabungnya para pemberontak Makassar dengan sejumlah pasukan RI yang didatangkan dari Tanah Jawa. Padahal, pemimpin pasukan dari Jawa itu ternyata adalah putra Bugis sendiri. Yaitu Andi Mattalatta, ayah kandung penyanyi Andi Meriem Mattalatta.

Ketika Andi dan rombongan tiba di Sulsel, juga belum banyak orang mengerti tentang teknik pertempuran yang benar, apalagi memegang senjata api. "Pokoknya pada waktu itu, kami hanya berperang atas dasar keberanian saja. Saya datang bersama sekitar 60 orang staf, dengan persenjataan yang sudah afkir. Kami mendarat di Sulawesi pada 30 Desember 1946. Sementara itu, Belanda sudah memiliki senjata api yang modern. Sehingga wajar, kalau kita sering mengalami kekalahan yang telak pada saat itu," kenang Andi Mattalatta yang kini dikenal sebagai ketua umum KONI Daerah Ujungpandang itu.

Dihubungi Jawa Pos di rumahnya di Ujungpandang, kakek lima orang anak itu berkisah, "Sebelum terjadi peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Westerling dan pasukannya, sebagai utusan raja-raja dan pemuda Sulawesi Selatan, saya menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta. Saya jelaskan pada presiden, raja dan pemuda Sulawesi Selatan bertekad, ingin agar Sulawesi menjadi kesatuan wilayah RI. Sebab, pada zaman itu yang disebut dengan wilayah RI hanyalah Jawa, Madura, dan Sumatera," kata Andi Mattalatta.

Ketika itu, Andi Mattalatta baru berusia 26 tahun. Meski demikian, begitu tiba di Yogya, ia pun langsung diturunkan ke front pertempuran oleh Panglima Soedirman. Tetapi, karena Andi memang belum pernah mengenyam pendidikan kemiliteran sama sekali, maka ia pun lantas 'dititipkan' pada divisi-divisi TRI yang ada. Antara lain, Divisi Siliwangi yang bergerak di Bandung melawan Belanda.

Setelah Bandung dibom oleh pasukan Belanda, barulah Andi dipindahkan kembali ke Yogyakarta.

"Tanggal 24 Maret 1946, saya mendapat tugas dari Panglima Sudirman untuk membentuk Tentara RI di Sulsel, dengan sebutan Divisi Hassanuddin. Saya ditunjuk sebagai panglimanya," kenang Andi Mattalatta. "Tetapi, panglima tanpa pangkat. Itulah saya pada saat itu," lanjutnya.

Masih di Yogyakarta, Andi kemudian membentuk pasukan bersama rekan seniornya, Kahar Muzakar. "Tetapi, anggota pasukan Kahar Muzakar lebih banyak jumlahnya. Mereka berasal dari para tahanan Belanda yang dibebaskan Kahar Muzakar," kata Andi Mattalatta.

Para prajurit itu dikelompokkan dalam bentuk ekspedisi-ekspedisi, yang lantas diberangkatkan ke Sulsel dengan perahu-perahu biasa.

Tetapi, rupanya kedatangan mereka telah tercium oleh Belanda. Beberapa saat sebelum mendekati Makassar, mereka diserang. Dan, "Ada 24 ekspedisi pasukan saya yang hancur dalam pertempuran di laut itu," kata Andi.

Andi sadar, kekuatan Belanda, "Sekali tembak, satu perahu ekspedisi kami hancur. Padahal kami hanya terdiri atas 24 perahu," maka Andi pun lantas berusaha mendarat pada malam hari. Itu pun tidak di Makassar yang merupakan ibukota provinsi, tetapi justru di kampung Barru, yang terletak 100 kilometer dari Makassar.

Pertimbangan Andi, dia sendiri adalah putra Barru. Pasti rakyat kampung tersebut akan melindungi Andi dan pasukannya, dan menyembunyikan kabar kedatangannya itu dari orang asing mana pun.

Kekalahan yang mengenaskan itu telah memberikan pelajaran tersendiri bagi Andi. Dan sejak terjadinya peristiwa itu, Andi pun terpikir untuk menerapkan strategi perang gerilya yang didapatnya dari pengalaman selama bertempur melawan Belanda di Jawa.

Menurut Andi, ketika dia tiba sebenarnya Westerling bersama pasukan Baret Merah-nya sudah mendarat. "Westerling tiba di Makassar pada 6 Desember 1946, sedang saya tiba di Sulsel, 30 Desember 1946," tutur Andi.

Sepengetahuan Andi, ketika tiba di Makassar, Westerling juga tidak langsung melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pejuang Indonesia. Namun, begitu mendengar bahwa para penentang Belanda bergabung dengan kaum kelaskaran, Westerling pun mulai bertindak," kata Andi pula. Yang dimaksud dengan kaum kelaskaran adalah mereka yang tergabung dalam kelompok (semacam) militer. Ketika itu, di Sulawesi memang belum terbentuk divisi militer, seperti di Jawa.

Pada suatu hari, tutur Andi, pada 14 Desember 1946, Westerling mendengar suara letusan senjata api di sebuah kampung, di pinggiran Kota Makassar. Maka pada hari itu juga rakyat yang terdiri atas anak-anak, wanita, dan orang tua itu pun, lantas dikumpulkan di sebuah lapangan. Kemudian ditanyai di mana pejuang yang menembakkan senjata api yang suaranya didengar pasukan Westerling.

"Karena tak ada yang mengaku, rakyat yang berkumpul di lapangan itu pun disapu dengan senapan mesin. Jadi, mulai 11 Desember itulah Westerling mengadakan aksi pembunuhan secara besar-besaran," kata kakek dengan lima cucu ini.

Keganasan Westerling bersama pasukannya inilah, kata Andi, yang menyebabkan Panglima Soedirman memerintahkan Andi membentuk Divisi Hassanuddin di Sulsel.

Tetapi, karena pasukan yang datang dari Jawa itu justru dipimpin oleh putra Bugis, maka rakyat pun pantang menyerah pada Belanda, kendati Westerling semakin ganas. Bahkan, para bangsawan Sulsel sendiri yang semula pro Belanda, banyak yang bergabung dengan pasukan Andi. Apalagi para pemudanya. Sehingga, makin hari jumlah pasukan Andi pun semakin membengkak.

Menghadapi Belanda, khususnya pasukan Baret Merah-nya Westerling, yang bukan hanya bersenjata modern tetapi juga memiliki strategi dan berdarah dingin, Andi benar-benar kewalahan. Sehingga, Andi pun lantas menerapkan teori perang gerilya dengan menggunakan gunung dan hutan-hutan yang memang banyak terdapat di Sulsel sebagai pusat pertahanan. 

Karena jumlah pasukan Belanda cukup banyak, maka Andi pun lantas membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok. "Sehingga, dengan begitu kami bisa mengadakan serangan ke beberapa tempat sekaligus. Dan jika Belanda menyerang, kami tidak lagi hancur dalam sekali serangan seperti yang kami alami ketika hendak mendarat di Makassar," katanya. Dan, pusat pengendalian pasukan dilakukan Andi dari Gunung Pacekek. Ke gunung inilah, Andi dan pasukannya biasa memancing dan menjebak lawannya. Namun sejauh itu, pasukan Baret Merah-nya Westerling tidak pernah terpancing ke daerah ini. Sehingga, Andi pun tak berkesempatan untuk bertemu muka dengan Westerling sendiri. Namun demikian, segala bentuk kekejaman Westerling selalu didengarkan melalui laporan anak buahnya.

Dan pada Maret 1947, gerakan pembunuhan yang disponsori oleh kapten berdarah dingin itu ditarik ke Batavia (sekarang Jakarta), karena apa yang dilakukannya ternyata bertentangan dengan kehendak Belanda sendiri.

Meski Westerling telah ditugaskan di Jakarta, dan kemudian ke Bandung, di mana ia membentuk APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dan kembali melakukan aksi pembunuhan seperti ketika di Sulsel, para perwira Belanda di Makassar melanjutkan pembantaian ala Westerling itu dengan dibantu oleh para tentara KNIL. (abu muslich/sukardi)



Sumber: Jawa Pos, 6 Desember 1987



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...