Langsung ke konten utama

Makam Raja Tallo IX Terbesar di Indonesia

Oleh Mujahidin Agus

PENGANTAR

Artikel ini karya Mujahidin Agus, siswa SMAN II, Jl. Gaji Gau III/17, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, yang menempati urutan terakhir "Sepuluh Besar" peserta "Sayembara Mengarang Suara Karya untuk SMTA 1987".

Belum berhasil meraih hadiah Tabanas dan mesin tik, untuk pemuatan tulisannya ini Mujahidin akan mendapat honor sebagaimana yang berlaku di Suara Karya.

Red.

Menyusuri pinggiran kota Ujung Pandang di Kecamatan Tallo, melewati jalan yang tidak terlalu ramai, kita akan sampai ke kompleks makam kuno raja-raja Tallo, tepatnya di RK VI Lingkungan Tallo. Kompleks ini terletak di sebelah timur muara sungai Tallo di selat Makassar, 7 km dari pusat kota Ujung Pandang. Dari tepi jalan raya kompleks ini tidak nampak sebab terlindung oleh rumah penduduk. Memasuki pintu gerbang, kita takkan mengira bahwa di belakang rumah-rumah penduduk itu terdapat makam raja-raja Tallo yang sangat bersejarah.

Luas kompleks yang hanya sekitar 9.225 m2 ini sangat terpelihara kebersihan dan keindahannya walaupun hanya berpagar kawat. Tidak ada sampah, tidak ada coretan-coretan tangan dan juga tidak ada makam yang rusak oleh tangan-tangan jahil. Pohon-pohon yang rindang, bunga-bunga di taman menambah sejuk di sekitar kompleks, menambah tenang di hati.

Menurut hasil penggalian dan penyelidikan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan, bahwa dahulunya kompleks makam dikelilingi oleh benteng Tallo yang besar. Sekarang benteng itu sudah tidak ada sebab telah dihancurkan oleh Belanda akibat perjanjian Bungaya tahun 1667. Juga dalam penggalian itu ditemukan benda-benda kuno, antara lain keramik asing, keramik lokal, dan tulang-tulang binatang. 

Kerajaan Tallo adalah kerajaan yang pada mulanya berdiri sendiri, kemudian dijadikan kembar dengan kerajaan Gowa. Kedua kerajaan ini bergabung untuk menghimpun kekuatan dalam menghadapi penjajahan Belanda. Antara kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa saling bekerja sama, contohnya yaitu Raja Tallo I Malingkaan Daeng Manyonri yang sekaligus menjadi Mangkubumi kerajaan Gowa. Raja Tallo ini juga dikenal dengan nama gelar Sultan Awalul Islam. Raja Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia yang lebih dikenal dengan gelar Sultan Alauddin adalah pejabat kerajaan Gowa yang pertama memeluk agama Islam, tanggal 22 September 1605. Sedangkan raja yang pertama memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan ialah Pajung (Raja) Luwu XV La Pattiware Daeng Parebbung yang masuk agama Islam tahun 1603. Raja Luwu XVI pada tahun 1604 membangun mesjid di Palopo (tertua di Sulawesi Selatan).

Seperti halnya makam raja-raja Tallo, maka makam raja-raja Gowa pun terhimpun dalam satu kompleks. Pada kompleks makam seperti ini hanya dimakamkan raja-raja dan keturunannya. Di seluruh Indonesia, tentu banyak kita jumpai kompleks makam seperti ini.

Kompleks makam raja-raja Tallo berisi 66 buah makam besar dan kecil, satu di antaranya yang sangat menonjol, sebab makam inilah makam yang terbesar dan tertinggi dibandingkan dengan makam lainnya di kompleks itu.

Makam-makam di kompleks ini sebelum dipugar dibentuk dari batu-batu sedimen (batu endapan) yang disusun rapi, sebagaimana bangunan-bangunan pada jaman lampau yang tidak mempergunakan semen sebagai bahan perekat. Pembuatan makam-makam ini memakai teknik konstruksi susun timbun dengan cara mengaitkan batu-batu penyusun makam secara satu per satu, hingga tersusunlah bangunan yang kokoh, yang dapat bertahan berabad-abad lamanya. Meskipun kebanyakan batu-batunya telah diganti dengan batu serupa, tetapi bentuk makamnya tetap seperti bentuk semula.

Makam yang paling besar dan paling tinggi di kompleks ini berukuran 6x6 meter dengan tinggi 6 meter. Makam ini terbagi atas 3 bagian, sama halnya dengan candi, terdiri dari bagian kaki, bagian badan, bagian atap atau kepala. Pada bagian atap makam dipasang 2 buah batu nisan. Bentuk makam dan nisan di puncak makam yang demikian ini hanya sebagai tanda bahwa makam ini adalah makam-raja-raja atau makam orang yang diagungkan. Sedangkan nisan yang sebenarnya berada di dalam rongga makam yang berpintu segi empat agak sempit. Rongga di dalam makam berbentuk setengah lingkaran memanjang. Nampaknya semua makam yang besar di dalam kompleks ini juga berongga dan nisannya berada di dalamnya. Begitu juga makam Raja Gowa XVI I Mallombassi Daeng Mattawang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin dan makam-makam di dekatnya di dalam kompelsk makam raja-raja Gowa.

Di dalam rongga-rongga makam terdapat hiasan-hiasan yang dipahatkan pada batu nisan makam. Hiasan-hiasan ini berupa bunga teratai, sulur geometris, dan kaligrafi tulisan Arab (Laa ilaaha illalloh, dan sebagainya).

Makam yang tertinggi di kompleks ini adalah makam terbesar dan tertinggi di Sulawesi Selatan, bahkan mungkin terbesar di Indonesia. Makam ini adalah makam Raja Tallo IX yaitu Mallakawang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tumemanga ri Passiringanna Sultan Abdul Kadir.

Selain itu masih ada 20 orang raja yang dimakamkan di komplek ini, antara lain Raja Tallo VII Mangginyarang Daeng Makkio Kareng Kanjilo Ammalayangari Timoro Sultan Mudaffar (1598-1641), Raja Tallo XII I Makkasumang Daeng Mangurangi Karaeng lampangan Sultan Saifuddin Tumenanga ri Butta Mallabirina (1770-1778), makam Raja Talo VIII dan Raja Tallo XV atau Raja Gowa XXX La Odangriu Daeng Mangeppe Karaeng Tallo, Karaeng Kabullekang Karaeng Katangka Sultan Muhammad Sainal Abidin Abdul Rahman Amiril Mukminin Tumenangan ri Suangga (1783-1845).

Sempat penulis melihat bekas nyala lilin di beberapa batu nisan di salanrongga, juga bekas taburan bunga putih, bunga merah, dan bunga kuning. Rupanya masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar kompleks makam masih memegang adat lama yang menganggap keramat makam-makam di kompleks itu. Dan masyarakat sering datang berziarah. Dan inilah kiranya sebab tetap terjaganya kelestarian dan keindahan kompleks sebab masyarakat takut mengotori atapun mengganggu makam.

Usaha pemerintah untuk tetap melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah ialah dengan mengadakan pemugaran. Pemugaran makam-makam di kompleks ini dilakukan secara bertahap. Tahap I tahun 1977/1978, tahap II tahun 1978/1979, tahap II tahun 1979/1980, dan tahap IV tahun 1981/1982.

Dan selama 4 tahun yaitu tahun 1978 sampai tahun 1982 telah selesai memugar makam-makam yang rusak juga perbaikan lokasi kompleks.

Pemugaran yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala ini hanya mengganti bagian-bagian yang rusak saja, walaupun ada makam yang seluruhnya dibongkar untuk dibentuk lagi dengan batu yang baik. Sedangkan batu-batu yang masih utuh tetap dipasang kembali. Untuk membedakan batu asli dengan batu yang bukan asli, maka pada batu yang bukan asli diberi tanda dengan memakukan paku khusus yang agak besar.

Selain pemugaran makam, juga dilakukan pembuatan jalan setapak sepanjang 348 meter, jalan mobil VIP sepanjang 116 meter dengan lebar 4 meter, pemagaran lokasi 340 meter, pembuatan taman, penanaman bunga, pembuatan WC dan lain-lain. Selama 4 tahun itu pemugaran dan perbaikan lokasi seluruhnya memakan biaya Rp 47.104.000,-

Tujuan pemugaran selain untuk melestarikan peninggalan bersejarah itu juga selanjutnya akan berfungsi sebagai media pendidikan, obyek pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat juga dimanfaatkan sebagai obyek pariwisata. Perbaikan lokasi ini adalah usaha pemerintah untuk menjadikannya lebih menarik agar selalu dikunjungi orang.

Usaha ini tidaklah sia-sia, terbukti dengan banyaknya pengunjung di waktu libur. Ada yang datang sekadar menenangkan pikiran bersama keluarga dan ada juga yang datang jalan-jalan sambil mencatat hal-hal yang penting. Selain itu banyak juga pengunjung yang datang untuk ziarah, terutama sesudah lebaran Idhul Fitri.

Bagi para pengunjung yang ingin mendapatkan data-data tentang lokasi ini baik berupa foto-foto proses pemugaran, silsilah raja-raja Sulawesi Selatan ataupun tentang benda-benda temuan waktu penggalian, telah disediakan ruang informasi di dalam lokasi kompleks. Selain itu juga dapat meminta informasi di benteng Ujung Pandang. 

Hingga kini kompleks makam raja-raja Tallo ini tetap lestari setelah diadakan pemugaran yang diresmikan tahun 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Dr. Daoed Joesoef dan tetap siap menyambut pengunjung.***



Sumber: Suara Karya, 3 Desember 1987



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan