Langsung ke konten utama

Westerling Setelah Tiada (1) Mereka Mengatakan Biarlah Westerling Mati

Westerling memang telah meninggal dunia pekan lalu. Namun, kekejamannya tetap membekas di dada orang Indonesia, khususnya warga Sulawesi Selatan dan Bandung. Karena itu, setiap 11 Desember (seperti yang akan dilakukan minggu depan), warga Sulsel di Jakarta selalu memperingatinya sebagai hari duka. Bahkan, mereka sebenarnya sudah lama mengusulkan agar 11 Desember dijadikan sebagai Hari Duka Nasional, suatu usul yang sampai sekarang belum dikabulkan oleh pemerintah.

Salah satu warga Sulsel yang tetap mengingat kekejian kapten Belanda adalah Manai Sophiaan, mantan pimpinan redaksi harian "Pewarta Celebes", terbitan Makassar (sekarang Ujungpandang), Sulsel, pada 1942-1945.

Manai, yang tak lain adalah ayah kandung sutradara Sophan Sophiaan itu, sendiri memang belum pernah bertemu muka langsung dengan Westerling. Tetapi, dia cukup banyak menulis kekejaman kapten Belanda itu semasa berada di Makassar.

Bagi Manai, bercerita tentang Westerling yang dianggap sebagai pembunuh 40 ribu rakyat Indonesia itu sama dengan mengungkit duka lama. Karena itu, Manai yang terakhir menjabat Dubes RI untuk Uni Soviet (1950-1964) ini lebih suka jika cerita tentang Westerling tidak ditulis secara besar-besaran.

"Biarlah dia mati dan mempertanggungjawabkan kebiadabannya kepada Tuhan," katanya.

Kesan tentang kabar kematian Westerling yang diketahuinya dari surat kabar itu, "Yang saya ingat hanya kekejamannya saja. Tidak lain," kata Manai.

Dan, sehubungan dengan kematian itu sendiri, ternyata Manai masih menyimpan satu harapan, yang menurutnya juga merupakan impian setiap warga Sulawesi Selatan. Yakni, "Sampai saat ini kami masih berharap agar pemerintah mau menjadikan 11 Desember sebagai Hari Berkabung Nasional," katanya. Sebelas Desember 1946 adalah hari pertama Westerling memulai aksi pembunuhannya secara brutal dan membabi buta.

Tetapi, benarkah Westerling memang sekejam yang diberitakan banyak media massa, yaitu membunuh 40 ribu jiwa? Sementara Westerling sendiri, mengaku 'hanya' membunuh 9 ribu orang saja.

"Kalau dibilang kejam ya kejam. Tetapi, latar belakang pendidikannya memang yang mengharuskan dia berbuat begitu. Artinya, Westerling memang dididik untuk berani berbuat kejam," tutur Manai.

"Ketika Westerling melakukan aksi pembunuhannya pada 11 Desember 1946 di Makassar, saya sedang berada di Yogya, jadi guru Taman Siswa," kata lelaki kelahiran Takalar, Sulsel. Setelah itu, ia pindah ke Yogya. Beberapa bulan setelah Manai meninggalkan kedudukannya sebagai pimpinan redaksi, Westerling pun mulai melakukan aksi pembantaiannya. 

Sebenarnya, menurut Manai yang lahir pada tahun 1915 ini, Westerling dipersiapkan secara militer untuk menghadapi tentara Nazi, Jerman. Jadi, diprogram semacam kejam kontra kejam. "Westerling mendapat pendidikan ketentaraan di Inggris. Setelah Perang Dunia II usai, oleh pemerintahnya (Belanda, Red.) Westerling kemudian dikirim ke Indonesia," kata Manai. Namun, Manai mengaku tidak tahu persis biodata Westerling.

Meski banyak membuat berita tentang kekejaman Westerling di tanah kelahirannya, Turki, namun Manai mengaku tidak pernah mewawancarai Westerling secara langsung. "Saya hanya pernah melihat orangnya sepintas," tambahnya tentang Westerling yang juga dikenal dengan julukan 'De Turk' (si Turki).

Manai mengaku belum pernah bertemu langsung dengan Westerling, tetapi ia pernah menerima kopi hasil pelacakan kru TV Belanda terhadap sisa-sisa kekejaman Westerling selama berada di Sulsel dan Bandung. "Dari hasil pelacakan itulah saya lantas menulis sebuah artikel, yang saya kira cukup besar artinya dalam kaitannya dengan kekejaman Westerling itu di harian Merdeka terbitan Jakarta," kata Manai yang pada saat itu, menjelang 1950-an, menjabat sebagai anggota DPR Pusat.

Menurut Manai, penjahat perang yang telah membunuh ribuan rakyat Indonesia itu sesungguhnya tidak sedang berusaha melarikan diri dari negeri ini ketika ditangkap di Singapura pada sekitar 1950-an, tetapi justru memang diungsikan oleh Belanda. "Buktinya ia dijemput di Pelabuhan Tanjung Priok oleh pesawat amphibi milik AL Belanda. Nama pesawatnya, Catalina," tutur Manai.

Kemudian, untuk menghindari tuduhan melindungi penjahat perang, menurut Manai, Belanda pun lantas menerjunkan Westerling dengan payung di wilayah Singapura. Tetapi, lelaki yang meninggalkan Indonesia itu lantas bisa ditangkap oleh tentara Inggris yang ada di Singapura. "Ketika itu Singapura kan masih dikuasai Inggris," ujarnya.

Manai sendiri menilai penangkapan itu hanya sandiwara belaka. "Itu sudah diatur oleh Belanda dan Inggris. Buktinya, secara diam-diam Westerling dikirim ke Belanda oleh Inggris. Dan, di sanalah (Belanda, Red.) ia hidup tenang sampai akhir hayatnya," tutur Manai pula. Seperti yang telah diberitakan harian ini, Westerling meninggal dalam usia 68 tahun.

Manai sendiri tidak hendak mempermasalahkan jumlah korban. "Empat puluh ribu atau sembilan ribu, tetap merupakan jumlah yang besar," katanya sambil menambahkan, setiap tahun warga Sulsel selalu memperingati kekejaman Westerling itu. "Di Jakarta sendiri, setiap tahun kami selalu berusaha agar pemerintah mau menjadikan 11 Desember itu sebagai Hari Berkabung Nasional. Peristiwa di Sulsel itu sama dengan peristiwa Gerbong Maut di Jawa Timur yang terkenal itu," katanya.

Yang berpendapat, "Biarlah Westerling Mati," ternyata bukan hanya Manai Sophiaan saja, juga Ali Budiardjo. Lelaki yang kini berusia 74 tahun ini adalah salah seorang calon korban Westerling. Ketika Westerling melakukan aksi pembantaiannya di Makassar, Budiardjo menjabat sekretaris jenderal Kementerian Pertahanan dan termasuk salah seorang tokoh yang akan dibunuh Westerling. Dia tidak punya kesan apa-apa terhadap Westerling selain menyebut orang itu penjahat perang. "Saya tak punya kesan apa-apa, jauh dari upaya untuk menundukkan kepala mendengar kematiannya," kata Ali Budiardjo kepada Jawa Pos.

Tokoh kelahiran Yogyakarta yang juga pernah menjadi direktur Biro Perancang Negara (1950-1953) ini, terus terang mengaku tidak pernah mengenal langsung Westerling. Bahkan, president director Freeport Indonesia ini tidak tahu jika merupakan salah seorang yang diincar oleh Westerling. Orang lain yang senasib dengan Budiardjo ini pada saat itu adalah Hamengku Buwono IX yang menteri pertahanan dan T. B. Simatupang yang kala itu menjabat sebagai Kastaf Angkatan Perang. "Saya baru tahu bahwa saya termasuk orang yang diincar Westerling, justru jauh setelah aksi di Makassar itu," katanya.

Sebagai tentara, menurut Ali Budiardjo, ia sama sekali tidak kaget mendengar hal itu. "Bagi saya, rencana Westerling untuk membunuh kami adalah hal yang biasa. Tindakan pribadi yang saya lakukan tidak lain adalah kewaspadaan," ujar penasihat pribadi Jenderal (Pur) T. B. Simatupang ini.

Tindakan secara militer bukannya tidak ada, misalnya untuk menangkap Westerling. Hanya saja, setelah rencana Westerling untuk menangkap atau membunuh semua menteri RIS (Republik Indonesia Serikat) gagal, penjahat itu lari ke Singapura. "Kita tidak bisa mengadilinya di Indonesia karena tidak ada perjanjian ekstradisi," kata Ali Budiardjo yang sekali lagi menekankan "Biarlah Westerling Mati".

(syachran)



Sumber: Jawa Pos, 4 Desember 1987



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA: Menyerahnya Gubernur Jendral AWL TJARDA dan Letnan Jendral TER POORTEN kepada Letnan Jendral IMMAMURA Panglima Perang Jepang 8 Maret 1942

Generasi kita sekarang, mungkin tidak banyak yang mengetahui terjadinya peristiwa penting di tanah air kita 35 tahun yang lalu, yaitu menyerahnya Gubernur Jenderal dan Panglima Perang Hindia Belanda "Tanpa Syarat" kepada Panglima Perang Jepang yang terjadi di Kalijati Bandung pada tanggal 8 Maret 1942. Peristiwa yang mengandung sejarah di Tanah Air kita ini telah ditulis oleh Tuan S. Miyosi seperti di bawah ini: Pada tanggal 8 Maret 1942 ketika fajar kurang lebih jam 07.00 pagi, kami sedang minum kopi sambil menggosok mata, karena kami baru saja memasuki kota Jakarta, dan malamnya banyak diadakan permusyawaratan. Pada waktu itu datanglah seorang utusan dari Markas Besar Balatentara Jepang untuk menyampaikan berita supaya kami secepat mungkin datang, walaupun tidak berpakaian lengkap sekalipun. Kami bertanya kepada utusan itu, apa sebabnya maka kami disuruh tergesa-gesa? Rupa-rupanya balatentara Hindia Belanda memberi tanda-tanda bahwa peperangan hendak dihentikan! Akan ...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Pemuda Penjuru Bangsa

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". (Ir Soekarno) JAKARTA, KOMPAS -- Pernyataan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, itu menggambarkan betapa pemuda merupakan potensi yang luar biasa, tidak hanya untuk pembangunan bangsa, tetapi juga untuk mengguncangkan dunia. Dalam perkembangan bangsa ini, kaum muda banyak mewarnai sejarah Indonesia. Tidak hanya dimulai dengan digelarnya Kongres Pemuda II tahun 1928, yang menegaskan "bertanah air dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia serta berbahasa persatuan, bahasa Indonesia", tetapi peristiwa pembentukan negeri ini, misalnya lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, pun digagas pemuda. Bahkan, organisasi kebangsaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum muda. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang diakui sebagai pemuda adalah warga negara yang m...