JAKARTA, (PR),-
Hubungan diplomatik Indonesia-Belanda dinilai ilegal. Soalnya, baik secara internasional maupun nasional, tidak ada dasar hukumnya. "Coba, apa landasan hukum hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dipertanyakan dan dikaji oleh pakar hukum tata negara," kata sejarawan Anhar Gonggong dalam diskusi bertajuk "Permintaan Maaf Belanda atas Kasus Westerling" bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar dan Ketua Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Sampai saat ini, kata Anhar, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan hanya mengakui Indonesia merdeka tanggal 27 Desember 1949. Begitu pula dengan Indonesia yang bersikukuh bahwa kemerdekaannya diproklamasikan 17 Agustus 1945.
"Artinya, Belanda memang tak pernah ikhlas terhadap Indonesia. Karena sejak Indonesia merdeka, Belanda kehilangan lumbung ekonomi dan politik," tambah guru besar sejarah Universitas Indonesia itu.
Atas dasar itu pula, menurut Anhar, permintaan maaf Belanda dan pemberian ganti rugi 20.000 euro, ditolak oleh pihak keluarga korban pembantaian 40.000 penduduk akibat kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan. Anhar menilai pemberian ganti rugi itu sebagai penghinaan kepada martabat korban dan bangsa Indonesia.
"Kami dari pihak keluarga menolak upaya Belanda itu, karena kami telah mencatat begitu banyak tetangga dan orang di wilayah kami yang tewas akibat pembantaian Belanda. Sementara Belanda hanya memberi ganti rugi untuk 10 orang saja," kata Anhar.
Anhar juga meminta agar Indonesia menolaknya. "Langkah ini untuk menjaga harga diri bangsa, sebagai bangsa yang bermartabat dan berwibawa. Justru tidak rugi kalau kita memutuskan hubungan diplomatik," tuturnya.
Rencananya, pemerintah Belanda akan memberikan ganti rugi pada 12 September 2013 ini. Bagi Anhar, pada peristiwa 1946-1947 itu, hilangnya ratusan korban di kampung halamannya, dan ribuan lagi di wilayah Sulawesi Selatan, tak bisa diganti dengan uang. Ia menceritakan, kekejaman Belanda dalam genosida secara sadis dengan mengubur ratusan warga dalam satu lubang.
"Kami dari keluarga waris warga korban tidak akan pernah menerima permintaan maaf Belanda kalau belum mengakui 17 Agustus sebagai kemerdekaan RI dan Belanda mengakui pembantaian ribuan orang itu," katanya.
Penolakan juga disampaikan Ketua KKUB Batara Hutagalung. "Ini bukan soal ganti-mengganti, melainkan untuk menegakkan kedaulatan," tuturnya.
Menurut Batara, permintaan maaf Belanda lewat kompensasi pemberian uang merupakan bentuk penghinaan dan bukan konsep KUKB. "Kita tak akan minta kompensasi karena utang nyawa tak bisa dinilai dengan uang. Itu hanya akal-akalan Belanda," paparnya.
Hal sama dikatakan anggota DPD Abdul Aziz Kahhar Mudzakkar. "Saya sepakat untuk menolak pemberian kompensasi ini, sekaligus menolak permohonan maaf Belanda," katanya.
Abdul menyatakan akan segera ke daerah pemilihannya. "Kalau saya turun ke sana, nanti pasti sudah menyerbu saya bertanya-tanya soal 10 orang itu. Padahal korban jelas sangat banyak," kata putra Qahar Mudzakar itu. (A-109) ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 5 September 2013

Komentar
Posting Komentar