Hakikat suatu bangsa ada dalam keinginan untuk hidup bersama. Bagi bangsa Indonesia, benih keinginan untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu ikut disemai lewat hidup bersama para penggagas Sumpah Pemuda yang menghuni rumah pemondokan yang kini beralamat di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat.
Senda gurau terdengar dari rumah indekos di Jalan Kramat 106, Weltevreden, Batavia, pada suatu hari menjelang tahun 1928. Mahasiswa penghuni pemondokan milik Sie Kong Liong itu tak sedang membicarakan revolusi di belahan dunia lain atau pemikiran Mahatma Gandhi dan John Stuart Mill. Mereka melepas penat, berseloroh tentang masakan khas daerah masing-masing.
"Sementara ini, enaknya gini aje dulu, Sup!" kata Adnan Kapau Gani, yang lebih sering disingkat AK Gani, pemuda asal Sumatera, kepada Jusupadi Danuhadiningrat, pemuda asli Yogyakarta.
Dari semua "jong kos" alias pemuda penghuni kos Kramat Raya 106 atau Indonesisch Clubgebouw (IC), yang masing-masing di kemudian hari menjadi penggagas Sumpah Pemuda dan tokoh penting di awal kemerdekaan Indonesia, kedua pemuda itu dikenal paling sering saling bergurau di waktu senggang.
Gani, yang kelak menjadi wakil perdana menteri pertama RI, adalah kelahiran Palembayan, Sumatera Barat, tetapi sangat lekat dengan budaya Palembang. Ia berkata kepada Jusupadi, "Kalau situ dahar (makan) gudeg ame nasi, jangan lupe plus empek-empeknya!"
Mendengar guyonan kedua temannya, Muhammad Yamin yang adalah putra Minang ikut berceletuk menambahkan makanan khas daerahnya, "... en liefst (dan lebih baik) ... tambah rendang!" Yamin kelak dikenal sebagai konseptor Sumpah Pemuda dan menteri kehakiman pertama RI.
Kelakar santai di masa silam tentang penyatuan menu masakan Nusantara itu masih melekat dalam ingatakan Ki Musa Al-Machfoeld, anggota organisasi pemuda Jong Java asal Yogyakarta, yang juga sempat menghuni rumah Kramat Raya 106.
Dalam tulisannya, "Sumpah Pemuda, Sebelum, Semasa, Sesudah Lahirnya" yang dimuat dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974), Machfoeld menulis, candaan dan ledekan santai dalam interaksi sehari-hari di rumah Kramat Jaya 106 itu mewarnai pembauran identitas kedaerahan para penghuni pemondokan, yang di kemudian hari menggagas Sumpah Pemuda.
Peristiwa Sumpah Pemuda, sebagaimana Proklamator Bung Hatta menyebutnya, adalah sebuah letusan sejarah. Rangkaian Kongres Pemuda pada 1926-1928 itu menjadi titik tolak peleburan identitas kedaerahan berbagai organisasi pemuda, yang lalu menggulirkan semangat persatuan nasional untuk merebut kemerdekaan.
Letusan sejarah itu dimulai dari rumah Kramat Jaya 106, yang kini jadi Museum Sumpah Pemuda. Dari pemondokan milik Sie Kong Liong itu, pernyataan bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu dikumandangkan ratusan peserta dalam penutupan Sidang Ketiga Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
Sebagaimana diketahui, sesudah tahun 1909, sebagai dampak dari Politik Etis yang dilakukan Belanda, muncul gelombang kaum elite terpelajar yang membentuk organisasi kepemudaan. Sebagian besar organisasi itu didasarkan atas identitas kesukuan, seperti Jong Java (pemuda Jawa), Jong Sumatranen Bond (Sumatera), Jong Celebes (Sulawesi), Jong Ambon (Ambon), dan Pemuda Kaum Betawi.
MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern mencatat, kemunculan berbagai organisasi itu jadi penanda munculnya zaman baru, yaitu bersemainya kesadaran akan pentingnya pergerakan untuk hidup merdeka dari cengkeraman penjajah. Namun, semua masih berpatok pada kepentingan daerah atau suku masing-masing.
Keinginan untuk meleburkan diri dalam satu organisasi persatuan pemuda Indonesia masih berupa gagasan. Pada 1921 sempat ada keinginan meleburkan Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond. Namun, rencana itu gagal karena ada kekhawatiran bahwa Jong Java akan mendominasi federasi yang terbentuk.
"Para organisasi jong kita masih malu meleburkan diri. Maklum, manusia, tua ataupun muda, agaknya sayang membuang sesuatu yang telah lama dipunyai, dalam hal ini organisasi kesukuannya," kenang Machfoeld tentang situasi seputar 1920-an.
Adalah interaksi sehari-hari di antara para pemuda di rumah Kramat Raya 106 yang ikut memperkuat kesadaran akan pentingnya persatuan nasional untuk merebut kemerdekaan. Kebiasaan hidup bersama dan dorongan kesadaran itu pada akhirnya mengejawantah lewat rangkaian Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Terkait pembentukan perkumpulan berdasarkan kesukuan itu, Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada Suhartono Wiryopranoto menilai, kehadiran jong-jong itu menunjukkan adanya spirit kebersamaan dari para pemuda. Selanjutnya, dari hasil interaksi pemuda yang berlatar belakang etnis, suku, dan agama berbeda, semangat itu berevolusi menjadi nasionalisme.
"Meski terfragmentasi, pembentukan perkumpulan pemuda daerah itu punya ide yang sama, yaitu membebaskan Indonesia dari penjajahan, dari kolonialisme," ujar Suhartono.
Pemondokan
Kramat Jaya 106 awalnya tempat pemondokan anggota Jong Java, pemuda dan mahasiswa dari sekolah kedokteran (School tot Opleiding van Indische Artsen/STOVIA) dan sekolah hukum (Rechts Hogeschool). Tarif kos saat itu 12,5 sampai 20 gulden Hindia Belanda, sudah termasuk tiga kali makan dalam sehari dan mencuci pakaian.
Kemunculan rumah kos pada awal abad ke-20 itu dikarenakan berdirinya sekolah-sekolah di kota besar di Jawa. Rumah-rumah kos itu menampung pelajar dan mahasiswa yang tidak bisa tinggal di asrama akibat meningkatnya jumlah pemuda yang sekolah.
Pada 1925, kegiatan Jong Java, yang awalnya di asrama, dipindahkan ke Kramat Raya 106. Perpindahan itu mengakselerasi pembauran dan pergerakan kemerdekaan. Apalagi, sejak 1926, penghuni Kramat Raya mulai beragam, lintas suku, bahasa, dan agama. Selain pemuda Jong Java, ada pemuda Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain-lain.
Koordinator Teknis Museum Sumpah Pemuda Endang Pristiwaningsih menuturkan, rumah Kramat Raya 106 pada periode 1920-an tidak pernah sepi. Tidak hanya oleh para penghuni indekos, tetapi juga pemuda lain yang bertandang untuk berdiskusi, berdebat, membaca, sampai menari dan menyanyi di halaman belakang rumah.
Tokoh pergerakan saat itu, seperti Soekarno, pun sering mampir untuk berdiskusi. Terlebih, setelah September 1926, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) resmi didirikan di Kramat Raya 106. Dengan berdirinya PPPI, diskusi seputar ide pembentukan negara merdeka, gagasan kebebasan, keadilan sosial, serta ide persatuan nasional semakin sering dan lebih terarah.
Karena interaksi sehari-hari itu, para pemuda pun mengenal arti nasionalisme dan patriotisme serta memahami satu tujuan bersama, yaitu lepas dari kolonialisme Belanda dan merebut kemerdekaan.
Ali Nuntji Attamimi, pemuda Jong Ambon dan tokoh pemuda angkatan 1928 yang tinggal di Kramat Raya 106 sejak awal 1928, menuturkan, selama tinggal dan bersosialisasi bersama tersebut, para pemuda merasakan adanya persamaan nasib. Ini membuat perbedaan suku dan agama mereka tidak jadi penghalang untuk mengejar satu cita-cita yang sama.
"Pada waktu berkumpul, yang berbicara adalah dari segala suku bangsa, dari Sumatera sampai Ambon. Lambat laun, mereka merasakan mereka bukan anak Ambon, anak Jawa, atau yang lain. Mereka merasa anak Indonesia, bangsa Indonesia," tutur Ali sebagaimana dikutip dari arsip wawancara tokoh Angkatna '28 dengan Bagian Konservasi dan Preparasi Museum Sumpah Pemuda tahun 1987.
Beralih fungsi
Kini, Kramat Raya 106 bukan lagi rumah indekos. Seiring berjalannya waktu, rumah yang dulunya menjadi pusat pergerakan itu ikut berganti penyewa dan beralih fungsi dari toko bunga, hotel, hingga kantor pajak. Pada 20 Mei 1973, gedung itu dipugar dan dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda sampai hari ini.
Meski tidak seramai dahulu, Kramat Raya 106 tidak pernah benar-benar sepi. Saat mengunjungi Museum Sumpah Pemuda awal Oktober lalu, pengunjung dari berbagai generasi memadati ruangan museum untuk menghadiri pameran guna mengenang Sarmidi Mangunsukoro, salah satu tokoh pemuda yang juga sering bertandang ke Kramat Raya 106.
Rangkaian diskusi juga masih kerap diadakan dengan mengundang pelajar dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. "Itu untuk menjaga semangat dan budaya diskusi di rumah ini sebagaimana dilakukan tokoh pemuda dahulu," kata Endang.
Ketika para tokoh Angkatan 1928 masih hidup pun, tutur Endang, mereka kerap berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda untuk bernostalgia atau meluruskan informasi museum yang keliru. Endang teringat, saat awal bekarja di Museum Sumpah Pemuda, ia bertemu dengan Sunario, penasihat Panitia Kongres Pemuda II. Sunario bertanya dari mana Endang berasal, yang dijawab, "Saya berasal dari Jawa."
Sunario langsung menegur Endang. "Jangan jawab begitu. Langsung saja jawab, 'Saya orang Indonesia'. Jangan sebut orang Jawa, orang Sunda, orang Sumatera. Sia-sia dan percuma dulu kita memperjuangkan Sumpah Pemuda," tutur Endang menirukan kata-kata Sunario.
Setelah sembilan dekade berlalu, pesan pembauran dan persatuan dari para peserta Kongres Pemuda II itu tetap relevan untuk menghadapi tantangan kehidupan berbangsa saat itu.
(AGNES THEODORA/M IKHSAN MAHAR)
Museum Sumpah Pemuda
Sejumlah tokoh pemuda yang pernah menghuni kos Kramat Raya 106 (beserta jabatan yang pernah diemban pasca-kemerdekaan):
(1) Amir Sjarifuddin (Perdana Menteri RI)
(2) Muhammad Yamin (Menteri Kehakiman RI, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan)
(3) Assaat dt Moeda (Pejabat Presiden RI)
(4) A K Gani (Wakil Perdana Menteri RI dan Gubernur Militer Sumatera Selatan)
(5) Aboe Hanifah (Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan)
(6) Mohammad Tamzil (dubes RI di beberapa negara)
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar