Langsung ke konten utama

Dua Generasi Merayakan Disrupsi

Boedi Oetomo (1908) adalah cerita tentang disrupsi. Bentrokan antarzaman yang saat itu terjadi memicu kekacauan dan kebingungan. Namun, anak bangsa dari dua generasi berbeda, yaitu Wahidin Soedirohoesodo (lahir 1857) dan Soetomo (lahir 1888), justru memakainya sebagai kekuatan untuk melawan kolonialisme.

Ruang anatomi dan bangsal tanpa sekat tempat sekitar 170 siswa pribumi pada awal abad ke-20 memadu asa ingin menjadi dokter. Itulah dua ruangan yang saling bersebelahan di Museum Kebangkitan Nasional yang ada di Jalan Abdul Rachman Saleh, Jakarta. Dua ruangan yang dulu menjadi bagian dari sekolah kedokteran (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen/STOVIA) tersebut berperan penting dalam sejarah lahirnya Boedi Oetomo.

Di bangsal tanpa sekat itu, Soetomo, salah satu pendiri Boedi Oetomo, dan teman-temannya, satu abad lalu, kerap bermimpi tentang bangsanya yang jadi tuan di negeri sendiri.

Suasana kebatinan para siswa STOVIA yang ketika itu berusia 20-22 tahun ini, antara lain, dapat dilihat dari tulisan Goenawan Mangoenkoesoemo, salah satu siswa sekolah itu pada 1918. "Dan dengan sabar serta patuhnya, rakyat membiarkan kita makan dan berpakaian dari keringatnya, sedangkan anak mereka sendiri acap kali sakit karena kekurangan makanan sehat. Rasanya kami akan tenggelam. Dikhianati dan dijual oleh kepala-kepala negeri kita sendiri, diperas oleh orang-orang dari suatu negara asing. Apalagi yang dapat menolong kami? Selain kita sendiri yang membantu diri kita sendiri, tidak akan ada yang akan menolong kita" (100 Tahun Kebangkitan Nasional, Jejak Boedi Oetomo, 2008).

Pada Minggu, 20 Mei 1908, saat libur sekolah, sekitar pukul 09.00, sejumlah siswa STOVIA berkumpul di ruang anatomi. Dengan singkat, jelas, dan tanpa emosi, Soetomo menjelaskan usahanya untuk memperjuangkan nasib rakyat. Hadir di tempat itu beberapa sahabat Soetomo, yaitu Soeradji, Goenawan, Soewarno, Goembreng, Mohammad Saleh, dan Soelaeman. Hadir juga siswa dari delapan sekolah lain, di antaranya Sekolah Peternakan dan Pertanian Bogor serta Sekolah Pamong Praja Pribumi di Magelang dan Probolinggo. Tepuk tangan diiringi kesepakatan dibentuknya Boedi Oetomo, yang diambil dari kalimat perpisahan Soetomo kepada Wahidin Soedirohoesodo, saat mereka bertemu setahun sebelumnya. 

Boedi Oetomo jadi penting karena merupakan organisasi modern pribumi yang pertama. Tanpa Boedi Oetomo, sulit membayangkan munculnya Sumpah Pemuda 1928. Dan, tanpa rasa persatuan, solidaritas sosial sebagai sebuah bangsa, sulit membayangkan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945.

Robert van Niel dalam bukunya, Munculnya Elite Modern Indonesia, menyebutkan, sebelum Boedi Oetomo, telah banyak organisasi informal di Jawa yang berlandaskan pada ikatan adat, agama, dan bersifat vertikal. Namun, Boedi Oetomo merupakan organisasi pertama Indonesia yang anggotanya adalah individu yang bebas dan sadar untuk berorganisasi. Keanggotaan tidak dikaitkan dengan gelar atau kedudukan kebangsawanan. 

Walaupun untuk mengembangkan orang Jawa, tujuan Boedi Oetomo, yaitu pendidikan dan kemajuan, ada di luar cakrawala ke-Jawa-an saat itu. Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Sejarah Pergerakan Nasional, menyebutkan, telah lama idealisme kaum terpelajar itu "ada di udara". Namun, hanya dengan institusionalisasi, energi itu terwadahi dan menjadi identitas bersama.

Dua generasi

Pertemuan Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo tidak pernah direncanakan. Wahidin sedang dalam perjalanan untuk bertemu 53 bupati guna mencari dukungan beasiswa bagi para pribumi. Dalam perjalanan yang dimulai tahun 1906 itu, ia berhenti sebentar di Jakarta pada akhir 1907 untuk beristirahat.

Soetomo dan kawan-kawan sudah lama mendengar reputasi Wahidin. Wahidin dikenal cerdas. Ia masuk STOVIA pada 1869 dan menjadi asisten tahun 1872. Wahidin dikenal sebagai dokter yang piawai dan penuh belas kasih pada pribumi di Yogyakarta. Setelah pensiun, ia memimpin media Retnodhoemilah, bahkan aktif berkampanye tentang pentingnya pendidikan bagi pribumi. 

Soetomo dan teman sekelasnya, Soeradji, mengundang Wahidin untuk bertemu. Dalam pertemuan itu, Akira Nagazumi dalam buku Bangkitnya Nasionalisme Indonesia mencatat, Soetomo terpesona pada Wahidin. Soetomo menulis, "Saya berhadapan dengan Dokter Wahidin Soedirohoesodo yang berwajah tenang, tapi tajam. Kepandaiannya mengutarakan pikirannya sangat berkesan pada saya. Suaranya yang jelas dan tenang membuka pikiran dan hati saya, membawa gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput jiwa saya yang terluka dan sakit."

Soetomo seperti tersengat oleh impian Wahidin, yaitu adanya pendidikan bagi bangsanya. Ia memberikan sentuhan generasinya pada idealisme Wahidin. Ide Wahidin, yang semula berkutat pada beasiswa, diperluas hingga sampai visi bahwa golongan menengah harus diperkuat dengan modal dan pengembangan industri rakyat. Perjuangan Wahidin yang bersifat personal ditransfer menjadi mobilisasi kekuatan sosial.

Era disrupsi

Berdirinya Boedi Oetomo perlu dilihat dalam konteks disrupsi, perubahan mendasar yang saat itu terjadi di Belanda dan dunia. Salah satunya adalah tulisan CT van Deventer tahun 1899. Politisi liberal ini menulis tentang kewajiban Belanda membayar ganti rugi tanam paksa. Tahun 1901 Partai Liberal berkuasa di Belanda. Mereka menuntut pendekatan yang walau tetap eksploitatif, tapi manusiawi agar Indonesia bisa jadi pasar yang kuat. Pidato Ratu Wilhelmina tahun 1901 menandai dimulainya masa Politik Etis. Tahun 1903 UU Desentralisasi disahkan sehingga dibutuhkan banyak pegawai baru di Hindia Belanda.

Semua itu membuka kebutuhan dan peluang baru bagi kaum terpelajar. Ada jabatan yang terbuka bagi pribumi, seperti juru tulis, polisi, dokter, dan guru. Sementara para priayi elite enggan menangani pekerjaan teknis, para priayi desa mengambil kesempatan. Akira Nagazumi mencatat, tahun 1899-1900 ada 61.742 siswa sekolah dasar Ongko Loro dan Ongko Limo.

Pembaruan lewat pendidikan ini menimbulkan erosi terhadap kedudukan istimewa para bangsawan. Muncul priayi-priayi kecil hasil dari pendidikan. Para priayi kecil ini pun mulai terbuka matanya tentang keterjajahan bangsanya. Munculnya media-media juga membuka mata pribumi. Wahidin, misalnya, lewat Retnodhoemilah memberitakan kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905 dengan kerangka mendobrak mitos bahwa bangsa Barat lebih hebat dari bangsa Asia.

Disrupsi ini membuka retakan atas status quo penjajahan yang telah berlangsung 300 tahun. Wahidin dan Soetomo merayakannya dengan memanfaatkan momentum. Perlu diingat bahwa wajah penjajahan tidaklah monoton. Diawali dari memonopoli perdagangan oleh VOC, dilanjutkan dengan tanam paksa, kemudian liberalisasi dengan perusahaan-perusahaan swasta multinasional. Belanda memakai priayi elite yang mau bekerja sama untuk mengeksploitasi rakyat jelata. Para priayi elite ini yang harus dihadapi terlebih dahulu oleh Wahidin dan Soetomo karena merekalah pendukung utama status quo dengan menggunakan budaya feodal.

Feodalisme

Perjalanan Boedi Oetomo tak berlangsung mulus. Pada Kongres Boedi Oetomo I di Yogyakarta, 3-5 Oktober 1908, arus perubahan itu kembali dibendung oleh para priayi elite. Sejak awal telah ada perbedaan agenda antara kelompok yang muda dan progresif dengan tua yang konservatif. Kaum muda mengajukan 16 agenda yang sebagian besar tentang pendidikan dan ekonomi. Sementara kaum tua mengajukan tiga agenda, di antaranya tata krama dan pemilihan dewan pengurus. 

Boedi Oetomo akhirnya terus mengikuti etos Jawa yang moderat. Banyak kalangan, termasuk Soetomo, yang menilainya terlalu konservatif dan dikuasai priayi elite. Akibatnya, Boedi Oetomo semakin ditinggalkan dan bubar pada 1935. Belakangan, dua organisasi nasional, yaitu Indische Partij dan Sarekat Islam, yang menjadi motor pergerakan.

Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Suhartono Wiryopranoto mengatakan, yang sejatinya didobrak Boedi Oetomo adalah feodalisme. Kolaborasi dua generasi, Wahidin dan Soetomo, memulai perjuangan satu abad lalu. Hari ini, perjuangan itu masih relevan karena masih ada sisi buruk feodalisme yang belum tuntas. Misalnya, tentang nasib bangsa yang kini sering ditentukan oleh segelintir oligarki yang menguasai partai. 

(EDNA C. PATTISINA/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)



Boedi Oetomo

(1) Dideklarasikan di Jakarta, 20 Mei 1908. Dipelopori oleh pemuda-pemuda dari STOVIA, Sekolah Peternakan dan Pertanian Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang dan Probolinggo, serta Sekolah Sore untuk Orang Dewasa di Surabaya.

(2) Menggelar kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908. Saat kongres pertama digelar, Boedi Oetomo telah memiliki cabang di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada kongres ini, Raden Adipati Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar, diangkat sebagai Presiden Boedi Oetomo.

(3) Kongres Boedi Oetomo II digelar 11-12 Oktober 1909.

(4) Tahun 1912, Notodirjo menjadi Ketua Boedi Oetomo menggantikan RT Notokusumo.

(5) Perang Dunia I mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan wajib militer bagi warga pribumi. Boedi Oetomo memberi syarat untuk pemberlakuan wajib militer tersebut, yaitu harus dibentuk dahulu sebuah lembaga perwakilan rakyat (Volksraad). Usul Boedi Oetomo disetujui Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum sehingga terbentuk Volksraad pada 18 Mei 1918.

(6) Tahun 1920, Boedi Oetomo membuka diri untuk menerima anggota dari kalangan masyarakat biasa.

(7) Sejak tahun 1930 Boedi Oetomo membuka keanggotaannya untuk semua bangsa Indonesia.

(8) Pada tahun 1935 Boedi Oetomo menggabungkan diri dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan oleh Soetomo. Hasil peleburan Boedi Oetomo dan PBI adalah Partai Indonesia Raya yang diketuai Soetomo.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh EDN



Sumber: Kompas, 26 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...