Langsung ke konten utama

PERGERAKAN NASIONAL: Laweyan Poros Perlawanan

Kampung batik Laweyan di Kota Solo, Jawa Tengah, diperkirakan sudah ada sejak tahun 1546. Warga sekitar percaya, cucu Ki Ageng Henis, yang masih saudara dengan Jaka Tingkir dari Kerajaan Pajang, adalah orang yang pertama kali mengajari warga sekitar membuat lawe atau benang dari kapas. Karena sebagian besar masyarakat tempat Ki Ageng Henis itu berada banyak yang bekerja membuat lawe, daerah itu dinamai Laweyan.

"Sampai sekarang banyak pohon randu (pohon kapas) di bagian selatan kampung. Dulu, kapas dari randu-randu itu diolah warga jadi lawe atau benang," kata Riyanto (42), pengurus Forum Kampoeng Batik Laweyan, saat ditemui pada September lalu di Kantor Kelurahan Laweyan.

Masyarakat Laweyan yang mulanya hidup dengan membuat lawe beralih membuat batik setelah Keraton Surakarta berdiri tahun 1745. 

Keunikan lain dari Kampung Laweyan adalah bangunan rumahnya yang megah, luas, dan umumnya berpagar tembok tinggi. Menurut Riyanto, tembok-tembok tinggi itu dibangun untuk melindungi motif-motif kreatif pengusaha batik dari pencurian atau peniruan pihak lain. Gerbang rumah mereka pun selalu ditutup.

Sekalipun dibatasi tembok tinggi, rumah para perajin batik di Laweyan saling terhubung dengan pintu kecil atau pintu butulan, yang biasanya hanya cukup dilewati satu orang. "Pintu itu untuk menghubungkan satu lingkugan keluarga juragan batik dengan juragan yang lain. Meskipun bersaing dalam pembuatan motif, mereka tetap berhubungan satu sama lain.

Abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan pusat kejayaan batik Laweyan. Para pengusaha batik menjadi saudagar yang kaya raya, Haji Samanhoedi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), adalah salah satu dari mereka yang menikmati masa keemasan usaha batik. Penghasilan Samanhoedi 800 gulden per hari, setara dengan gaji bupati bawahan Belanda.

Antifeodalisme

Di balik kesejahteraannya, Laweyan memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap feodalisme. Sejarawan Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko, mencatat, ada cerita rakyat Laweyan tentang penolakan terhadap "keraton". Dikisahkan, saat sedang terdesak dalam suatu pemberontakan, Pakubuwono II meminjam seekor kuda kepada seorang perempuan pengusaha batik. Namun, permintaan raja itu ditolak sehingga menyakiti hati raja. Peristiwa itu sekaligus secara simbolik mencirikan karakter Laweyan yang berjarak dengan keraton atau kalangan priayi.

"Jika dipikir rasional, penolakan mbok mase (perempuan pengusaha batik) itu ada alasannya. Jika kuda yang adalah alat transportasi itu dipinjam, nanti dagang batiknya memakai sarana apa," ujar Heri.

Kisah lisan itu selalu diingat di alam bawah sadar kalangan saudagar batik dan kaum priayi. Sampai-sampai, ada larangan bagi kalangan bangsawan menikahi perempuan Laweyan karena nanti akan cepat mati. Sebaliknya, lelaki Laweyan juga sebaiknya tidak menikahi perempuan ningrat dengan alasan mereka selalu ingin hidup enak dan tidak mau bekerja keras. Heri menyebutkan, sejumlah kisah lisan itu merupakan representasi simbolik dari kaum Laweyan sebagai kelompok yang antifeodalisme.

"Orang Laweyan ini egaliter, pekerja keras, dan melalui usahanya mereka bisa bersaing dengan kelompok ningrat," katanya.

Kuntowijoyo dalam bukunya, Raja Priayi dan Kawula, menyebut orang-orang Laweyan tidak terikat dengan hubungan patrimonial berdasarkan pemilikan dan penguasaan tanah oleh raja atau keraton.

Mandiri

Benih perlawanan terhadap feodalisme tumbuh subur dalam kalangan masyarakat yang mandiri seperti Laweyan. Mereka tidak bergantung kepada raja. Kelompok ini juga menjadi wahana yang baik bagi tumbuhnya kesadaran akan kemandirian di bidang-bidang lain, termasuk ekonomi dan politik.

Dari Laweyan, lahirlah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI). Organisasi ini kemudian menjadi salah satu motor pergerakan nasional pada awal abad ke-20. (REK/GAL)



Sumber: Kompas, 28 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Dinasti Gowa Ditemukan

JAKARTA, KOMPAS -- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808). Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjajaran Bandung. "Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga m

Mengenang Peristiwa 8 Desember 1941 (II - Habis): Pengantar Surat Membawa Petaka

Oleh HARYADI SUADI KETIKA langit di ufuk timur mulai terang yang menandakan matahari akan segera muncul, destroyer "Ward" masih terus melakukan tugasnya. Tiba-tiba di suatu tempat awak kapal patroli ini melihat sebuah tiang kapal selam muncul ke permukaan air. Pada saat itu mereka yakin bahwa mereka tidak "salah lihat" lagi. Di hadapan mereka benar-benar ada sebuah kapal selam tidak dikenal. Tanpa berpikir panjang lagi, awak kapal "Ward" langsung mengejar kapal itu sambil terus memberondongnya dengan tembakan meriam. Sebuah kapal terbang Amerika yang diberi tahu tentang munculnya kapal misterius ini, juga telah turut menyerangnya. Peristiwa penuh ketegangan yang berlangsung hanya beberapa menit itu, kemudian dilaporkan kepada atasannya yang berada di Pearl Harbor. Para pejabat tinggi militer yang memperoleh laporan ini, bukan saja terkejut, tetapi juga merasa heran. Seperti halnya peristiwa "munculnya periskop", hadirnya kapal selam misterius

Melacak Sejarah Islam di Indonesia (2): Datang dari Gujarat, Parsi, Arab

Seperti halnya permasalahan mengenai kapan agama Islam masuk ke Indonesia, suatu permasalahan yang juga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan para ahli adalah mengenai negara asal Islam di Indonesia. Sebagian ahli menganggap bahwa Islam di Indonesia berasal dari Arab dan Parsi, dan sebagian lagi berpendapat bahwa Islam di Indonesia berasal dari India Selatan (terutama Gujarat dan Malabar). Satu-satunya pendapat yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Mesir dikemukakan oleh S. Keyzer (1859).  Pendapat pertama menyatakan bahwa agama Islam di Indonesia berasal dari Arab. Pendapat ini barangkali merupakan suatu opini yang akan dengan begitu saja terlontar, mengingat bahwa agama Islam lahir di tanah Arab dan langsung menarik garis hubungan antara Arab, agama Islam, dan Indonesia. "Orang Arab identik dengan agama Islam," begitulah anggapan kebanyakan orang. Artinya pula bahwa di mana saja orang Arab dijumpai, di situ pula agama Islam berada. Tak heran, bila

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengarh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran  (miskin), zein  (bagus), saw

SEI MAHAKAM (2 - HABIS) Keraton Kutai dan Pergulatan Mawas Diri

Cikal bakal Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dimulai sekitar abad ke-2 di Muara Kaman dengan raja pertama Kudungga, dilanjutkan putranya, Aswawarman, yang melahirkan tiga putra, yaitu Mulawarman (Kutai Kartanegara, Kaltim), Purnawarman (Taruma Negara, Jawa Barat), dan Adityawarman (Pagaruyung, Sumatera Barat). Oleh HARIADI SAPTONO P ada masa pra Islam tersebut, tercatat 25 raja memimpin Kerajaan Kutai Martadipura, dari Kudungga hingga Dermasetia. Berita tentang Kerajaan Kutai kemudian tidak terdengar. Selanjutnya, abad ke-13 berdiri Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama dengan raja pertama Adji Batara Agung Dewa Sakti hingga raja kelima Pangeran Tumenggung Baya-Baya, sebelum kemudian pada abad ke-16 Kerajaan Kutai Kartanegara memeluk Islam dan abad ke-17 Pangeran Sinum Pandji Mendapa menyerang serta menghancurkan Kerajaan Kutai Martadipura dan kedua kerajaan dipersatukan menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang. Pada 1945, keraton bergabung dengan Repub

Surosowan, Istana Banten yang Dua Kali Dibakar

N ama istana ini diambil dari nama Sultan Banten pertama yaitu Maulana Hasanuddin. Sultan yang naik tahta tahun 1552 ini bergelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan. Tercatat 21 sultan Banten bertahta dan tinggal di dalamnya. Tercatat banyak renovasi yang dilakukan para sultan terhadap istana ini. Tercatat dua kali dibumihanguskan. Ya, itulah Istana Surosowan. Istana kebanggaan Kesultanan Banten (berdiri tahun 1522 dan berakhir tahun 1820). Istana ini berdiri di atas tanah seluas 4 ha. Di sekelilingnya dibangun tembok kokoh dan parit yang bersambung dengan Sungai Cibanten. Dahulu, rakyat berkegiatan di alun-alun di muka istana. Pasar, kesenian rakyat, dan segala kegiatan digelar di alun-alun. Bahkan Sultan secara rutin menjumpai rakyatnya di pekarangan istana. DIBANGUN, DIBAKAR, DIBANGUN LAGI, DIBAKAR LAGI Istana Surosowan merupakan saksi kemegahan dan kehancuran Kesultanan Banten. Tercatat dua kali istana ini dibumihanguskan. Pembumihangusan yang pertama terjadi tahun 1680. Ketik

Ajaran Tasawuf pada Masjid Agung Demak

Oleh Wiwin Nurwinaya Peminat Sejarah dan Arsitektur Islam D asar-dasar ajaran tasawuf sudah ada sejak zaman prasejarah yang ditandai dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib, hal ini tercermin dari karya seni yang banyak berlatarkan religi, seperti halnya seni bangunan, bentuk menhir, punden berundak dan sebagainya. Dasar-dasar ajaran tersebut kemudian berkembang menjadi suatu konsepsi universal yang percaya terhadap kenyataan bahwa ruh manusia akan meninggalkan badan menuju ke alam makrokosmos. Dalam ajaran Islam, ajaran tasawuf merupakan suatu praktik sikap ketauhidan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ajaran tasawuf ini dianut oleh kaum sufi  yaitu sekelompok umat yang selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi dan hidupnya senantiasa diisi dengan ibadah semata. Sufi berasal dari kata safa  yang berarti kemurnian, hal ini mengandung pengertian bahwa seorang sufi adalah orang yang mur