Langsung ke konten utama

MONUMEN PERS: Jejak TAS, Sang Pemula

Sosok Tirto Adhi Soerjo yang dikenal dengan inisial TAS ada di antara 11 patung tokoh pers nasional yang ditampilkan di bagian depan ruang aula Monumen Pers Nasional di Kota Solo, Jawa Tengah.

Sebagian karya Tirto yang diterbitkan di Medan Prijaji juga bisa diakses di ruang arsip digital di monumen ini. Tulisan TAS di Medan Prijaji yang bernas dan kerap mengkritik penindasan bisa dibaca kembali, lebih dari 100 tahun setelah tulisan itu diterbitkan pertama kali.

Misalnya, dalam tulisan berjudul "Multatuli" yang dimuat di Medan Prijaji 26 Februari 1910, Tirto menjadikan buku Max Havelaar yang ditulis Multatuli mengenai penindasan di era tanam paksa di Banten sebagai bahan untuk mengkritik penindasan oleh priayi yang masih bisa ditemukan, puluhan tahun setelah buku Multatuli terbit. "Priayi kecil jadi makanannya priayi besar. Priayi kecil tidak bisa makan orang kecil sebab juga orang kecil dijadikan makanan priayi besar," tulis Tirto.

Tirto dan Medan Prijaji memberi sumbangsih besar dengan membangun dikotomi di ruang kepublikan di masa itu, yakni antara bangsa "terjajah" dan "penjajahnya". Melalui pemikirannya, TAS dan Medan Prijaji ikut menanam benih cara pandang berbangsa kendati belum menggunakan istilah "Indonesia".

"Dengan bekerja sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa dan mengubah mereka yang masih tidur nyenyak agar mulai menyadari kewajibannya," ujar Tirto seperti dikutip Andi Suwirta dalam Revolusi Indonesia dalam News and Views: Sebuah Antologi Sejarah (2015).

Jebolah sekolah dokter STOVIA itu meninggal pada usia muda, belum mencapai 40 tahun. Oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, sosok Tirto, selain dikisahkannya dalam buku Sang Pemula, juga dijadikan inspirasi atas sosok Minke, tokoh utama dalam buku Tetralogi Buru, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Wartawan perjuangan

Selain jejak Tirto dan Medan Prijaji, di Monumen Pers Nasional juga bisa diakses narasi-narasi yang mencuat di surat kabar dari masa awal abad ke-20. Majalah politik Fikiran Rakjat yang didirikan Soekarno pada 1930-an juga menjadi salah satu koleksi monumen ini, termasuk Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu. Surat kabar ini jadi media yang pertama memuat syair lagu "Indonesia Raya" pada November 1928.

Ada sekitar 500 judul koran dan majalah yang menjadi koleksi Monumen Pers Nasional. Koleksi tertua yang tersimpan di monumen ini ialah Sumatra-Courant edisi tahun 1872. Surat kabar berbahasa Belanda itu diterbitkan di Sumatera Barat.

Monumen Pers Nasional ini juga jadi saksi perjalanan pers di Indonesia. Dahulu, gedung monumen ini dikenal dengan nama Societeit Mangkunegaran, yang didirikan Mangkunegara VII pada 1918. Gedung yang awalnya jadi tempat pertemuan kerabat Mangkunegara ini lalu jadi lokasi Kongres Wartawan Seluruh Jawa, 9-10 Februari 1946. Lebih dari 100 wartawan hadir di kongres itu. "Ada wartawan dari Makassar dan Pulau Sumatera yang turut hadir dalam kongres. Di tengah blokade Belanda, mereka berjuang untuk hadir di Solo, sebagian dengan menyamar," kata Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo.

Dalam kongres itu diputuskan membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kongres juga membentuk komisi untuk merumuskan berbagai urusan persuratkabaran nasional serta langkah menyatukan pers nasional guna mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional.

Pengajar sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Heri Priyatmoko, menuturkan, kongres itu menjadi titik tolak media dijadikan wadah untuk "meledakkan" nasionalisme. Saat itu, wartawan juga berperan melawan informasi pelintiran, informasi palsu atau hoaks yang dilancarkan Belanda untuk memecah belah masyarakat ataupun menurunkan semangat para pejuang.

Masihkah semangat para wartawan ini dipertahankan di era banjir informasi dan disinformasi di ruang digital? (GAL/REK)



Sumber: Kompas, 27 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...