Langsung ke konten utama

Menggali Inklusi dari Nama Indonesia

Para pemuda pada awal abad ke-20 memilih kata Indonesia untuk mengonstruksi sebuah identitas baru yang membawa semangat pembebasan. Lewat nama Indonesia juga dibangun gagasan atas sebuah bangsa yang inklusif, tidak ada satu komponen masyarakat yang menjadi "tuan rumah", lalu meninggalkan komponen lain sebagai "penumpang" dalam kehidupan berbangsa.

Perhimpunan Indonesia, organisasi pemuda Indonesia yang bersekolah di Belanda yang awalnya bernama Indische Vereeniging, menggunakan kata Indonesia dalam arti politik untuk pertama kali pada 1922. Kata Indonesia pun berkembang pemaknaannya sehingga menjadi tonggak pergerakan para pemuda untuk meraih kemerdekaan sebagai sebuah bangsa.

"Penggunaan kata Indonesia yang dipakai Perhimpunan Indonesia (PI) dimaksudkan untuk menanamkan gagasan Indonesia merdeka dan memopulerkan nama Indonesia dalam tujuan mencapai kemerdekaan," ujar Meutia Hatta, putri Bung Hatta.

Munculnya nama Indonesia tidak tiba-tiba. Etnologis asal Inggris, George Windsor Earl, menggunakan kata "Indunesians" untuk menyebut penduduk yang bermukim di gugusan Kepulauan Hindia. Selanjutnya, James Richardson Logan dengan merujuk pada temuan Earl memakai kata "Indonesia" untuk menyebut gugusan Kepulauan Hindia yang saat itu dijajah Belanda. Hal ini muncul dalam tulisan Logan, "The Ethnology of The Indian Archipelago" di Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia pada 1850. Asal kata Indonesia sendiri diambilnya dari bahasa Yunani, yaitu indos yang berarti 'Hindia' dan nesos yang berarti 'kepulauan'.

Sebelum akhirnya kata Indonesia digaungkan dalam pemaknaan politik oleh PI, Suwardi Suryaningrat telah memakainya untuk nama kantor berita di Den Haag, Belanda, pada 1913, yaitu Indonesische Persbureau. Kantor berita ini juga turut menyebarkan propaganda dan semangat perjuangan dari PI.

"Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik, karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia Belanda, melainkan kemerdekaan 'Indonesia' dari Indonesia (Indonesisch Indonesië). Mustahil negara Indonesia merdeka yang akan datang disebut 'Hindia Belanda'. Juga tidak India saja karena akan dikacaukan dengan 'India' yang lain, yaitu nama resmi dari 'India Inggeris' sekarang," tulis Mohammad Hatta dalam artikel berjudul "Tentang Nama Indonesia" dalam De Socialist Nomor 10 Tahun 1928.

Setelah penggunaan kata Indonesia oleh PI, perubahan nama sejumlah organisasi dengan memakai kata Indonesia terjadi. Pada 1924, Perserikatan Komunis di Hindia yang merupakan pecahan dari Sarekat Islam berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Di tahun yang sama, majalah Hindia Poetra milik Perhimpunan Indonesia pun terbit dengan nama Indonesia Merdeka.

Bung Hatta, tutur Meutia, pernah menyanggah klaim PKI yang menyatakan sebagai organisasi politik pertama yang menggunakan nama Indonesia. "Bung Hatta menegaskan partai komunis menggunakan nama Indonesia baru pada tahun 1924 atau 1925, sedangkan PI menggunakannya tahun 1922," katanya.

Pada 1927, berdiri perkumpulan baru dengan kata Indonesia, yakni Perserikatan Nasional Indonesia yang menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Di tahun yang sama, Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang berafiliasi dengan PNI juga terbentuk di sebuah rumah di Gang Kenari II, Jakarta. Rumah ini milik Mohammad Hoesni Thamrin yang juga ikut mendirikan PPPKI.

Selanjutnya, rumah yang disebut Gedung Permufakatan Indonesia itu dihibahkan Thamrin untuk gerakan kepemudaan hingga menggalang upaya untuk kemerdekaan. Pada 1929, rumah ini didatangi banyak pemuda dari sejumlah daerah yang ikut Kongres PNI II, ketika lagu "Indonesia Raya" diperdengarkan lagi.

Bentuk perlawanan

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Rahayu Surtiati Hidayat menyampaikan, kata Indonesia ditinjau dari sosiolinguistik masuk dalam laras bahasa politik, sesuai dengan konteks yang melatarbelakanginya saat itu. Keinginan untuk merdeka dan menunjukkan identitas sebagai bangsa membuat nama Indonesia tidak hanya sebagai penanda geografis. Kata Indonesia jadi bentuk perlawanan terhadap Belanda yang kala itu menyebut gugusan kepulauan Nusantara dengan Hindia Belanda.

Apalagi pada 1918, ahli hukum adat Cornelis van Vollenhoven memopulerkan istilah Indonesier untuk menyebut penduduk yang tinggal di Indonesia sebagai pengganti istilah Inlander yang bermakna peyoratif. Meski Vollenhoven tidak sepakat jika lalu Indonesia jadi identitas sebuah bangsa, nama itu tetap dipakai.

Rahayu menuturkan, nama Nusantara bisa saja digunakan karena lebih dulu dicetuskan untuk menyebut Indonesia saat itu. Namun, dampaknya akan berbeda karena Nusantara tidak secara spesifik menunjukkan aspek geografis. Sementara Indo atau Indu yang artinya Hindia ini merujuk ke posisi yang dekat dengan India, tetapi berbeda dengan India. "Lalu masuk dalam teks politik, jelas nama Indonesia jadi penting. Ini karena ada identitas di dalamnya yang lalu melahirkan pengakuan, baik sebagai bangsa dan negara maupun semangat untuk bersatu," ujarnya.

Sebelum entitas bernama Indonesia lahir, setiap daerah punya sebutan dengan perkumpulan pemuda yang penamaannya sesuai asal tempat mereka bermukim. Di antaranya Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Jong Minahasa. Dari para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Belanda, mereka "tertular" rasa nasionalisme, semangat bersatu, dan bayangan untuk merdeka dengan jati diri sebagai satu bangsa, yakni Indonesia. 

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, pun menyebut kata Indonesia sebagai sebuah imajinasi atau aksioma politik yang mampu menaungi segalanya. Lewat kata Indonesia sebagai bangsa, etnis yang beragam disatukan, tanpa dilebur jadi satu sehingga unsur kebudayaan yang dimiliki setiap daerah tetap terpelihara.

"Kekokohan Indonesia sebagai suatu komunitas politik itu ada pada keterbukaan imajinasinya yang terus berevolusi. Seperti pada 1922 dan 1928 yang cukup hebat karena transformasi dari etnis jadi bangsa saat itu terjadi tanpa retakan. Betul-betul niat untuk bersatu," kata Robet.

Kata Indonesia sendiri disebut Robet sebagai istilah yang kosmopolitan. Pengalaman para tokoh bangsa yang mengenyam pendidikan di luar Indonesia saat itu dan kesadaran mengenai adanya silang budaya membuka wawasan yang memengaruhi pola perjuangan menghadapi Belanda. Muaranya, penyepakatan nama Indonesia, yang notabene merupakan serapan dari bahasa asing, sebagai sebuah identitas dan gagasan awal suatu bangsa.

"Dari asal-usul katanya, Hatta tahu itu asing, tapi dia ambil saja dan tak ada masalah. Begitu pula kaum muda waktu itu, tidak ada masalah. Dari sini, terlihat kesadaran awalnya sudah sangat kosmopolitan," tutur Robet.

Terkait hal itu, sejarawan Universitas Gadjah Mada, Budiawan, mengingatkan generasi masa kini perlu memahami bahwa kata dan ide tentang "Indonesia" itu sesuatu yang dipinjam dari istilah asing, bukan warisan nenek moyang. Oleh karena itu, dia menilai tidak tepat jika ada yang menggunakan istilah "Indonesia asli" dalam kehidupan kebangsaan.

"Karena frasa itu contradictio in terminis (berlawanan makna). Perlu juga diingat bahwa ide tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa, sebagai komunitas yang dibayangkan, butuh waktu panjang dan melibatkan berbagai golongan dan aliran ideologi. Artinya, bangsa ini tidak boleh ada yang mengklaim sebagai yang paling atau satu-satunya berjasa mewujudkanya," katanya. 

Nilai republik

Sementara nilai yang berkembang seiring dengan munculnya gagasan tentang Indonesia pada saat itu adalah nilai republik yang berarti menempatkan kepentingan publik sebagai tujuan utama. Kepentingan yang muncul di era perjuangan tersebut adalah melawan penjajah dan menghapus feodalisme.

Nilai republik ini memang tepat dijadikan pilihan untuk menjamin kelanggengan Indonesia hingga kini. Di dalam republik, bibit egalitarian yang berkembang dalam banyak wujud, termasuk toleransi, bertumbuh. Namun, pada perjalanannya saat ini, republik hanya diterima sebagai sistem pemerintahan saja, tanpa pengejawantahan makna dan nilai yang jadi esensinya.

Indonesia sebagai imajinasi yang semestinya terus berevolusi secara terbuka dengan mengusung nilai republik tersebut terlupakan ketika Orde Baru berkuasa. Penyeragaman dan definisi nasionalisme yang ditetapkan Orde Baru membuat upaya merawat imajinasi itu terbentur pada nasionalisme sempit dan sekadar simbolis.

"Kita melupakan Indonesia sebagai imajinasi, melupakan Indonesia sebagai republik. Kalaupun mencoba diingatkan karena miskin ide sehingga jatuh lagi pada nasionalisme sempit yang melihat negara sebagai totalitarian. Padahal, Indonesia dikonstruksi sebagai aksioma imajinatif yang bebas berkembang. Orang butuh terdidik untuk memahaminya karena Indonesia dikonstruksi oleh kaum terdidik," kata Robet.

Korupsi dan oligarki yang kini berkelindan di Indonesia jadi contoh nyata bahwa nilai res publica semakin terbenam. Upaya pemisahan dari hal yang privat dan yang publik pada masa perjuangan melawan Belanda kini meluntur karena politik yang semestinya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat justru disalahgunakan untuk menumpuk kemakmuran pribadi, dinasti, dan kelompoknya, seperti terjadi di era kolonial.

Tidak mengherankan, Indonesia kini kerap kali dikenal di kancah dunia melalui narasi "negatif", misalnya tingginya angka korupsi, persoalan intoleransi, pelanggaran hak asasi manusia yang tidak pernah tuntas, atau dikenal karena bencana alam.

Kondisi ini jauh berbeda dengan masa pergerakan pada awal abad 20-an. Meski belum sepenuhnya merdeka, para tokoh bangsa mampu membawa Indonesia dikenal secara positif. Pada 1926, misalnya, Hatta berhasil meyakinkan Kongres Demokrasi Internasional di Perancis agar menggunakan kata Indonesia, bukan lagi Hindia Belanda, untuk merujuk pada bangsa Indonesia. Bahkan, propaganda politiknya bergema lintas benua.

Indonesia, hasil imajinasi yang inklusif dan kosmopolit itu masih tetap hidup, kendati menghadapi tantangan. Generasi muda yang penuh kreativitas dan ekspresi positif  bisa terus mengisi imaji atas nama Indonesia, tentu melalui cara kekinian, tanpa melupakan akar sejarahnya. 

(RIANA A IBRAHIM/ANTONY LEE)

Perjalanan Nama Indonesia

1850
Nama Indonesia muncul dalam "The Ethnology of The Indian Archipelago" di Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia (James Richardson Logan).

1884
Nama Indonesia muncul dalam Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels (Adolf Bastian).

1913
Nama Indonesia digunakan Suwardi Suryaningrat sebagai nama biro pers, yakni "Indonesische Persbureau".

1918
Istilah Indonesier menggantikan Inlander untuk menyebut penduduk Indonesia, dipopulerkan Cornelis van Vollenhoven.

1922
Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia.

1924
Majalah Hindia Putera berubah menjadi majalah Indonesia Merdeka.

1924
Perserikatan Komunis di Hindia berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

1926
Surat kabar Sin Po memopulerkan kata Indonesia di kalangan masyarakat menggantikan istilah Nederlandsch Indie.

1927
Berdiri Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia.

1928
Indonesia disepakati sebagai nama suatu bangsa dalam Sumpah Pemuda.

Sumber: Buku The Idea of Indonesia karya Robert Elson dan sumber lainnya/IAN



Sumber: Kompas, 29 Oktober 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Arek-arek Soerobojo Hadang Sekutu

Mengungkap pertempuran bersejarah 10 Nopember 1945 sebagai mata rantai sejarah kemerdekaan Indonesia, pada hakekatnya peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri. Ia merupakan titik klimaks dari rentetan insiden, peristiwa dan proses sejarah kebangkitan rakyat Jawa Timur untuk tetap melawan penjajah yang ingin mencoba mencengkeramkan kembali kukunya di wilayah Indonesia merdeka. Pertempuran 10 Nopember 1945--tidak saja merupakan sikap spontan rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur tetapi juga merupakan sikap tak mengenal menyerah untuk mempertahankan Ibu Pertiwi dari nafsu kolonialis, betapapun mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih sempurna. Rentetan sejarah yang sudah mulai membakar suasana, sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Proklamator Indonesia: Soekarno dan Hatta tgl 17 Agustus 1945. Rakyat Jawa Timur yang militan berusaha membangun daerahnya di bawah Gubernur I-nya: RMTA Soeryo. Pemboman Kota Hiroshima dan Nagasaki menjadikan bala tentara Jepang harus bertekuk lutut pada ...

Misteri Jangkar Raksasa Laksamana Cheng Ho: Kabut Sejarah di Perairan Cirebon

TINGGINYA menjulang sekitar 4,5 sampai 5 meter. Bentuknya sebagaimana jangkar sebuah kapal, terbuat dari besi baja yang padat dan kokoh. Bagian tengahnya lurus serta di bawahnya berupa busur dengan kedua ujung yang lancip. J ANGKAR kapal berukuran besar itu sampai kini diletakkan di ruangan sebelah utara dari balairung utama Vihara Dewi Welas Asih. Dengan berat yang mencapai lebih dari tiga ton, benda bersejarah itu disimpan dalam posisi berdiri dan disandarkan di tembok pembatas serambi utara dengan balairung utama yang menjadi pusat pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, dewi kasih sayang.  Tempat peribadatan warga keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha ini terletak di areal kota tua di pesisir utara Kota Cirebon. Bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya sejak 2011 ini didirikan pada awal pertengahan abad ke-16, tepatnya tahun 1559 Masehi. Letaknya berada di pesisir pantai, persis bersebelahan dengan Pelabuhan Kota Cirebon. Kelenteng ini berada di antara gedung-gedung tua m...

Hari Pahlawan: MENGENANG 10 NOPEMBER 1945

Majalah Inggeris "Army Quarterly" yang terbit pada tanggal 30 Januari 1948 telah memuat tulisan seorang Mayor Inggeris bernama R. B. Houston dari kesatuan "10 th Gurkha Raffles", yang ikut serta dalam pertempuran di Indonesia sekitar tahun 1945/1946. Selain tentang bentrokan senjata antara kita dengan pihak Tentara Inggeris, Jepang dan Belanda di sekitar kota Jakarta, di Semarang, Ambarawa, Magelang dan lain-lain lagi. Maka Mayor R. B. Houston menulis juga tentang pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di Surabaya. Perlu kita ingatkan kembali, maka perlu dikemukakan di sini, bahwa telah terjadi dua kali pertempuran antara Tentara Inggeris dan Rakyat Surabaya. Yang pertama selama 3 malam dan dua hari, yaitu kurang lebih 60 jam lamanya dimulai pada tanggal 28 Oktober 1945 sore, dan dihentikan pada tanggal 30 Oktober 1945 jauh di tengah malam. Dan yang kedua dimulai pada tanggal 10 Nopember 1945 pagi sampai permulaan bulan Desember 1945, jadi lebih dari 21 har...