Langsung ke konten utama

Janda Menteri "Gerilya" Soepeno Terus Berjuang

Meski usianya kini sudah 72 tahun, Nyonya Tien Soepeno, istri pahlawan nasional Soepeno, masih tetap beredar di lingkungan organisasi sosial politik, kemasyarakatan, dan dunia pendidikan di Jawa Tengah. Selain masih aktif sebagai dosen Universitas Semarang, isteri mantan Menteri Pembangunan dan Pemuda ini juga memegang Ketua Yayasan Gedung Wanita Semarang dan Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBH UWK) di Semarang. Di kancah politik, dia pernah dipercaya DPD Golkar Jateng sebagai anggota komisi A (Polkam dan perundang-undangan) dan komisi B (Anggran dan Perusda) DPRD I Jawa Tengah 1982-1987.

Selain itu, masih banyak kegiatannya di ormas, seperti di Perwari, Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Himpunan Wanita Karya, Pekerja Perempuan, Yayasan Mardi Waluyo, dan sebagai Kabid Kemasyarakatan Gerakan Pramuka Gudep IX Kwarda Jateng. Di organisasi yang terakhir ini, ia bersama 203 orang wakil dari Indonesia mengikuti jambore internasional yang diikuti 166 negara di Negeri Belanda, Agustus 1995 lalu.

"Saya tidak bisa meninggalkan kegiatan-kegiatan itu, seolah-olah digondeli ati saya sendiri untuk tidak bisa jauh dengan masyarakat. Inilah persembahan paling baik utnuk mereka yang membutuhkan, menjelang akhir hidup ini," ujarnya kepada Suara Karya baru-baru ini, di Semarang. Nenek empat cucu yang masih enerjik itu mempunyai komitmen, tetap akanmencintai segala sesuatu yang sudah digelutinya.



5 Tahun Mendampingi

Kamsitin Wauyatul Chakiki Danoesiswojo yang kemudian akrab dipanggil Tien, lahir di Banjarnegara, 19 Juni 1923. Ia mengenal pemuda Soepeno (27 tahun) ketika berusia 20 tahun. Ketika itu pamannya mengenalkan pemuda yang sering bertandang di rumahnya. Soepeno, nama pemuda asal Tegal itu, sering mengantar Tien muda melihat-lihat Si Tinjau Laut (kini Ancol), mengunjungi Istana Bogor, taman rekreasi, dan lain-lain. Dari situ, cinta mulai bersemi, sampai akhirnya dilanjutkan ke pelaminan 29 Agustus 1943, pada saat Indonesia diduduki balatentara Jepang.

Soepeno, lulusan Rechts Hoge School (RHS - Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta, merupakan seorang aktivis organisasi. Sewaktu mahasiswa, ia memasuki organisasi nasionalis Indonesia Muda. Ia juga ikut membidani lahirnya Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) dan Badan Permusyawaratan Pelajar-pelajar Indonesia (Baperppi). Ia sering menelorkan gagasan politik segar yang mempunyai andil besar dalam penyelenggaraan negara, ketika masih duduk sebagai Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Tidak heran jika rekan-rekan politiknya waktu itu seperti Mr Wilopo, Syahrir, Subadio Sastrosatomo, dan lain-lain menjulukinya sebagai pejuang politik.

Tampaknya dua insan ini sepaham dalam sikap kebangsaannya, sehingga ketika Tuhan mempersatukan mereka, darah perjuangan dan kesetiaan kepada negara seakan tidak pernah hilang. Sebagai isteri pejabat, Tien Soepeno dituntut mendampingi di setiap kegiatan kenegaraan. Namun tidak jarang ia harus ditinggal karena suami harus menunaikan tugas negara. Apalagi, situasi dan kondisi republik waktu itu sedang tidak menentu. Meski kemerdekaan telah diraih, peperangan masih berkecamuk di mana-mana, karena Belanda masih belum rela melepas Indonesia. Menteri Soepeno harus ikut bergerilya membangkitkan semangat perlawanan rakyat melawan Belanda. Hingga akhirnya ia gugur ditembus peluru Belanda, di Desa Ganter, Gunung Wilis.

Sebagaimana dituturkan Tien Soepeno, suaminya meninggalkan keluarga di Jalan Kenanga, Yogyakarta, 17 Desember 1948. Ia hendak memulai peninjauan ke daerah-daerah Jateng bagian Timus dan Jatim. Kepada istri dan putrinya yang baru berumur 4 tahun, ia sempat foto bersama. Sebelum berangkat ia berpesan "Jangan tinggalkan tempat, kalau tidak penting". Tidak disangka, itulah foto dan pesan terakhir almarhum Soepeno.

Dua hari kemudian, Belanda melancarkan aksi militer II dengan menyerbu Yogyakarta. Jatuhnya Yogyakarta, membuat tugas Soepeno berubah. Sebagai anggota pemerintah pusat yang masih bebas, ia menggerakkan terus roda pemerintahan di daerah yang belum diduduki tentara Belanda dan mengobarkan semangat perlawanan rakyat. "Menteri Gerilya" itu berkelana di daerah pegunungan Jawa Timur, menggerakkan rakyat berjuang melawan Belanda hingga maut menjemput 24 Februari 1949 atau dua bulan tujuh hari sejak meninggalkan Kota Yogya. Ia ditembak sehabis mandi di pancuran di Desa Ganter, Nganjuk. Serdadu Belanda memaksa dia mengaku identitas dirinya, namun Soepeno tidak berterus terang, demi melindungi rombongan yang mengikutinya. Serdadu berkulit hitam itu pun kesal dan menembak kepalanya.

Ny Tien Soepeno dengan tabah menerima kabar duka tersebut. Belum tuntas mendampingi tugas-tugas suami, harus berpisah untuk selama-lamanya. Ia pun bertekad meneruskan perjuangan Soepeno menurut kemampuannya. Bersama putri semata wayang, Judianingsing, mereka pindah ke Semarang. Ia tidak menggantungkan tunjangan yang diterima almarhum suaminya. Rumahnya sangat sederhana, di Wonodri, Semarang. Ia bekerja sambil kuliah di Fakultas Hukum Undp, hingga bersama-sama putrinya yang kuliah di Fakultas Kedokteran Undip, diwisuda 1973.

Satu hal yang terus dikenang Ny Tien adalah komentar rekan-rekan seperjuangan Soepeno. "Soepeno itu orang loyal, setia kepada kawan-kawan seperjuangannya. Ia orang berdedikasi penuh kepada perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara. Ia pekerja keras dan manusia berkarakter."

(Sadono Pr)



Sumber: Suara Karya, 10 November 1995



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan