Langsung ke konten utama

Sudah Dua Kali Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional: Mochamad Toha, Pemuda yang Meledakkan Gudang Amunisi Belanda

Sisa gerimis sore itu masih tampak di pelataran rumah pengungsian di daerah Bungbulangan, Kabupaten Garut, Jabar. Sebelumnya hujan lebat turun mengiringi kedatangan pemuda berusia 18 tahun memasuki rumah berdinding anyaman bambu itu.

Mochamad Toha di rumah tempat keluarganya mengungsi segera mengganti baju basahnya. Tak ada kata sapaan dari mulutnya. Hanya matanya menyorot tajam ke sekeliling rumah.

Ibundanya Ny Narijah hanya menatap kangen kepada anak sulungnya. Suasana ini segera pecah setelah adik kandung semata wayangnya menyapa manja. "Aa Toha tiris (dingin)?" Moch. Toha seolah tak mendengar sapaan Djuariah adiknya, malah dia merajuk kepada ibundanya. "Mak, orang yang berjuang demi kehormatan bangsa akan mendapat jalan dan lindungan Allah. Malam ini saya ingin tidur bersama Mak dan adik Djudju, boleh kan?"

Inilah barangkali adegan akhir pejuang Moch Toha dengan keluarganya menjelang dia berjibaku meledakkan gudang amunisi Belanda di Dayeuhkolot Kabupaten Bandung pada 11 Juli 1946. Adegan ini sangat melekat dalam ingatan adik kandungnya, Ny Djuju Djuariah (55), yang kini tinggal di Jalan Cikawao Dalam, Bandung.

Satu minggu setelah kedatangan Toha di tempat pengungsian itu terdengar kabar bahwa anak pasangan Ny Narijah dan Ganda gugur sebagai syuhada setelah meledakkan gudang amunisi Belanda di Dayeuhkolot. "Sebelum kabar itu didengar Ibu, Ibu sempat mendapat firasat. Saat almarhum menjahit baju seorang pejuang, tiba-tiba dia menyebut nama Moch Toha keras sekali," papar Ny Djuariah kepada Suara Karya.

Serangan Bunuh Diri

Mochamad Toha sebelum dia bergabung dengan badan perjuangan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), sempat bekerja sebagai montir di bengkel "Motoran" di daerah Cikudapateuh milik seorang Jepang. Layaknya pemuda lain di jaman revolusi fisik, Mochamad Toha tak bisa tinggal diam. Dia memanggul senjata ikut bertempur di garis depan.

Wadah yang dipilihnya untuk membela kehormatan bangsanya adalah BBRI yang dipimpin Anwar Sutan Pamuntjak. Toha bersama pejuang BBRI di antaranya Rachmat Sulaeman (kini mayor Purnawirawan) bermarkas di rumah milik Sukandi di Jalan Suniaraja (Banceuy). Tim Moch Toha dikomandani oleh Ben Alamsyah.

Tanggal 10 Juli 1946, Toha mendapat perintah dari Komandan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) Sutoko yang berkedudukan di Baleendah, Ciparay, Kabupaten Bandung untuk menghancurkan pertahanan Belanda di Dayeuhkolot. Pukul 21.45 tanggal 10 Juli 1946 itu, Moch Toha bersama 4 anggota BBRI yaitu Jojon, Suntana, Uju, dan Muin meninggalkan markasnya di Banceuy untuk bergabung dengan pejuang lainnya dari badan perjuangan Pangeran Papak, yaitu Ahmad, Memed, Wakhri, sedangkan dari Hizbullah adalah Moch Ramdhan, Warta, dan Idas.

Mereka baru bergabung di garis depan pertahanan Dayeuhkolot di seberang selatan Sungai Citarum sekitar pukul 22.30. Sambil melepas lelah mereka pun mengatur siasat untuk menghancurkan pertahanan Belanda di Dayeuhkolot, seusai perintah Komandan MPPP Sutoko. Sasaran penghancuran itu adalah Dengklok, gudang amunisi Belanda yang bisa memasok untuk kepentingan 4 batalion lebih. Toha dan pejuang lainnya pukul 00.30 secara berpencar menyeberangi Sungai Citarum.

Penyeberangan dilakukan tanpa hambatan berarti. Serdadu Belanda yang menjaga gudang amunisi itu tak bereaksi karena terlena oleh dinginnya udara dini hari itu sehingga Mochamad Toha dan kawan-kawan merayap dari tebing Sungai Citarum hingga mencapai hanya beberapa meter dari kubu pertahanan Belanda. Namun salah seorang dari mereka yang hingga kini tak diketahui, menyentuh ranjau yang dipasang pihak Belanda. Ranjau pun meledak. Pasukan Belanda segera memberondong para pejuang. Dalam kontak senjata Kamis dini hari 10 Juli itu, Mochamad Ramdhan pejuang dari Hizbullah gugur, sedangkan 10 lainnya luka termasuk Mochamad Toha. Jojon, Suntana, Uju, Muin, Akhmad, Memed, Wakhri, Warta, Idas memutuskan untuk kembali ke seberang selatan Citarum ke daerah pertahanan MPPP, sedangkan Moch Toha bersikeras untuk terus menyusup ke sarang lawan.

Toha bertekad menghancurkan musuh. Dia sudah bertekad untuk berjibaku melakukan serangan bunuh diri. Tekad bulatnya itu ditandai dengan dititipkannya jam tangan dan baju hitam yang dikenakan waktu itu ke rekannya seperjuangan yang akan kembali ke markas pertahanan.

Tak diketahui persis apa yang dilakukan Toha setelah kontak senjata Kamis dini hari itu. Yang jelas dia menyusup ke wilayah kubu Belanda, dan Jumat sekitar pukul 12.30 ledakan hebat yang disertai kepulan asap pekat menggetarkan wilayah Bandung, bahkan suaranya terdengar hingga ke wilayah Garut. "Saat itulah Ibu Nariah menjerit dan menyebut nama Mochamad Toha, keras sekali sampai benang dan jarumnya jatuh," papar adik kandung Toha Ny Djuariah, seraya menyebutkan seminggu setelah itu keluarga Ganda, Ny Narijah mendapat kabar anak sulungnya gugur sebagai Satria. Peristiwa ini membuktikan bahwa tekad seorang Mochamad Toha untuk menghancurkan gudang amunisi musuh sesuai perintah Komandan MPPP Sutoko dan misi yang diembannya selesai sudah. Moch Toha gugur sebagai satria dalam usia yang masih muda, baru 18 tahun.

Kapan Pahlawan Nasional?

Sejak itu Toha disebut-sebut sebagai pahlawan Bandung Selatan. Kepahlawanan Mochamad Toha tampaknya mengusik sejumlah pejabat berwenang di Jabar untuk mengusulkannya agar Toha dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Namun upaya itu meski sudah dua kali dilakukan tak membuahkan hasil.

Boleh jadi pengajuan yang dilakukan pihak terkait di Jabar ini tak membuahkan hasil akibat kurang lengkapnya berkas pengajuan yang dikirimkan ke pusat. Bahkan menurut keterangan dari Kanwil Depsos Jabar kronologis kepejuangan/kepahlawanan Toha itu tak lengkap. Ini disebutkan karena Badan Pembinaan Pahlawan Daerah (BPPD) yang menanganinya kurang tuntas dalam melakukan kerja.

Menyadari ada kekurangsempurnaan dalam melaksanakan kerjanya, BPPD Jabar akhirnya melakukan penyegaran kepengurusan. Pengurus baru yang terdiri dari unsur Pemda Tk I dan II di Jabar, Kanwil/Dinas Sosial, namun kepengurusan yang baru pun belum bekerja efektif. Pasalnya, menurut keterangan di lingkungan Kanwil Depsos Jabar, para pengurusnya belum dilantik, meski SK Gubernur Jabar tentang pembentukan lembaga ini sudah turun sejak Oktober tahun lalu. Kendati demikian, BPPD Jabar kini tengah memproses kembali ajuan pengukuhan Mochamad Toha sebagai pahlawan nasional ke tingkat pusat untuk yang ketiga kalinya.

Kabar ini membuat gembira adik kandung Toha, Ny Djuariah yang kini menjanda setelah ditinggal suaminya dua tahun lalu. "Mendiang ibu Ny Narijah mengharapkan sekali jika Kang Toha menjadi pahlawan nasional, begitu pun saya," ungkapnya. Meski belum diakui sebagai pahlawan nasional, namun tugu peringatan kepahlawanan Toha dan kawan-kawan sudah dibangun sejak 17 Agustus 1957 di tempat peristiwa itu terjadi, atau di dekat kompleks Yon Zipur TNI AD di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Bahkan menurut Djuariah pihak keluarga Toha mendapat santunan berupa uang dari Pemda Jabar. "Waktu Pak Aang Kunaefi gubernurnya, kami mendapat Rp 200 ribu, lantas Pak Yogie sama sebesar itu. Waktu ibu masih hidup uang itu diterima ibu, kini diterima saya. Dari Gubernur Nuriana sudah dua kali mendapat santunan Rp 1 juta," katanya seraya menambahkan, nilai uang bukan masalah, tetapi yang kini diharapkan keluarga Toha terutama adik kandung yang hanya seorang itu berikut keponakan Toha yang berjumlah 8 orang, adalah pengukuhan Mochamad Toha sebagai pahlawan nasional.

Boleh jadi harapan itu bukan hanya ada di benak keluarga Mochamad Toha. Tampaknya warga Jawa Barat pun berharap Toha ditetapkan pahlawan nasional. Sebab, bukanlah cerita kepahlawanan Toha itu sudah tercantum dalam buku-buku pelajaran sejarah tingkat sekolah dasar sejak puluhan tahun lalu? (Adinar/Alaziz)



Sumber: Suara Karya, 8 November 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Ini 44 Tahun Lalu (1) Mereka Tidak Rela Kemerdekaan Lepas Kembali

Pengantar Hari ini, 11 Desember 1990, masyarakat Sulawesi Selatan kembali memperingati peristiwa heroik 44 tahun lalu, di mana segenap lapisan masyarakat ketika itu bahu-membahu berjuang mempertahankan Kemerdekaan yang setahun sebelumnya berhasil diraih bangsa Indonesia. Dalam peristiwa itu ribuan bahkan puluhan ribu orang jadi korban aksi pembunuhan massal ( massacre ) yang dilakukan Pasukan Merah Westerling. Berikut Koresponden Suara Karya   Muhamad Ridwan  mencoba mengungkap kembali peristiwa tersebut dalam dua tulisan, yang diturunkan hari ini dan besok. Selamat mengikuti. T egaknya tonggak satu negara, Jumat 17 Agustus 1945, merupakan kenyataan yang diakui dunia internasional. Bendera kemerdekaan yang dikibarkan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang menelan pengorbanan jiwa dan harta rakyat yang tak terperikan. Lalu, tentara Australia (Sekutu) mendarat pada September 1945. Tujuannya untuk melucuti sisa pasukan Nippon. Namun di belakangnya mendongkel person...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

49 Tahun yang Lalu, Westerling Bantai Puluhan Ribu Rakyat Sulsel

S EPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.  Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling. Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sep...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Masjid Agung Al Azhar (1952) Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

M asjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H. Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberi nama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya. Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru. Imam besar pertama masjid itu adalah Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang lebih dikenal sebagai panggilan Buya Hamka. Ulama kondang berdarah Minangkabau, Hamka, itu pula yang mentradisikan akti...

PERISTIWA WESTERLING 23 JANUARI 1950 DI BANDUNG

Oleh : Djamal Marsudi Sejarah kekejaman Westerling sebetulnya sudah dimulai dari Sulawesi semenjak tahun 1945/1946, maka pada waktu Kahar Muzakar yang pada waktu itu menjadi orang Republiken, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, telah memberikan laporan bahwa korban yang jatuh akibat kekejaman yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 (empat puluh ribu jiwa manusia). Laporan tersebut di atas lalu diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam rangka upacara peringatan korban "WESTERLING" yang pertama kali pada tanggal 11 Desember 1949 di Yogyakarta, justru sedang dimulainya Konperensi Meja Bundar di Negeri Belanda. Berita "Kejutan" yang sangat "Mengejutkan" ini lalu menjadi gempar dan menarik perhatian dunia internasional. Maka sebagai tradisi pada setiap tahun tanggal 11 Desember, masyarakat Indonesia dan Sulawesi khususnya mengadakan peringatan "KORBAN 40.000 JIWA PERISTIWA WESTERLING" di Sulawesi Selatan. T...