Langsung ke konten utama

Perjuangan Pelajar Sekolah Guru

Oleh Maman Sumantri

TIDAK lama sesudah tersirat secara luas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, berkobarlah semangat juang para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga masyarakat lainnya di seluruh Indonesia. Mereka serempak bangkit berjuang bahu-membahu secara berkelompok dalam badan-badan perjuangan atau kelasykaran, dengan tekad mengisi dan menegakkan proklamasi kemerdekaan.

Kelompok badan perjuangan atau kelasykaran yang turut dalam perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan pada awal revolusi kemerdekaan di Kota Bandung dan sekitarnya, di antaranya Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Barisan Merah Putih, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Barisan Berani Mati, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Indonesia Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Lasykar Rakyat, Pasukan Istimewa, (PI), Lasykar Wanita Indonesia (Laswi), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). 

Para pelajar Sekolah Guru Laki-laki (Shihan Gakko) di asrama Jalan Tegallega Timur No. 17 Bandung, tidak mau ketinggalan. Mereka secara ikhlas meninggalkan bangku sekolah, karena merasa terpanggil untuk turut berjuang menegakkan proklamasi kemerdekaan bangsa. Mereka secara berkelompok menjadi Pasukan Pemuda Pelajar Tegallega, yang kemudian bergabung ke dalam BKR di bawah pimpinan Suhari yang bermarkas di Jalan Kepatihan, Bandung.

Para pelajar berumur 16-18 tahun yang tinggal di asrama sekolah guru itu, sebagai pelajar berjuang dengan penuh semangat mengatur strategi dan taktik perjuangan, secara sungguh-sungguh mempelajari ilmu kesenjataan (wapen kennis) sesuai tuntutan perjuangan bersenjata pada awal revolusi kemerdekaan 1945. 

Di dalam ruang belajar sekolah guru itu, mereka tidak lagi mendiskusikan ilmu guru atau rumus-rumus ilmu pasti alam, melainkan sibuk mempelajari berbagai jenis senjata api (pistol, senapan panjang, senapan mesin) yang digambar di papan tulis, kemudian latihan teori dan praktek bongkar pasang senjata api serta mempergunakannya dalam pertempuran dengan pihak musuh kemerdekaan.

Sesungguhnya, para pelajar itu sudah memiliki kemampuan dasar kemiliteran yang cukup memadai dengan disiplin tinggi, karena mereka pada masa pendudukan tentara Jepang hampir setiap hari melakukan latihan dasar kemiliteran (kyoren) di Shikan Gakko, ala tentara Jepang dengan memanggul senapan kayu (mokuju).

Kegiatan para pelajar itu, pada awal revolusi kemerdekaan praktis merupakan kegiatan sekolah kader (Kaderschool) Tegallega Bandung, tempat menggembleng para pemuda pelajar pejuang, yang dipimpin seorang guru yang tergolong muda, yaitu Oteng Soetisna (alm Prof. Dr. Oteng Soetisna, M. Sc., Guru Besar IKIP Bandung) dan Hidayat (Letjen TNI Purn). Mereka berjasa besar dalam proses pembentukan Pasukan Pemuda Pelajar Tegallega Bandung, antara lain dengan menyediakan tim pelatih bekas sersan KNIL dan sejumlah senjata api otomatis yang sangat diperlukan untuk persiapan menghadapi pertempuran yang benar-benar. Pasukan Pemuda Pelajar Tegallega, pada awal revolusi itu sebagian besar menjadi cikal bakal Batalyon II TKR Resimen VIII.

Sasaran utama perjuangan badan-badan kelasykaran pada awal perang kemerdekaan, adalah merebut senjata tentara Jepang, melaksanakan pemindahan dan perebutan kekuasaan serta pemerintahan di Indonesia dari tangan tentara Jepang, yang sudah menyerah kalah pada perang dunia II kepada pihak Sekutu (Inggris, Amerika, Australia, Rusia, dll), pada 14 Agustus 1945, sesudah Nagasaki dan Hiroshima di Jepang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat.

Peristiwa itu terjadi pada Oktober 1945, ketika tentara Sekutu baru masuk Kota Bandung dan bermarkas di Hotel Savoy Homan. Pelaku utama peristiwa heroik itu adalah seorang pelajar jebolan Sekolah Guru Laki-laki/alumni Sekolah Kader Tegallega Bandung, yang waktu itu sudah bergabung ke dalam TKR Batalyon II Sumarsono dengan pangkat Sersan Mayor, yang bernama Karmas, umur 18 tahun (sekarang Drs. E. Karmas Soemantadiradja, mantan dosen seni rupa pada FKSS IKIP Bandung, pensiun sejak 1986).

Saat memuncaknya perjuangan perebutan senjata dari tentara Jepang oleh para pemuda badan-badan perjuangan guna mengisi dan menegakkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, pada akhir Agustus 1945 berdirilah organisasi bersenjata di daerah Bandung Utara (Lembang) yang berada di bawah pimpinan R. K. Sukanda Bratamanggala (Pak Kendo), mantan Cudanco (Komandan Kompi) dari Daidan (Batalyon) III Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Cipaganti Bandung. Organisasi perjuangan bersenjata inilah yang menjadi cikal-bakal Badan Keamanan Rakyat (BKR) Bandung Utara di Lembang, yang kemudian berdasarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia 5 Oktober 1945 secara resmi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon Bandung Utara di bawah pimpinan Mayor RK Sukanda Bratamanggala dengan markas batalyonnya di Lembang.

Penulis sebagai pemuda pelajar (17 tahun) jebolan Sekolah Guru Tegallega Bandung, yang pernah mengawali perjuangan dalam perang kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BKR/Pasukan Pemuda Pelajar Tegallega Bandung, berkesempatan mengikuti pendidikan kilat Kader TKR Batalyon Bandung Utara selama Oktober-November 1945 di Lembang, tempat kelahiran penulis.

Pendidikan kilat Kader TKR menggembleng para pemuda pelajar dan mahasiswa sebagai calon opsir (minaraisikan) TKR dengan lebih mengutamakan latihan tempur serta praktek menggunakan berbagai senjata api hasil rampasan dari tentara Jepang. Kegiatan itu diadakan di Kampung Pasiripis, di kaki Gunung Tangkuban Parahu, empat kilometer sebelah utara Kota Lembang dan di Kampung Bongkor, kira-kira tiga kilometer sebelah timur Lembang.

Diklat Kader TKR Batalyon Bandung Utara di Lembang, berada di bawah gemblengan para opsir pelatih mantan Shodanco (Komandan Peleton) Tentara PETA, di antaranya Sumardja Adidjaja (alm), Djaka Wargadinata, dan Jenderal TNI (Pur) Amir Mahmud (alm) mantan Menteri Dalam Negeri dan Ketua DPR/MPR. *

* H. Maman Sumantri, veteran pejuang kemerdekaan RI, purnakaryawan PNS/Depdikbud RI, dan Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru RI (PGRI) Jawa Barat, tinggal di Bandung.



Sumber: Tidak diketahui, 1 Oktober 1997



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...