Roeslan Abdulgani
Konsultan pada BP-7 Pusat
Salah satu segi yang sangat menarik dalam hasil studi tentang sejarah Sunan Drajat ialah kaitan sejarah hidupnya dengan para wali lain, yang dalam legenda dan tulisan kuno sering diberi nama "Wali Songo". Juga kaitan masalah kehadiran para wali di tanah air dengan sejarah asal dan jalur penyebaran Islam di kepulauan Nusantara umumnya, dan di pulau Jawa khususnya, dan lebih khusus lagi di Jawa Timur.
Kehadiran para Wali ul-Allah memang ditegaskan dalam Alquran, khususnya dalam surat Yunus, ayat 62 dan 63: "Alaa inna auliyaa-al laahi laa khaufun 'alaihim walaa hum yah-zanuun(a). Alladziina aamanuu wa kaanuu yattaquun(a)."--Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa khawatir atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa.
Kita pun menyadari, bahwa sejarah kedatangan ajaran Islam ke Nusantara, baik yang langsung dari jazirah Arabia maupun yang melalui Parsi dan India, kebanyakan berintikan ilmu tasawuf campuran ilmu fiqh. Bukan yang berintikan ilmu aljabar, kimia, fisika, dan ilmu-ilmu eksakta lainnya, yang melahirkan ilmu kedokteran, ilmu pembangunan, ilmu ekonomi, dan sebagainya. Demikian pula rupanya para jemaah haji kita yang pada abad ke-15 dan ke-16 sudah banyak merantau ke Tanah Suci, lebih tertarik oleh ilmu tasawuf dan ilmu fiqh daripada oleh ilmu-ilmu eksakta dan humaniora, yang pada abad-abad itu sudah berkembang tinggi sekali di dunia Islam.
Fenomena itu dapat pula dipahami, karena memang dalam masyarakat Indonesia kuno dulu itu kehidupan agamawi lebih berarti mementingkan spiritual-bathiniyah daripada alam keduniawian. Ini pernah dikatakan oleh GWJ Drewes dalam artikelnya "Indonesia: Mysticism and Activism" yang terhimpun dalam buku Grunebaum Unity and Variety in Muslim Civilization" tahun 1995.
Drewes berkata: "Dalam masyarakat Indonesia-kuno maka 'hidup agamawi' berarti menyingkirkan kehidupan duniawi. Waktu Islam datang, pandangan ini tidak berubah. Adalah jasa gerakan pembaharuan dalam Islam yang membersihkan paham kehidupan agamawi itu dari hanya watak memikirkan keakheratan saja. Tidak dapat disangkal bahwa gerakan pembaharuan itu menjadikan gerakan Islam sebagai kekuatan vital dalam masyarakat Indonesia".
Pendapat yang mirip tentang watak kemistikan Islam yang pertama datang kemari, diutarakan juga oleh Prof Snouck Horgronye. Islam, katanya, datang di Indonesia pada abad ke-13, maka yang datang itu bukanlah ajaran-ajaran aslinya, melainkan sudah bercampuran dengan berbagai macam tambahan dari bumi peradaban Parsi dan India. Ini ditegaskannya dalam ceramah di Amsterdam pada 1883: "Bukan agamanya Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang, yang datang kemari. Bukan Islam dari Quran dan Hadist, melainkan Islam dengan kitab-kitab fikihnya dan dogmanya dari tiga abad kemudian, yang diperkenalkan di sini".
Pendapat ini kembali dikemukakannya dalam kuliahnya di Universitas Leiden pada 1911: Sekitar 1200 sesudah Masehi, Islam mulai mendapat pengikut yang cukup banyak di Sumatra, Jawa, dan sesudah itu di kepulauan sebelah timur. Jatuhnya Majapahit pada 1518 menjadikan seluruh pulau Jawa masuk Islam. Dan itu pun menjadi kenyataan dalam kelanjutan abad ke-16 bagi pulau-pulau penting lainnya. Kesimpulannya ialah, bahwa Islam yang datang ke Timur Jauh itu adalah Islam yang sudah dewasa penuh. Apabila di zaman Nabi Islam itu dapat diibaratkan seperti anak petani desa yang kaku-kekar, maka yang datang kemari adalah ibarat seorang metropolitan yang menjadi dewasa dalam pergaulannya dengan berbagai-bagai bangsa.
Watak mistik-sufisme Islam
Dengan menyampingkan dulu benar tidaknya pendapat Hurgronye dan dengan sementara menerima adanya penambahan pengaruh mistik dari Parsi dan dari India ke dalam sufisme Islam dalam perjalanannya selama beberapa abad kemari itu, maka mistik-sufisme Islam yang kemari itu pun secara kualitatif lebih maju, lebih mendalam, dan lebih mendasar, daripada mistiknya alam pikiran kebudayaan asli kita, dengan serapan peradaban Hindu-Budha.
Menurut Prof Nasrollah S Fatemi, sejarawan Islam dan ahli ilmu politik kelahiran Iran yang memimpin Universitas Farleigh-Dickinson di Amerika, sufisme merupakan salah satu sumbangan pikiran yang bernilai tinggi dari para pemikir Islam kepada humanisme. Sufisme tumbuh sebagai reaksi dan pemberontakan terhadap formalisme kosong dan korupsi dalam dunia Islam, yang kekuasaannya digenggam oleh tirani penguasa. Sufisme adalah antitesa dari jiwa kecongkakan, jiwa demagogisme, jiwa kemunafikan, dan jiwa korupsi yang melanda Zaman Tengah.
Mistik-sufisme Islam yang sangat maju itulah yang datang kemari. Dan yang menjiwai para dai kita, antara lain para Wali Songo kita, termasuk Sunan Drajat. Hal ini antara lain terbukti juga dari karya-karya pendekar Islam Indonesia dari abad ke-16 sampai abad ke-19, seperti karya Sunan Bonang dari Jawa Timur, Hamzah Fansuri dan Abdul Rauf dari Aceh, Sihabudin dan Fachrudin dari Palembang, Ronggowarsito dari Jawa Tengah, dan sebagainya. Semua bernapaskan jiwa mistik-tasawuf, bersumber ilmu tauhid antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Malahan dalam tatap-muka antara para pemimpin Keprabuan Majapahit dan para ahli dakwah Islam, yang menurut legenda diwakili para Wali Songo, maka persoalan yang didialogkan dan didiskusikan adalah bersifat teologis semata-mata. Prabu Sriwijaya yang terakhir dikabarkan bersedia memeluk agama Islam melalui beberapa tahap. Tentang Surat Qulhu tidak ada masalah. Prabu Brawijaya dapat menerima itu, karena secara teologis hal itu cocok dengan pandangan Kejawen. Namun tentang syahadat, beliau semula tidak menerima adanya seorang Nabi dari Arabia. Baru setelah ada pembuktiannya, melalui Surat Al-Bayinah, maka beliau dengan penuh keyakinan bersedia mengucapkan kalimat syahadat, sebagai langkah mantap masuk Islam.
Dalam buku-buku babad Jawa-kuno, dilukiskan bahwa sejak itu Prabu Brawijaya terakhir seakan-akan nraosaken kenyunyun "kulhu", kedanan "lam yakunil", mendem "sahabat". Prabu Brawijaya seakan-akan tertangkap oleh "kulhu", terpikat oleh "lam yakunil" dan terendam oleh "sahadat". Drewes menerjemahkan kalimat ini dalam bahasa Inggris sebagai captivated by "kulhu", enamoured of "lam yakunil", and inebriated by the "sahadat".
"Kulhu" adalah Surat 112 Alquran, berjudul Al-Ikhlash (Purity of Faith), sedangkan "lam yakunil" adalah Surat 98 Alquran, berjudul Al-Baiyinah (Evidence).
Sejarah ini menunjukkan lagi bagaimana masalah teologi menjadi pusat perhatian dalam tatap muka ajaran agama Islam dengan Kejawen. Dan bagaimana watak ajaran Islam yang baru datang dengan penuh mistik-tasawuf itu mudah bertemu dengan watak agamawi bangsa kita pada waktu itu.
Fakta-fakta sejarah itulah yang harus kita akui sebagai salah satu kekurangan dalam tatap muka antara kebudayaan kita dengan kebudayaan Islam dalam abad-abad sekitar ke-14, ke-15, dan seterusnya. Ilmu Islam eksakta, kedokteran, fisika, dan humaniora lainnya, tidak sampai ke Indonesia pada waktu itu. Baru pada permulaan abad ke-20 ilmu eksakta dan humaniora modern datang ke tanah air kita. Tidak dibawa oleh Islam dari Timur Tengah, tetapi oleh kolonialisme dari Eropa Barat. Tidak dalam bentuk aslinya, tetapi sudah dikembangkan lebih maju.
Sekalipun demikian, masyarakat kita yang semula diserapi oleh ilmu tasawuf dan ilmu fiqih dari dunia Islam itu ternyata cukup kuat untuk menyerap pula ilmu pengetahuan Barat di bidang eksakta dan humaniora, tanpa tercerabut dari akar-akar kebudayaannya sendiri. Malahan dengan kedatangan paham reformisme dan pembaharuan di dunia Islam yang datang dari Mesir, Turki, dan India, datang kemari pada permulaan abad ke-20, dan dengan berdirinya Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Indische Partie, maka kaum muslimin Indonesia berhasil mencari keseimbangan dalam kehidupan duniawi di tengah-tengah masyarakat dengan kehidupan akhirat.
'Piwulang' Sunan Drajat
Mengapa masyarakat kita dalam permulaan abad ke-20 dengan Kebangkitan Nasionalismenya dapat bersikap demikian menghadapi merajalelanya kolonialisme Barat? Sebabnya tak lain karena nasionalisme Indonesia telah dijiwai islamisme yang tidak hanya mistik-tasawuf-sentris. Tapi yang juga berorientasi sosio-duniawi. Ini yang merupakan daya-tahan kuat menghadapi Barat. Dan ini disebabkan karena keislaman yang pertama datang ke Tanah Air kita itu, dan disebarkan oleh para wali, berkombinasi mistik-tasawuf-sentris serta berorientasi sosio-duniawi. Artinya para wali tidak hanya memperdalam segi mistik-tasawufnya saja, tapi juga menghidup-hidupkan jiwa mistik-tasawuf itu ke medan amal ibadahnya yang nyata di tengah-tengah rakyat dan masyarakat.
Contoh yang jelas ialah apa yang diajarkan dan dilakukan Sunan Drajat. Berdasarkan berbagai tulisan, dan bersumber kepada pengutaraan rakyat sekitar makam beliau di Paciran, Lamongan, Karanggeneng, sampai ke Gresik dan Surabaya, maka Tim Peneliti dan Penyusun Buku Sejarah Sunan Drajat telah datang kepada penemuan yang sangat unik sekali. Yaitu pokok-pokok piwulang Sunan Drajat yang tujuh butir jumlahnya.
Piwulang itu berbunyi: (1) Memangun resep teyasing Sasono (Kita selalu membuat senang hati orang lain); (2) Jroning Suka kudu eling lan waspodo (Dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada); (3) Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan); (4) Meper Hardaning Pancadriyo (Kita harus selalu menekan gelora nafsu); (5) Heneng-Hening-Henung (Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur); (6) Mulyo guno Panca Waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima waktu); dan (7) Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyup marang wong kang kudanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan orang yang tidak punya malu, dan berilah perlindungan orang yang menderita).
Semua itu adalah jelas ajaran pengentasan kemiskinan. Tidak hanya kemiskinan material-lahiriyah. Tapi juga kemiskinan mental-spiritual bathiniyah. Rupanya pada zaman wali dulu dua macam kemiskinan ini ada di tengah-tengah masyarakat.
Para wali kita dulu itu tidak hanya mengembangkan aktivitasnya di bidang ajaran agama, tapi juga disertai dengan perjuangan di bidang ibadah dan amal sosial-kemasyarakatan.
Sebab itu kita tentu dapat menggambarkan secara historis-retrospektif, bahwa para Wali Songo dulu tidak beribadah di tengah-tengah vacuum, kekosongan. Melainkan di tengah dinamika dan dialektika masyarakat kita, yang sedang mengalami transisi dan transformasi yang besar dan fundamental. Dari masyarakat yang jiwanya terkungkung oleh agama Siwa-Budha kuno ke arah jiwa-keislaman baru, di tengah sentuhan ekonomi komersial-perdagangan dan pelayaran di lautan Nusantara yang menggetarkan masyarakat pertanian-statis di Pulau Jawa.
Perlu disimak, berbagai sumber buku sejarah tentang kehidupan para wali pada abad ke-15 dan ke-16 di tengah transformasi dan transisi yang penuh getaran dan gejolak itu. Baik dari buku-buku sejarah yang baru karya bangsa kita sendiri maupun yang agak tua karya orang-asing, seperti Raffles, Fruin-Mees, Krom, Stapel, Vlekke, Van Leur, Rutgers, dan sebagainya lagi.
Sunan Giri
Tentang Sunan Giri umpamanya, ada dua kabar. Pertama, di sekitar tahun 1450-1480. Sewaktu Sunan Giri bersama dengan Sunan Bonang--saudara Sunan Drajat dari ayah Sunan Ngampel tapi lain ibu--di bawah pimpinan Sunan Ampel, menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, dan di mana-mana mendapat pengikut, maka Ratu Majapahit yang terakhir mengirimkan utusannya untuk menghalangi dan menyetop penyebaran ajaran Islam itu dan menaklukkan kekuasaan Sunan Giri ke bawah kekuasaan Majapahit.
Dalam pertentangan itu dilemparkanlah oleh Sunan Giri kalamnya di atas tanah di muka utusan Majapahit, yang seketika itu juga kalam itu berubah menjadi sebentuk keris sakti Kyai Kalamunyeng dan dapat mendesak mundur serangan Majapahit itu. Setelah Sunan Giri meninggal, maka kembalilah tentara Majapahit untuk menaklukkan kesunanan Giri, antara lain dengan membongkar makamnya--yang seketika itu juga dari dalamnya keluar laba-laba dalam jumlah yang begitu besar, sehingga tentara Majapahit terpaksa mundur sama sekali.
Kelanjutan kabar itu menceritakan bahwa Raden Patah tidak bersedia membantu Majapahit melawan Sunan Giri, malahan mengadakan koalisi bersama dengan Bintara, Madura, Tuban, Surabaya, dan Giri, berdasarkan jiwa ukhuwah islamiyah menentang jiwa ekspansi Majapahit. Dalam pertentangan ini, maka menanglah koalisi para sunan Islam itu.
Dikabarkan pula pembicaraan antara Kertawidjaja, ratu terakhir dari Kerajaan Majapahit, dengan para Sunan Ampel dan Sunan Giri serta Sunan Bonang dan Sunan Drajat di mana Kertawijaya--setelah mendengar penjelasan ajaran Islam dari para wali--menyatakan pendapatnya, bahwa: "Maksud agama Islam dan Budha adalah sama; yang berbeda adalah cara-ibadahnya. Karena itu saya tidak melarang rakyat memeluk agama baru itu, asal dilakukan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, tanpa paksa. Mengenai diri saya sendiri, mungkin kelak saya akan memeluknya ...."
Demikianlah kabar pertama yang diceritakan oleh Prof Krom sambil mengutip Babad Tanah Jawi dan diceritakan oleh Fruin-Mees sambil mengutip Babad Diponegoro.
Kabar yang kedua ialah pada sekitar tahun 1650-1680--sekitar 200 tahun kemudian. Pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Amangkurat Ke-I adalah sangat kejam dan buruk sekali. Berkali-kali timbul pemberontakan. Suropati dan Teruno Djojo adalah pejuang-pejuang yang melawan Amangkurat itu dengan dukungan oleh rakyat. Sunan Giri banyak sekali memberikan bantuan kepada perlawanan ini, terutama kepada Teruno Djojo. Amangkurat sendirian tidak dapat mematahkan perlawanan itu, dan meminta bantuan VOC. VOC bersedia membantunya, asal hak-hak perdagangannya ditambah dan diperluas.
Setelah Teruno Djojo dapat dikalahkan, maka pada 1680 kompeni VOC menyerang Sunan Giri di atas bukitnya itu. Sunan Giri yang sudah berusia 80 tahun pantang mundur. Terjadilah pertempuran yang oleh sumber-sumber Belanda disebut sebagai "pertempuran melawan Sunan Giri itu adalah pertempuran yang paling sengit dan paling berdarah, karena Sunan Giri yang sudah lanjut usia itu ternyata penentang yang paling gagah dan paling gigih melawan VOC dan Amangkurat.
Tetapi akhirnya Sunan Giri, yang sering diberi julukan oleh VOC sebagai 'Paus Islam', 'Kyai Jawa yang keramat', atau 'orang congkak' itu, kalah karena keunggulan senjata dan lebih-banyaknya tentara-koalisinya VOC dan Amangkurat".
Demikianlah dua kabar yang penulis jumpai dalam buku-buku sejarah. Kedua kabar itu terpisah satu sama lain dengan jangka waktu lebih kurang dua abad lamanya, yaitu kabar yang pertama terjadi di sekitar tahun 1480 dan kabar yang kedua menyangkut tahun 1680. []
Sumber: Republika, 7 Oktober 1997
Komentar
Posting Komentar