Langsung ke konten utama

Sunan Drajat dalam Perspektif Sejarah (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Roeslan Abdulgani
Konsultan pada BP-7 Pusat

Salah satu segi yang sangat menarik dalam hasil studi tentang sejarah Sunan Drajat ialah kaitan sejarah hidupnya dengan para wali lain, yang dalam legenda dan tulisan kuno sering diberi nama "Wali Songo". Juga kaitan masalah kehadiran para wali di tanah air dengan sejarah asal dan jalur penyebaran Islam di kepulauan Nusantara umumnya, dan di pulau Jawa khususnya, dan lebih khusus lagi di Jawa Timur.

Kehadiran para Wali ul-Allah memang ditegaskan dalam Alquran, khususnya dalam surat Yunus, ayat 62 dan 63: "Alaa inna auliyaa-al laahi laa khaufun 'alaihim walaa hum yah-zanuun(a). Alladziina aamanuu wa kaanuu yattaquun(a)."--Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa khawatir atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa.

Kita pun menyadari, bahwa sejarah kedatangan ajaran Islam ke Nusantara, baik yang langsung dari jazirah Arabia maupun yang melalui Parsi dan India, kebanyakan berintikan ilmu tasawuf campuran ilmu fiqh. Bukan yang berintikan ilmu aljabar, kimia, fisika, dan ilmu-ilmu eksakta lainnya, yang melahirkan ilmu kedokteran, ilmu pembangunan, ilmu ekonomi, dan sebagainya. Demikian pula rupanya para jemaah haji kita yang pada abad ke-15 dan ke-16 sudah banyak merantau ke Tanah Suci, lebih tertarik oleh ilmu tasawuf dan ilmu fiqh daripada oleh ilmu-ilmu eksakta dan humaniora, yang pada abad-abad itu sudah berkembang tinggi sekali di dunia Islam.

Fenomena itu dapat pula dipahami, karena memang dalam masyarakat Indonesia kuno dulu itu kehidupan agamawi lebih berarti mementingkan spiritual-bathiniyah daripada alam keduniawian. Ini pernah dikatakan oleh GWJ Drewes dalam artikelnya "Indonesia: Mysticism and Activism" yang terhimpun dalam buku Grunebaum Unity and Variety in Muslim Civilization" tahun 1995. 

Drewes berkata: "Dalam masyarakat Indonesia-kuno maka 'hidup agamawi' berarti menyingkirkan kehidupan duniawi. Waktu Islam datang, pandangan ini tidak berubah. Adalah jasa gerakan pembaharuan dalam Islam yang membersihkan paham kehidupan agamawi itu dari hanya watak memikirkan keakheratan saja. Tidak dapat disangkal bahwa gerakan pembaharuan itu menjadikan gerakan Islam sebagai kekuatan vital dalam masyarakat Indonesia".

Pendapat yang mirip tentang watak kemistikan Islam yang pertama datang kemari, diutarakan juga oleh Prof Snouck Horgronye. Islam, katanya, datang di Indonesia pada abad ke-13, maka yang datang itu bukanlah ajaran-ajaran aslinya, melainkan sudah bercampuran dengan berbagai macam tambahan dari bumi peradaban Parsi dan India. Ini ditegaskannya dalam ceramah di Amsterdam pada 1883: "Bukan agamanya Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang, yang datang kemari. Bukan Islam dari Quran dan Hadist, melainkan Islam dengan kitab-kitab fikihnya dan dogmanya dari tiga abad kemudian, yang diperkenalkan di sini".

Pendapat ini kembali dikemukakannya dalam kuliahnya di Universitas Leiden pada 1911: Sekitar 1200 sesudah Masehi, Islam mulai mendapat pengikut yang cukup banyak di Sumatra, Jawa, dan sesudah itu di kepulauan sebelah timur. Jatuhnya Majapahit pada 1518 menjadikan seluruh pulau Jawa masuk Islam. Dan itu pun menjadi kenyataan dalam kelanjutan abad ke-16 bagi pulau-pulau penting lainnya. Kesimpulannya ialah, bahwa Islam yang datang ke Timur Jauh itu adalah Islam yang sudah dewasa penuh. Apabila di zaman Nabi Islam itu dapat diibaratkan seperti anak petani desa yang kaku-kekar, maka yang datang kemari adalah ibarat seorang metropolitan yang menjadi dewasa dalam pergaulannya dengan berbagai-bagai bangsa.

Watak mistik-sufisme Islam

Dengan menyampingkan dulu benar tidaknya pendapat Hurgronye dan dengan sementara menerima adanya penambahan pengaruh mistik dari Parsi dan dari India ke dalam sufisme Islam dalam perjalanannya selama beberapa abad kemari itu, maka mistik-sufisme Islam yang kemari itu pun secara kualitatif lebih maju, lebih mendalam, dan lebih mendasar, daripada mistiknya alam pikiran kebudayaan asli kita, dengan serapan peradaban Hindu-Budha.

Menurut Prof Nasrollah S Fatemi, sejarawan Islam dan ahli ilmu politik kelahiran Iran yang memimpin Universitas Farleigh-Dickinson di Amerika, sufisme merupakan salah satu sumbangan pikiran yang bernilai tinggi dari para pemikir Islam kepada humanisme. Sufisme tumbuh sebagai reaksi dan pemberontakan terhadap formalisme kosong dan korupsi dalam dunia Islam, yang kekuasaannya digenggam oleh tirani penguasa. Sufisme adalah antitesa dari jiwa kecongkakan, jiwa demagogisme, jiwa kemunafikan, dan jiwa korupsi yang melanda Zaman Tengah.

Mistik-sufisme Islam yang sangat maju itulah yang datang kemari. Dan yang menjiwai para dai kita, antara lain para Wali Songo kita, termasuk Sunan Drajat. Hal ini antara lain terbukti juga dari karya-karya pendekar Islam Indonesia dari abad ke-16 sampai abad ke-19, seperti karya Sunan Bonang dari Jawa Timur, Hamzah Fansuri dan Abdul Rauf dari Aceh, Sihabudin dan Fachrudin dari Palembang, Ronggowarsito dari Jawa Tengah, dan sebagainya. Semua bernapaskan jiwa mistik-tasawuf, bersumber ilmu tauhid antara mikrokosmos dan makrokosmos.

Malahan dalam tatap-muka antara para pemimpin Keprabuan Majapahit dan para ahli dakwah Islam, yang menurut legenda diwakili para Wali Songo, maka persoalan yang didialogkan dan didiskusikan adalah bersifat teologis semata-mata. Prabu Sriwijaya yang terakhir dikabarkan bersedia memeluk agama Islam melalui beberapa tahap. Tentang Surat Qulhu tidak ada masalah. Prabu Brawijaya dapat menerima itu, karena secara teologis hal itu cocok dengan pandangan Kejawen. Namun tentang syahadat, beliau semula tidak menerima adanya seorang Nabi dari Arabia. Baru setelah ada pembuktiannya, melalui Surat Al-Bayinah, maka beliau dengan penuh keyakinan bersedia mengucapkan kalimat syahadat, sebagai langkah mantap masuk Islam.

Dalam buku-buku babad Jawa-kuno, dilukiskan bahwa sejak itu Prabu Brawijaya terakhir seakan-akan nraosaken kenyunyun "kulhu", kedanan "lam yakunil", mendem "sahabat". Prabu Brawijaya seakan-akan tertangkap oleh "kulhu", terpikat oleh "lam yakunil" dan terendam oleh "sahadat". Drewes menerjemahkan kalimat ini dalam bahasa Inggris sebagai captivated by "kulhu", enamoured of "lam yakunil", and inebriated by the "sahadat".

"Kulhu" adalah Surat 112 Alquran, berjudul Al-Ikhlash (Purity of Faith), sedangkan "lam yakunil" adalah Surat 98 Alquran, berjudul Al-Baiyinah (Evidence).

Sejarah ini menunjukkan lagi bagaimana masalah teologi menjadi pusat perhatian dalam tatap muka ajaran agama Islam dengan Kejawen. Dan bagaimana watak ajaran Islam yang baru datang dengan penuh mistik-tasawuf itu mudah bertemu dengan watak agamawi bangsa kita pada waktu itu.

Fakta-fakta sejarah itulah yang harus kita akui sebagai salah satu kekurangan dalam tatap muka antara kebudayaan kita dengan kebudayaan Islam dalam abad-abad sekitar ke-14, ke-15, dan seterusnya. Ilmu Islam eksakta, kedokteran, fisika, dan humaniora lainnya, tidak sampai ke Indonesia pada waktu itu. Baru pada permulaan abad ke-20 ilmu eksakta dan humaniora modern datang ke tanah air kita. Tidak dibawa oleh Islam dari Timur Tengah, tetapi oleh kolonialisme dari Eropa Barat. Tidak dalam bentuk aslinya, tetapi sudah dikembangkan lebih maju.

Sekalipun demikian, masyarakat kita yang semula diserapi oleh ilmu tasawuf dan ilmu fiqih dari dunia Islam itu ternyata cukup kuat untuk menyerap pula ilmu pengetahuan Barat di bidang eksakta dan humaniora, tanpa tercerabut dari akar-akar kebudayaannya sendiri. Malahan dengan kedatangan paham reformisme dan pembaharuan di dunia Islam yang datang dari Mesir, Turki, dan India, datang kemari pada permulaan abad ke-20, dan dengan berdirinya Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Indische Partie, maka kaum muslimin Indonesia berhasil mencari keseimbangan dalam kehidupan duniawi di tengah-tengah masyarakat dengan kehidupan akhirat.

'Piwulang' Sunan Drajat

Mengapa masyarakat kita dalam permulaan abad ke-20 dengan Kebangkitan Nasionalismenya dapat bersikap demikian menghadapi merajalelanya kolonialisme Barat? Sebabnya tak lain karena nasionalisme Indonesia telah dijiwai islamisme yang tidak hanya mistik-tasawuf-sentris. Tapi yang juga berorientasi sosio-duniawi. Ini yang merupakan daya-tahan kuat menghadapi Barat. Dan ini disebabkan karena keislaman yang pertama datang ke Tanah Air kita itu, dan disebarkan oleh para wali, berkombinasi mistik-tasawuf-sentris serta berorientasi sosio-duniawi. Artinya para wali tidak hanya memperdalam segi mistik-tasawufnya saja, tapi juga menghidup-hidupkan jiwa mistik-tasawuf itu ke medan amal ibadahnya yang nyata di tengah-tengah rakyat dan masyarakat.

Contoh yang jelas ialah apa yang diajarkan dan dilakukan Sunan Drajat. Berdasarkan berbagai tulisan, dan bersumber kepada pengutaraan rakyat sekitar makam beliau di Paciran, Lamongan, Karanggeneng, sampai ke Gresik dan Surabaya, maka Tim Peneliti dan Penyusun Buku Sejarah Sunan Drajat telah datang kepada penemuan yang sangat unik sekali. Yaitu pokok-pokok piwulang Sunan Drajat yang tujuh butir jumlahnya.

Piwulang itu berbunyi: (1) Memangun resep teyasing Sasono (Kita selalu membuat senang hati orang lain); (2) Jroning Suka kudu eling lan waspodo (Dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada); (3) Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan); (4) Meper Hardaning Pancadriyo (Kita harus selalu menekan gelora nafsu); (5) Heneng-Hening-Henung (Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur); (6) Mulyo guno Panca Waktu (Suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima waktu); dan (7) Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyup marang wong kang kudanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan orang yang tidak punya malu, dan berilah perlindungan orang yang menderita).

Semua itu adalah jelas ajaran pengentasan kemiskinan. Tidak hanya kemiskinan material-lahiriyah. Tapi juga kemiskinan mental-spiritual bathiniyah. Rupanya pada zaman wali dulu dua macam kemiskinan ini ada di tengah-tengah masyarakat.

Para wali kita dulu itu tidak hanya mengembangkan aktivitasnya di bidang ajaran agama, tapi juga disertai dengan perjuangan di bidang ibadah dan amal sosial-kemasyarakatan.

Sebab itu kita tentu dapat menggambarkan secara historis-retrospektif, bahwa para Wali Songo dulu tidak beribadah di tengah-tengah vacuum, kekosongan. Melainkan di tengah dinamika dan dialektika masyarakat kita, yang sedang mengalami transisi dan transformasi yang besar dan fundamental. Dari masyarakat yang jiwanya terkungkung oleh agama Siwa-Budha kuno ke arah jiwa-keislaman baru, di tengah sentuhan ekonomi komersial-perdagangan dan pelayaran di lautan Nusantara yang menggetarkan masyarakat pertanian-statis di Pulau Jawa.

Perlu disimak, berbagai sumber buku sejarah tentang kehidupan para wali pada abad ke-15 dan ke-16 di tengah transformasi dan transisi yang penuh getaran dan gejolak itu. Baik dari buku-buku sejarah yang baru karya bangsa kita sendiri maupun yang agak tua karya orang-asing, seperti Raffles, Fruin-Mees, Krom, Stapel, Vlekke, Van Leur, Rutgers, dan sebagainya lagi.

Sunan Giri

Tentang Sunan Giri umpamanya, ada dua kabar. Pertama, di sekitar tahun 1450-1480. Sewaktu Sunan Giri bersama dengan Sunan Bonang--saudara Sunan Drajat dari ayah Sunan Ngampel tapi lain ibu--di bawah pimpinan Sunan Ampel, menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, dan di mana-mana mendapat pengikut, maka Ratu Majapahit yang terakhir mengirimkan utusannya untuk menghalangi dan menyetop penyebaran ajaran Islam itu dan menaklukkan kekuasaan Sunan Giri ke bawah kekuasaan Majapahit.

Dalam pertentangan itu dilemparkanlah oleh Sunan Giri kalamnya di atas tanah di muka utusan Majapahit, yang seketika itu juga kalam itu berubah menjadi sebentuk keris sakti Kyai Kalamunyeng dan dapat mendesak mundur serangan Majapahit itu. Setelah Sunan Giri meninggal, maka kembalilah tentara Majapahit untuk menaklukkan kesunanan Giri, antara lain dengan membongkar makamnya--yang seketika itu juga dari dalamnya keluar laba-laba dalam jumlah yang begitu besar, sehingga tentara Majapahit terpaksa mundur sama sekali.

Kelanjutan kabar itu menceritakan bahwa Raden Patah tidak bersedia membantu Majapahit melawan Sunan Giri, malahan mengadakan koalisi bersama dengan Bintara, Madura, Tuban, Surabaya, dan Giri, berdasarkan jiwa ukhuwah islamiyah menentang jiwa ekspansi Majapahit. Dalam pertentangan ini, maka menanglah koalisi para sunan Islam itu.

Dikabarkan pula pembicaraan antara Kertawidjaja, ratu terakhir dari Kerajaan Majapahit, dengan para Sunan Ampel dan Sunan Giri serta Sunan Bonang dan Sunan Drajat di mana Kertawijaya--setelah mendengar penjelasan ajaran Islam dari para wali--menyatakan pendapatnya, bahwa: "Maksud agama Islam dan Budha adalah sama; yang berbeda adalah cara-ibadahnya. Karena itu saya tidak melarang rakyat memeluk agama baru itu, asal dilakukan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, tanpa paksa. Mengenai diri saya sendiri, mungkin kelak saya akan memeluknya ...."

Demikianlah kabar pertama yang diceritakan oleh Prof Krom sambil mengutip Babad Tanah Jawi dan diceritakan oleh Fruin-Mees sambil mengutip Babad Diponegoro.

Kabar yang kedua ialah pada sekitar tahun 1650-1680--sekitar 200 tahun kemudian. Pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Amangkurat Ke-I adalah sangat kejam dan buruk sekali. Berkali-kali timbul pemberontakan. Suropati dan Teruno Djojo adalah pejuang-pejuang yang melawan Amangkurat itu dengan dukungan oleh rakyat. Sunan Giri banyak sekali memberikan bantuan kepada perlawanan ini, terutama kepada Teruno Djojo. Amangkurat sendirian tidak dapat mematahkan perlawanan itu, dan meminta bantuan VOC. VOC bersedia membantunya, asal hak-hak perdagangannya ditambah dan diperluas.

Setelah Teruno Djojo dapat dikalahkan, maka pada 1680 kompeni VOC menyerang Sunan Giri di atas bukitnya itu. Sunan Giri yang sudah berusia 80 tahun pantang mundur. Terjadilah pertempuran yang oleh sumber-sumber Belanda disebut sebagai "pertempuran melawan Sunan Giri itu adalah pertempuran yang paling sengit dan paling berdarah, karena Sunan Giri yang sudah lanjut usia itu ternyata penentang yang paling gagah dan paling gigih melawan VOC dan Amangkurat.

Tetapi akhirnya Sunan Giri, yang sering diberi julukan oleh VOC sebagai 'Paus Islam', 'Kyai Jawa yang keramat', atau 'orang congkak' itu, kalah karena keunggulan senjata dan lebih-banyaknya tentara-koalisinya VOC dan Amangkurat".

Demikianlah dua kabar yang penulis jumpai dalam buku-buku sejarah. Kedua kabar itu terpisah satu sama lain dengan jangka waktu lebih kurang dua abad lamanya, yaitu kabar yang pertama terjadi di sekitar tahun 1480 dan kabar yang kedua menyangkut tahun 1680. []



Sumber: Republika, 7 Oktober 1997



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...