Langsung ke konten utama

Sunan Drajat dalam Perspektif Sejarah (Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)

Roeslan Abdulgani
Konsultan pada BP-7 Pusat

Kesimpulan-kesimpulan apakah yang dapat kita tarik dari kedua kabar sejarah mengenai Sunan Drajat? Sebelum penulis menarik kesimpulan dari kedua kabar ini, terlebih dulu penulis kemukakan bahwa kabar yang pertama--yang penulis ambil dari kutipan Krom atas Babad Tanah Jawi, hendaklah jangan diartikan secara letterlijk, menurut aksaranya saja. Ini tidak berarti bahwa saya menyetujui kritik-kritik Barat seakan-akan penulisan sejarah kita oleh penulis-penulis bangsa kita dulu itu hanya fantasi belaka, melainkan saya ingin menekankan watak sosial-religius penulisan sejarah kita dulu ini.

Karenanya, kita harus melihat situasi abad ke-15 di seluruh tanah air sebagai era datangnya pengaruh baru dari luar--yang bersumber pada perubahan rute perdagangan antara Barat dengan dunia Timur. Tanah air kita sejak abad ke-14 tersesat ke dalam arus perubahan rute perdagangan itu. Keperluan benua Eropa kepada sutera dari Tiongkok, kepada kain muslin dari India, dan juga kepada emas, kayu, serta rempah-rempah dari Indonesia, menyebabkan datangnya pedagang-pedagang Arab, Gudjarat, Turki, Parsi yang di belakangnya diikuti oleh pedagang-pedagang Portugal dan Spanyol. Pedagang-pedagang Eropa inilah yang mewakili handels-kapitalisme Eropa, dan yang berbeda dengan pedagang-pedagang Asia yang kebanyakan beragama Islam, hendak mematahkan sistem perdagangan bebas untuk digantinya dengan sistem perdagangan monopoli atas dasar kekuatan paksaan mereka.

Adapun kebesaran Majapahit pertama-tama berlandaskan struktur agraris masyarakatnya yang berada di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, ditambah dengan potensi pelayaran dan perdagangannya di daerah pesisir, mulai dari Aceh, Malaka, Tumasik (Singapura sekarang), Sumatera, Banten, Jawa Utara, Kalimantan, Makasar, Maluku, sampai ke Irian Barat. Tetapi sewaktu mulai datang pedagang Portugal dan Spanyol dengan agama Kristen, Majapahit ingin tetap mempertahankan hegemoninya di atas seluruh kepulauan tanah air kita dengan sistem masyarakat feodal agraris dan ajaran keagamaan Hindu-Budha yang sangat beku dan sudah lapuk itu.

Dunia pelayaran dan perdagangan memerlukan dinamika dan aktivitas yang luar biasa, sedangkan dunia agraria terlalu terikat secara statis kepada tanah, dengan sawah, ladang, dan hutannya. Dunia pelayaran dan perdagangan memerlukan kemerdekaan dan persamaan kedudukan sosial dan hak politik, sedangkan dunia agraris yang feodal ingin mempertahankan statisnya sistem kasta, dengan perbedaan kedudukan sosial dan diskriminasi dalam hak-hak politik. Dunia pelayaran dan perdagangan memerlukan progresivitas dan jiwa demokrasi Islam, sedangkan masyarakat feodal agraris masih ingin mempertahankan sistem diskriminasi kastanya.

Inilah sebenarnya gejala-gejala transisi dan transformasi masyarakat Indonesia pada abad ke-14 dan ke-15. Dalam transisi dan transformasi itu, maka saling bertentanglah "new emerging forces"-nya Islam dengan "old established forces"-nya Hinduisme dan Budhaisme. Di dalam pertentangan yang demikian hebat itu, dan yang oleh Bung Karno dalam karyanya Mencapai Indonesia Merdeka dikatakan sebagai "masyarakat yang sedang kena demam" dan "masyarakat yang ibarat 'melungsungi' yaitu berganti kulit dan baju", maka kita melihat bahwa Islam dengan watak progresivitasnya, revolusionairismenya, dan dengan kerakyatannya, keluar sebagai pemenang.

Hal ini dapat dipastikan semula, karena memang hanyalah suatu ajaran ideologi yang akan menang, apabila ia dalam suatu tingkatan perkembangan masyarakat tidak mewakili "the old established forces", melainkan "the new emerging forces". Perlawanan Sunan Giri terhadap Majapahit seperti yang dikabarkan pada sekitar tahun 1450-1480 itu, hendaklah kita lihat dalam hubungannya dengan "historical context"-nya pada waktu itu. Cerita tentang berubahnya kalam menjadi keris sakti Kyai Kolomunyeng dan tentang keluarnya laba-laba dari makam beliau untuk menaklukkan Majapahit harus kita artikan sebagai keunggulan sosial-religius Islam dalam menghadapi kelapukan sistem kasta Majapahit.

Dikatakan bahwa Islam keluar sebagai pemenang, tetapi ini adalah sementara saja. Sebab dari Barat datang berduyun-duyun pedagang baru. Di belakang orang Portugal dan Spanyol, datang orang-orang Belanda dan Inggris, kesemuanya mewakili stelsel kapitalisme Eropa-Barat yang haus barang dagangan, keuntungan, riba, dan kekuasaan.

Dalam hubungan situasi demikian itulah kita harus melihat kabar kedua, yaitu ditaklukkannya Sunan Giri pada tahun 1680 oleh tentara gabungannya kompeni dan Amangkurat. Ia adalah pencerminan dari perkembangan handels-kapitalismenya VOC yang sedang berkembang menjadi monopolistis handels-kapitalisme. Untuk mensukseskan ini, VOC harus mematahkan para pedagang besar kita di seluruh pesisir tanah air kita, mulai dari Aceh, Banten, Tuban, Gresik, Surabaya, sampai ke Makasar.

Adapun pedagang kita itu berjiwa merdeka dan umumnya beragama Islam, disumberi oleh ajaran dan tauladan para sunan Islam kita, termasuk Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat. Sedangkan di daerah pedalaman Pulau Jawa pada waktu itu masih terdapat susunan masyarakat feodal agraris, yag tidak dapat bertahan terhadap bergeloranya pukulan sistem perdagangan VOC.

Dan sekalian ideologi Mataram, yaitu Islam dengan corak Kejawen, adalah jauh lebih maju daripada ideologinya Majapahit dulu. Tetapi karena susunan masyarakat masih sangat feodal, dan Amangkurat tidak dapat mewarisi jiwa besar Sultan Agung, ia dapat diadu oleh VOC melawan pusatnya Islam-progresif pada waktu itu, yaitu keturunan Sunan Giri tersebut dan para wali lainnya. 

Malapetaka yang menimpa pahlawan-pahlawan Giri, di bawah pimpinan langsung dari Sunan Giri yang sudah lanjut usia pada tahun 1680 itu adalah pencerminan belaka dari bagaimana kejamnya sistem kapitalisme asing itu kalau sudah dapat bersekongkol dengan feodalisme pribumi. Juga kebalikannya adalah benar, bagaimana kejamnya feodalisme pribumi itu, kalau ia sudah tidak dapat bertahan terhadap progresivitasnya Islam, kemudian bersekongkol dengan kapitalisme dan kolonialisme asing.

Kenyataan sejarah

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari kedua kabar sejarah di atas tentang Sunan Giri tak dapat lain ialah kenyataan sejarah bahwa di bumi Indonesia ajaran Islam telah merupakan suatu ajaran progresif; suatu kebutaan ajaran mengenai keagamaan, keibadatan, dan kemasyarakatan yang sangat maju, dan militan antikapitalisme, antikolonialisme, dan antifeodalisme pribumi.

Kesimpulan lain ialah, bahwa para wali di masa permulaan penyebaran Islam bukanlah sekadar orang-orang yang duduk secara "angker dan keren" saja, memutar-mutar tasbih, sambil menjauhkan diri dari masyarakat ramai, dan hanya mengelilingi dirinya dengan kabut kekeramatan mental--seperti sering digambarkan, melainkan bahwa di samping guru-agama, guru masyarakat, guru rakyat, dan guru kerakyatan, mereka adalah juga pejuang-pejuang yang gagah dan gigih untuk agama dan masyarakatnya.

Sifat dan watak ganda itu pun pernah disebut oleh Soekarno, dalam pidato beliau di hadapan Kongres Kebatinan Indonesia di Jakarta 17 Juni 1958, bahwa para penghayat dan pengamal kebatinan sejati tidak hanya mandeng pucuking grana, nutupi babakan hawa sanga (memandang pucuk hidung, menutup lubang sembilan), laksana menjadi mati, dengan memastikan diri, untuk dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan Penguasa dan Pengatur Alam Raya Semesta sambil menyendiri di gua, hutan, dan gunung.

Bukan itu saja, yang menjadi cita-cita kebatinan Islam, seperti yang dipraktikkan para wali dulu, melainkan Islam menghendaki agar manusia sujud kepada Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Juga mempersatukan diri dengan semua manusia dan berjuang untuk kebaikan masyarakat dan manusia, menyuburkan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kemakmuran bersama. Rakhmatan l'il Alamin, itulah sifat dan watak ganda para wali kita dulu.

Sejarah Sunan Drajat

Kini kita sedang meneliti kembali sejarah hidup Sunan Drajat, yang telah beribadah, beramal, dan berjuang 600 tahun yang lalu. Menggali sejarah tentu ada hikmahnya. Hikmah itu hendaknya terkait dengan masa sekarang. Tidak ada guna kita menggali sejarah kuno, kalau kita tidak pandai merelevansikan dan mereaktualisasikan kepada zaman sekarang.

Dalam hubungan ini penulis teringat pandangan seorang sejarawan internasional Groce, yang menegaskan bahwa: "Satu-satunya sejarah yang benar itu adalah sejarah masa kini." Yang dimaksud Groce ialah bahwa dalam menggali dan membayangkan kejadian-kejadian lama, kita tidak boleh melepaskan pandangan kita kepada sejarah masa kini yang sedang kita alami bersama. Sebab dalam perkembangan masyarakat masa lalu dan masyarakat masa kini ada kaitannya.

Masa kini dibuat oleh masa lalu. Masa lalu mengilhami masa kini. Sehingga untuk dapat menghayati sejarah masa lalu, kita harus pandai menyadari dan menghayati pijakan kita bersama di tengah masyarakat masa kini. Tanpa kesadaran realita masa kini yang sedang kita alami, tengokan ke belakang ke arah sejarah masa lalu kurang berarti. Jelasnya: menggali sejarah dan ajaran Sunan Drajat kurang berguna, kalau kita tidak memproyeksi kepada realita sekarang.

Rangkaian ajaran Sunan Drajat membuka kenyataan bahwa ada kemiskinan di zaman beliau, baik kemiskinan material-lahiriyah maupun kemiskinan spiritual-batiniyah. Juga ada penyalahgunaan kekuasaan duniawi, kemunafikan, korupsi, dan sebagainya.

Para sejarawan yang mempelajari Sunan Drajat perlu pula menyadari bahwa masa kini pun masih melekat kepada masyarakat kita kedua macam kemiskinan itu, di tengah kemajuan perkembangan kemajuan ekonomi kita. Malahan kini merajalela budaya kekerasan, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, malversasi wewenang, monopolisme, dan nepotisme. Para sejarawan Sunan Drajat masa kini perlu memiliki kejujuran bahwa di samping berbagai kemajuan di bidang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang menakjubkan sekarang ini, kita pun menghadapi berbagai macam kesenjangan di tingkat nasional dan provinsial.

Ke arah mana bangsa kita sekarang ini bergerak? Pertanyaan ini mencerminkan keprihatinan. Dan hidup memang adalah rangkaian kecerahan, kebahagiaan diselingi oleh kesedihan dan keprihatinan. Optimisme dan pesimisme saling terkait dalam realasme. Ini hukum besinya hidup. Apalagi kalau kita sadar bahwa hidup itu berarti selalu melangkah ke masa depan. Selalu forward looking.

Penulis sering mengutip pendapat ahli filsafat eksistensialisme Soren Kierkegaard, yang berkata: "Hidup harus dilakoni dengan melangkah ke depan. Tapi hakiki hidup itu hanya dapat dipahami dengan menengok ke belakang. Artinya dengan retro dan introspeksi."

Apa yang sebenarnya kita kerjakan bersama dalam hari-hari ini dengan mempelajari sejarah Sunan Drajat ialah membekali kita semua dengan ajaran-ajaran bernilai untuk melangkah ke masa depan. Ada dua ajaran yang sangat menyentuh cipta, rasa, dan karsa kita dan yang sangat relevan untuk masa-kini. Yang pertama, apa yang tertulis di batu nisannya, yaitu: "Meper Hardaning Pancadriya"--Kita harus selalu menekan nafsu-nafsu yang menyimpang dari sifat manusiawi.

Kedua, yang menganjurkan solidaritas dengan mereka yang miskin dan tertindas. Dan yang berbunyi: "Paring teken marang kang kalunyon lan kang wuto. Paring pangan marang kang kaliren. Paring sandang marang kang kawudan. Paring payung marang kan kudanan." Itulah ajaran-ajaran Sunan Drajat yang perlu kita sadari kembali.

Akhir kata, penulis menyeru hendaknya penggalian sejarah Sunan Drajat ini membangkitkan kemauan dan kemampuan kita untuk mengreaktualisasikan dan merelevansikan ajaran beliau kepada masa sekarang. Sehingga kita bersama-sama dapat menjawab pertanyaan "Quo Vadis, Jawa Timur" itu dengan kebulatan niat dan tekad mengantarkan Jawa Timur ke arah seperti yang dianjurkan oleh Sunan Drajat. Sekali lagi: Menggali sejarah kurang berarti kalau tidak kita tancapkan kepada realita masa kini. The true history is contemporary history. []



Sumber: Republika, Tanpa tanggal



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan