Langsung ke konten utama

Berburu Keberuntungan di Trowulan

Tanpa terasa sudah hampir dua pekan hari-hari puasa terlewatkan. Dan sudah hampir dua pekan pula Trowulan dikunjungi banyak tamu. Memang, di setiap bulan Ramadhan, Trowulan--sebuah kecamatan di kabupaten Mojokerto--sekitar 50 km barat laut Surabaya, selalu dikunjungi banyak pendatang.

Apa yang bisa dilakukan pengunjung di Trowulan di setiap Ramadhan? Menurut banyak orang yang pernah mengunjungi Trowulan, banyak yang bisa dipelajari dan diperhatikan secara saksama di kota bersejarah itu. Trowulan adalah bekas kota kejayaan Kerajaan Majapahit. Di kota itu hingga kini masih banyak peninggalan bekas kejayaan kerajaan Majapahit, salah satu di antaranya adalah Kolam Segaran.

"Selain itu, juga ada situs kepurbakalaan kerajaan Majapahit. Ada Candi Tikus, Candi Brahu, makam Ratu Kencana, makam Putri Campa, dan yang paling banyak dikunjungi pendatang adalah makam Sunan Ngundung," ujar Suhu Ong S Wijaya, paranormal muslim yang tiap Ramadhan menyempatkan berziarah ke makam-makam penyebar agama Islam yang ada di Trowulan.

Cerita lainnya yang sering menjadi penarik orang mengunjungi Trowulan di setiap Ramadhan adalah menziarahi makam Sunan Walisongo yang ada di kota ini.

Tapi, seperti diceritakan Suhu Ong S Wijaya, puncak kedatangan pengunjung ke Trowulan umumnya adalah pada malam-malam lailatul qadar, malam-malam seribu bulan atau sering juga disebut para ulama sebagai malam keberuntungan.

Disebut demikian, karena banyaknya keanehan yang mendadak bisa dirasakan dan dilihat pengunjung jika misalnya menjalankan ibadah sholat wajib di mesjid-mesjid sekitar Trowulan.

"Saya sendiri misalnya, pernah sekali waktu saat sholat malam di sebuah mesjid yang lokasinya tak jauh dari Kolam Segaran. Dalam keadaan khusyuk berdoa, saya seperti mendengar sejumlah orang sibuk mengatur makanan. Saya bersyukur mendengar suara itu, karena menurut keyakinan ulama setempat, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengarkan suara itu. Dan orang yang diperdengarkan dengan suara itu akan mendapat rezeki sebagai imbalan ketekunannya beribadah kepada Allah Swt," cerita Suhu Ong.

Sebelum itu, pernah pula seorang petani ketika sholat di sebuah mesjid di sekitar Kolam Segaran diperdengarkan suara-suara aneh saat dia khusyuk berdoa tengah malam di saat-saat lailatur qadar.

 Besoknya, ketika nelayan itu menjala ikan di Kolam Segaran, jaring jalanya tersangkut sesuatu benda di dasar kolam. Ketika diangkatnya jaring tersebut, rupanya jala itu terisi sebuah piring emas.

Dan, ketika diangkatnya piring emas itu ke daratan, petani itu malah ketakutan. Maklum, menurut para ulama di Trowulan, piring emas merupakan benda-benda kuno peninggalan kerajaan Majapahit.

Agar tidak menimbulkan masalah, petani itu kemudian melaporkan ikhwal temuannya ke polisi dan instansi terkait. Tak pelak lagi, piring emas itu langsung diminta pemerintah untuk disimpan di museum purbakala nasional yang ada di Jalan Medan Merdeka Jakarta.

Petani itu sendiri akhirnya menyatakan puas dan bergembira setelah diberi ganti rugi berupa sejumlah uang yang cukup tinggi nilainya dari pemerintah.

***

Akibat keanehan-keanehan itu, tak jarang pula, pada malam-malam lailatul qadar pengunjung yang ke Trowulan tidak sekadar berwisata, tapi kebanyakan malah berburu keberuntungan. Ada yang secara khusyu memanjatkan doa keberuntungan--baik dalam soal jodoh, kepangkatan, dan lain-lain--ketika beritikaf di mesjid sekitar Trowulan, atau di mesjid-mesjid sekitar makam Sunan Walisongo.

"Saya sendiri tak mengetahui bagaimana hasilnya yang dirasakan orang-orang itu. Tapi yang saya rasakan sendiri, berziarah ke sejumlah makam Sunan di Trowulan memang banyak faedahnya," lanjut Suhu Ong S Wijaya. 

Paranormal muslim ini juga pernah berziarah ke makam Sunan Ngudung. Pertama kali melihat makam Sunan itu, dia mengaku terkejut. Betapa tidak, panjang makam itu di luar kelaziman yang biasa disaksikannya. Maklum, panjang makam itu mencapai 5 meter.

Namun banyak pemuka agama bercerita, orang sering mengunjungi makam itu untuk mengukur keberuntungan. Maksudnya, setelah berdoa di makam itu, pengunjung mengukur panjang makam dengan cara merentangkan kedua lengannya. Jika panjang kedua lengannya ternyata belum mampu menyamai panjang makam, itu artinya, orang tersebut masih akan diberi rezeki yang panjang.

"Memang itu terkesan tidak masuk akal. Tidak realistis. Tapi saya coba-coba juga melakukannya sambil berharap bahwa rezekinya saya masih akan diperpanjang oleh Allah Swt. Rupanya, Allah sangat baik kepada saya. Sepulang dari Trowulan, usaha saya lancar. Itu artinya rezekinya saya lagi bagus," tambahnya.

Dan sejak itu, hampir setiap Ramadhan, terutama sekali di malam-malam lailatul qadar, Suhu Ong S Wijaya beserta keluarga atau teman-teman selalu menyempatkan diri berkunjung ke Trowulan.

(Ami Herman)

 

Sumber: Suara Karya, 17 Desember 1999

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...