Langsung ke konten utama

Sunan Ampel, Berdakwah Berdasarkan Prinsip

Berdakwah berdasar prinsip keseimbangan. Itulah yang dilakukan Sunan Ampel, salah satu dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa alias walisongo. Dalam melakukan dakwah, Sunan Ampel memang benar-benar bersikap imbang. Pendekatan yang dia tempuh terhadap kalangan bangsawan Majapahit, dalam kaitan ini, tak beda dengan apa yang dia lakukan terhadap rakyat jelata di pelosok-pelosok pedesaan.

Sunan Ampel--makamnya terletak di kawasan Ampel Denta Surabaya (Jatim)--memiliki nama asli Sayid Ali Rahmatullah. Tapi semasa hidup, dia lebih akrab dipanggil Raden Rahmat. Lahir tahun 1401 di negeri Campa (Kamboja) dari pasangan Ibrahim Al-Ghozi bin Jamaluddin Husen dan Candrawulan. Sang bunda sendiri adalah putri Raja Campa. Walhasil, Sunan Ampel ini masih memiliki pertalian sangat erat dengan Kerajaan Campa.

Di tanah Jawa. Yang pasti, setiba dari Campa, dia langsung berkunjung ke kediaman Prabu Brawijaya Kertabumi V, Raja Majapahit. Ini dimungkinkan karena bibinya dari garis ibu--Dharawati, anak lain Raja Campa--diperistri Prabu Kertabumi V.

Kehadiran Raden Rahmat di lingkungan Istana Majapahit ini diterima dengan suka-cita. Maklum karena dia menunjukkan sikap-tindak sopan, ramah, serta selalu hangat terhadap siapa saja. Padahal sejak awal pula dia sudah aktif berdakwah. Itu tak terkecuali dia lakukan terhadap Raja Kertabumi V sendiri.

Bagi Raden Rahmat, kegiatan dakwah di lingkungan istana ini--terutama langsung kepada Raja Kertabumi V--sangat strategis. Dia berasumsi, jika Sang Prabu bisa tergerak memeluk Islam, dakwah kepada kalangan rakyat jelata pun tak akan terlampau sulit.

Tapi sayang, Raja Kertabumi V bergeming. Meski mengakui ajaran yang disampaikan Raden Rahmat sungguh bagus, Sang Prabu tetap tak mau meninggalkan agama yang sudah dia anut sejak kecil. Namun dia sama sekali tak menghalang-halangan langkah Raden Rahmat melakukan syiar Islam di lingkungan istana maupun di seantero negeri Majapahit.

Dalam rangka itu pula, Prabu Kertabumi V menghadiahi Raden Rahmat sebuah tempat di Kawasan Ampel Denta Surabaya sebagai pusat penyebaran dan pendidikan Islam. Itu pula yang membuat dakwah Raden Rahmat bisa membuahkan hasil. Tidak saja di kalangan rakyat jelata, bahkan di lingkungan anggota keluarga istana pun lambat-laun banyak yang tergerak menganut agama Islam.

Meski begitu, semata untuk menghindari konflik di kalangan warga Majapahit yang saat itu mayoritas memeluk Hindu, kalangan anggota keluarga keraton tak serta-merta bersikap terbuka dalam menganut Islam. Mereka melakukan ritual agama baru itu secara diam-diam.

Raden Rahmat sendiri, setelah cukup lama tinggal di lingkungan keraton Majapahit, belakangan pindah ke kawasan yang dihadiahkan Prabu Kertabumi V: Ampel Denta Surabaya. Di tempat itulah, Raden Rahmat alias Sunan Ampel kian mengintensifkan dakwah Islamiah kepada khalayak luas. Dalam kaitan ini, dia tidak melakukan pemilahan. Berbagai lapisan masyarakat dia dekati dan dia sirami ajaran Islam: mulai pedagang, tuan tanah yang kaya-raya, sampai rakyat miskin di pinggiran dan pelosok-pelosok.

Di kawasan Ampel Denta Surabaya itu pula, Raden Rahmat mendirikan masjid pertama. Masjid yang kelak dikenal sebagai Masjid Ampel ini dia bangun guna menampung warga yang telah memeluk Islam untuk melakukan ibadah bersama. "Selain mendirikan masjid, Sunan Ampel juga membangun pondok pesantren," ujar HM Amin Fatchur, Sekretaris Pengurus Masjid Ampel.

Pesantren itu sendiri benar-benar dimanfaatkan Sunan Ampel sebagai tempat menggembleng kaum muda menjadi kader-kader dakwah. Hebatnya, mereka tak hanya diajari ilmu agama, melainkan juga ilmu tata negara dan ilmu sosial. Atas dasar itu pula, kelak, mereka terbukti tampil menjadi ahli-ahli dakwah Islamiah yang handal. Mereka tak hanya berkiprah di sekitar Surabaya, melainkan menyebarkan syiar Islam ke berbagai penjuru Nusantara. Beberapa di antara mereka bahkan mengorbit menjadi tokoh karismatik yang sejajar dengan Sunan Ampel sendiri. Sebut saja Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Drajat (Raden Qosim), Sunan Bonang (Raden Makdun Ibrahim), Sunan Kalijaga (Raden Syahid), juga Raden Patah (Raja Demak Bintoro I) serta Raden Bathoro Kalong (Adipati Ponorogo I).

Sunan Ampel sendiri beristrikan dua orang, masing-masing Dewi Candrawati dan Nyai Karimah. Dari Dewi Candrawati, Sunan Ampel beroleh lima anak: tiga perempuan dan dua laki-laki. Uniknya, kelima anak itu menjadi tokoh yang tak bisa dipisahkan dari percaturan dakwah Islamiah di tanah Jawa pada tahap awal ini. Betapa tidak, karena dua anak laki-laki tampil menjadi wali pula: Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Sementara tiga anak perempuan, masing-masing menjadi istri wali: Siti Hafshah menikah dengan Sunan Kalijaga, Siti Muthma'innah menjadi istri Sunan Gunungjati, dan Siti Syari'ah menjadi pendamping hidup Sunan Kudus.

Begitu pula dua anak Sunan Ampel dari Nyai Karimah: Dewi Murthasimah menjadi istri Raden Patah dan Dewi Murtasiyah disunting Sunan Giri. Hebatnya, seluruh anak maupun kedua istri Sunan Ampel ini tak pernah cekcok. Mereka benar-benar menunjukkan teladan tentang harmoni sebuah keluarga besar, sekaligus saling menunjang dalam mengembangkan syiar islam.

Setelah melakukan dakwah Islamiah dalam rentang panjang dan demikian melelahkan, tahun 1478 Sunan Ampel alas Raden Rahmat wafat. Dia dimakamkan di sebelah Masjid Ampel Surabaya. Makam tersebut, hingga kini, senantiasa ramai dikunjungi peziarah.

Oleh M Zen



Sumber: Suara Karya, 17 Desember 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Penyerbuan Lapangan Andir di Bandung

Sebetulnya dengan mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, orang asing yang pernah menjajah harus sudah angkat kaki. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Masih ada saja bangsa asing yang ingin tetap menjajah. Jepang main ulur waktu, Belanda ngotot tetap mau berkuasa. Tentu saja rakyat Indonesia yang sudah meneriakkan semangat "sekali merdeka tetap merdeka" mengadakan perlawanan hebat. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat antara rakyat Indonesia dengan penjajah. Salah satu pertempuran sengit dari berbagai pertempuran yang meletus di mana-mana adalah di Bandung. Bandung lautan api merupakan peristiwa bersejarah yang tidak akan terlupakan.  Pada saat sengitnya rakyat Indonesia menentang penjajah, Lapangan Andir di Bandung mempunyai kisah tersendiri. Di lapangan terbang ini juga terjadi pertempuran antara rakyat Kota Kembang dan sekitarnya melawan penjajah, khususnya yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Lapangan terbang Andir merupakan sala...

Sejarah Lupakan Etnik Tionghoa

Informasi peran kelompok etnik Tinghoa di Indonesia sangat minim. Termasuk dalam penulisan sejarah. Cornelius Eko Susanto S EJARAH Indonesia tidak banyak menulis atau mengungkap peran etnik Tionghoa dalam membantu terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bila diselisik lebih jauh, peran mereka cukup besar dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. "Ini bukti sumbangsih etnik Tionghoa dalam masa revolusi. Peran mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam proses pembentukan negara Indonesia," sebut Bondan Kanumoyoso, pengajar dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dalam seminar bertema Etnik Tionghoa dalam Pergolakan Revolusi Indonesia , yang digagas Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (PPIT) di Depok, akhir pekan lalu. Menurut Bondan, kesadaran berpolitik kalangan Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Dikatakan, sebelum kedatangan Jepang pada 1942, ada tiga golongan kelompok Tionghoa yang bero...