Langsung ke konten utama

Buka dan Sahur Gratis di Masjid Kebon Jeruk: Muslim Tionghoa, Kini Terkenal di Mancanegara

Masjid Kebon Jeruk Jakarta yang bangunan aslinya hanya berukuran 10 x 10 m2 ternyata jauh lebih dikenal di mancanegara dibandingkan dalam negeri. Meski sedikit diragukan, penjaga masjid tersebut, Cecep Firdaus, dan warga sekitarnya menguatkan berita kekondangan itu.

Tempat ibadah di bagian barat Jakarta itu konon dibangun oleh warga keturunan Tionghoa beberapa abad silam, sebagai sarana tempat ibadah orang-orang Islam Tionghoa. Sebelum membangun masjid, muslim Tionghoa disebutkan sering menumpang shalat di masjid orang-orang pribumi, dan mereka sering diperolok karena tidak memiliki sarana ibadah sendiri. Karena sering diperolok itulah, mereka akhirnya membangun masjid/musholla yang sekarang dikenal sebagai masjid Kebon Jeruk, yang terletak di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Masjid Kebon Jeruk konon dibangun oleh seorang kapten (kepala suku) Tionghoa bernama Kapten Tamien Dosol Seeng. Namun, menurut Cecep Firdaus, salah seorang pengurus masjid itu, Kapten Dosol Seeng sampai sekarang tidak diketahui di mana makamnya. Yang tersisa dari perjalanan sejarah pendiri Masjid Kebon Jeruk hanya kuburan kuno yang terdapat di halaman masjid. Kuburan kuno tersebut konon adalah makam Ny Fatima Hu yang disebut-sebut istri pendiri masjid itu.

"Khabarnya pendiri Masjid Kebon Jeruk meninggal di daerah Cirebon," ungkap Cecep Firdaus. Dia mengaku belum tahu secara jelas latar belakang pendirian masjid itu oleh orang-orang Tionghoa. Sedangkan menurut Candrian, Kepala Seksi Sejarah dan Arkeologi Dinas Musium DKI Jakarta, pendirian masjid Kebon Jeruk mengandung muatan politis.

Candrian menjelaskan, setelah terjadi pemberontakan orang-orang Cina tahun 1740, masyarakat Tionghoa yang semula tinggal di lingkungan Kasteel akhirnya diusir oleh VOC. Mereka kemudian menetap di suatu lingkungan di luar Kasteel. Karena orang-orang yang menetap di luar Kasteel umumnya pribumi beragama Islam, warga Tionghoa akhirnya memilih masuk Islam dan membangun tempat ibadah sendiri agar keberadaannya diterima oleh masyarakat sekitarnya.

"Setelah terancam diusir dari Batavia tahun 1740, mereka mendirikan masjid. Boleh jadi sebagai suatu strategi agar bisa bergaul dengan orang-orang di luar Kasteel," kata Candrian.

Sedangkan persi Cecep, masjid itu dibangun oleh orang Tionghoa keturunan Yunan yang memang muslim tulen. Namun, seperti yang disebutkan oleh F De Hand dalam bukunya yang berjudul Oud Batavia, memang ada keganjilan pada bangunan tempat ibadah itu. Karena, ada beberapa bagian dari bangunan tersebut menyalahi aturan Qur'an. Antara lain gambar binatang dan manusia terdapat pada tegelnya. Keganjilan lain menurut Hand juga tampak pada kuburan Ny Fatima Hu. Makam Islam dengan tulisan Cina dan Arab dengan gambar ornamen Cina yang penuh dengan kepala-kepala naga liong dianggap berhala oleh orang-orang muslim.

Masjid yang pada awal pendiriannya hanya digunakan oleh orang muslim Tionghoa ini dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Jemaah yang datang ke masjid itu sekarang umumnya orang-orang pribumi, dan hanya sebagian kecil saja muslim Tionghoa. Hal itu terjadi karena mayoritas warga yang bermukim di sekitar masjid adalah keturunan Tionghoa yang umumnya bukan muslim.

"Orang-orang muslim Tionghoa hanya sebagian kecil saja datang ke sini. Mereka juga umumnya tidak aktif dalam kepengurusan masjid," ungkap Cecep.

Jemaah Mancanegara

Menurutnya, jemaah Masjid Kebon Jeruk bukan hanya warga sekitarnya atau Jakarta saja. Tetapi tidak sedikit dari jemaah dan santri datang dari berbagai pelosok di Indonesia, yang tujuannya untuk mendalami ilmu agama di masjid tersebut.

Bahkan, menurut Cecep, yang sudah 31 tahun menjabat sebagai pengurus Masjid Kebon Jeruk, jemaah dari luar negeri pun banyak yang singgah untuk menyampaikan syiar Islam di masjid tersebut. "Mereka ada yang datang dari Pakistan, Arab, Cina, Australia, Amerika, Yordan, dan beberapa negara lainnya. Rombongan ini biasanya tinggal sementara di masjid. Bahkan ada yang lebih dari sebulan," tuturnya.

Lebih lanjut Cecep memaparkan, selain menjadi tempat favorit bagi para jemaah dari luar negeri, Masjid Kebon Jeruk kerap dijadikan sebagai transit bagi jemaah yang akan menyebarkan syiar Islam di propinsi dan masjid lainnya di Jakarta. "Sebelum pergi ke Sulawesi, Riau, atau propinsi lainnya, mereka singgah lebih dulu di masjid ini," cerita Cecep.

Kedatangan rombongan umat muslim dari berbagai negara ini, menurut Cecep, memberikan nuansa tersendiri bagi para jemaah. Selain lebih semarak, dakwah terasa lebih variatif. "Cara mereka mendakwah juga memberikan kesan yang dalam bagi umat. Dan, mereka datang dengan ikhlas dan atas biaya sendiri," paparnya.

Semarak dakwah ini mengundang jemaah sampai berjubel. Terlebih pada malam Jumat. "Malam Jumat jemaah sampai ke halaman masjid," ujarnya.

Keunggulan metode dakwah yang mereka gunakan bukan dalam ceramah semata, tetapi lebih pada praktiknya. "Mereka tidak hanya ceramah tetapi sekaligus mendidik bagaimana menjadi umat Islam yang sesungguhnya, mulai dari cara berpikir sampai pada cara berperilaku. Dipesankan juga bahwa ibadah bagi umat Islam bukan hanya menjalankan shalat dan ngaji saja," papar Cecep.

Menurut Cecep, Masjid Kebon Jeruk memiliki kekhasan saat Ramadhan. "Masjid lain hanya menyediakan makanan berbuka, kami di sini selain menyediakan makanan berbuka, juga menyediakan makanan sahur untuk seluruh jemaah," katanya. Kekhasan lain yang menjadi ciri khusus Masjid Kebon Jeruk, bacaan yang dibacakan saat shalat Tarawih. Di masjid-masjid lain umumnya ayat-ayat suci Al-Qur'an dibacakan saat shalat Tarawih dipilih ayat-ayat pendek. Sedangkan di Masjid Kebon Jeruk imam harus mengkhatamkan 30 juz dalam shalat Tarawihnya. "Jadi, bagi yang ogah-ogahan shalat Tarawih, lebih baik tidak shalat di sini," tambahnya.

(Ina Indriana/Deti).


Sumber: Suara Karya, 27 Desember 1999

 

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan