Langsung ke konten utama

Sunan Gunungjati Piawai dalam Diplomasi dan Dakwah

Peran kewalian Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati bertalian dengan posisi Muara Jati (Cirebon) sebagai pusat bandar yang ramai. Pada awal abad ke-15 itu, jauh sebelum Syarif Hidayatullah lahir, daerah pesisir utara Jawa memang sudah menjadi pusat perniagaan. Pedagang-pedagang asing, terutama bangsa Cina, Campa (Kamboja), dan Gujarat (India), turut meramaikan suasana perniagaan di Muara Jati ini.

Penduduk sekitar Muara Jati sendiri--wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran--ketika itu dikenal sebagai pelaut. Ikan (udang rebon) hasil tangkapan di laut sudah lazim mereka olah menjadi terasi dan petis.

Itu pula, sebenarnya, yang banyak menarik kedatangan pedagang-pedagang asing ke Muara Jati. Tapi terutama mereka yang datang dari Gujarat, kehadiran di daerah itu bukan melulu berdagang. Mereka juga aktif melakukan syiar Islam.

Kendati demikian, tonggak penyebaran Islam di Muara Jati atau Cirebon, terutama mencorong setelah seorang pedagang Baghdad (Irak) bernama Syeh Idhofi Mahdi menetap di sana. Penguasa Muara Jati bukan saja memberi izin menetap, melainkan juga memberinya sebidang tanah di daerah Pasambang yang kemudian dikenal sebagai Gunungjati.

Dengan itu, Syeh Idhofi benar-benar leluasa melakukan syiar Islam. Dalam konteks itu, dia tidak bersikap-tindak frontal. Keyakinan Hindu yang dianut masyarakat Muara Jati ketika itu sama sekali tidak dia tentang. Bahkan, dalam melakukan syiar Islam, dia melakukan pendekatan sesuai kebiasaan ritual Hindu. Dalam berdzikir, misalnya, dia meniru gaya semedi.

Pendekatan itu serta-merta mengundang simpati masyarakat. Tanpa diseru-seru, mereka tergerak sendiri menelisik ajaran Islam yang dianut Syeh Idhofi. Tak terkecuali dua putera Raja Padjajaran: Raden Walangsungsang dan Raden Rarasantang. Mereka berdua ini, berlakangan, bahkan menyatakan masuk Islam dan menjadi murid Syeh Idhofi.

Tak ayal lagi, itu membuat Gunungjati--perguruan Syeh Idhofi--kian banyak dikunjungi masyarakat Muara Jati. Terlebih setelah Walangsungsang dan Rarasantang menunaikan ibadah haji.

Tapi kepergian kedua kakak beradik ke tanah suci itu ternyata bukan sekadar berhaji. Mereka juga menetap sekian lama untuk mendalami Islam. Guru mereka adalah Syeh Bayanillah yang sekaligus menyediakan tempat bermukim.

Selama bermukim di tanah suci itu Rarasantang bertemu jodoh. Dia dinikahi Syarif Abdillah, penguasa Kota Ismailiyah. Pernikahan mereka ini kemudian melahirkan Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Namun pernikahan itu pula yang di kemudian hari membuat Rarasantang tak bisa menemani Walangsungsang kembali ke kampung halaman. Maklum karena dia menjadi pembesar Ismailiyah.

Waktu terus bergulir. Tanpa terasa kedua anak Rarasantang menginjak usia remaja. Suatu hari, saat berusia 21 tahun, Syarif Hidayatullah ditunjung sang ayah untuk menggantikan kedudukannya selaku penguasa Kota Ismailiyah. Tapi Syarif Hidayatullah ternyata menampik penunjukan itu. Dia malah mengutarakan keinginan untuk berkelana ke negeri sang ibu. 

Keinginan itu didukung Rarasantang, sang ibu, yang diam-diam memendam kerinduan mendalam akan tanah kelahiran. Karena tak bisa dibendung-bendung lagi, Syarif Abdillah pun akhirnya mengabulkan keinginan sang anak. Dia juga malah merelakan Rarasantang turut serta bersama sang anak menjenguk negeri kelahiran.

Perjalanan pulang ke Jawa itu ternyata memakan waktu hampir 3 tahun. Ini karena ibu dan anak itu menyempatkan bermukim di Baghdad, Cina, dan Campa. Di ketiga negeri itu, mereka berdua mendalami Islam.

Syarif Hidayatullah dan Rarasantang baru mendarat di Muara Jati pada 1475. Di tanah leluhur ini, Syarifidayatullah langsung aktif menjadi dai. Berbekal keterampilan berbahasa Sunda dan Arab yang sudah dikuasai sejak di negeri Arab, kiprah Syarif Hidayatullah ini langsung mengundang simpati masyarakat.

Karena itu bisa dipahami jika dalam tempo singkat nama Syarif Hidayatullah sudah membahana ke seantero Kerajaan Pajajaran. Bahkan, belakangan, kemasyhurannya itu meluas hingga ke seluruh tanah Jawa. Tak heran jika kekerabatan 8 wali yang saat itu sudah terbentuk pun merasa tergerak untuk mengenalinya langsung. Mereka berdelapan, meski belum pernah bertatap muka, sudah menaruh kagum terhadap Syarif Hidayatullah ini yang dikenal menimba ilmu langsung di negeri kelahiran Islam.

Suatu hari, atas prakarsa Sultan Demak, Syarif Hidayatullah diundang mengikuti musyawarah delapan wali. Dalam kesempatan itulah dia resmi ditetapkan menjadi penyebar Islam di Jawa belahan barat. Dengan demikian, dia melengkapi kekerabatan delapan wali menjadi sembilan orang. Dalam kaitan ini, dia memperoleh julukan Sunan Gunungjati. 

Belakangan, Syarif Hidayatullah menikahi puteri Prabu Cakrabuana--Sultan Pakuwangi, yang notabene adalah pamannya sendiri. Pernikahan itu pula yang kemudian mengantarkannya menjadi penguasa Kerajaan Pakuwangi. Dengan demikian, Syarif Hidayatullah menyandang dua peran sekaligus: ulama dan umaro.

Di bawah kepemimpinan Sunan Gunungjati, yang memiliki 4 istri termasuk satu keturunan cina. Kesultanan Pakuwangi kian mencorong dan disegani. Berkat keahliannya berdiplomasi, dia berhasil menjalin kerja sama di bidang pertahanan dengan Kerajaan Demak dan Sedayu (Gresik), Sunan Gunungjati juga membawa Pakuwangi bermesraan dengan sejumlah kerajaan kecil lain di Jawa serta Campa dan Cina. 

Kenyataan itu rupanya membuat gerah Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Mereka terancam, dia mengirimkan sekitar 600 tentara ke Pakuwangi untuk meringkus Sunan Gunungjati. Tapi itu ternyata kandas. Malah, berkat diplomasi bercampur dakwah yang begitu piawai ditunjukkan Sunan Gunungjati, pasukan Pajajaran yang siap tempur itu luluh hati dan menyatakan masuk Islam. Secara politik, mereka juga membelot: memperkuat pasukan Pakuan. Mereka ini pula, antara lain, yang berperan dalam penaklukan Pakuwangi atas Kerajaan Banten dan Sunda Kelapa.***

Oleh Sisdiono Ahmad



Sumber: Suara Karya, 24 Desember 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa 40 Tahun Silam: Taruna "Militaire Academie" Berusaha Melucuti Senjata Tentara Jepang

I NDONESIA pernah memiliki akademi militer (akmil) yang berumur sekitar 5 bulan, tapi menghasilkan lulusan "Vaandrig" (Calon Perwira) berusia muda. Selama dalam pendidikan para tarunanya telah mengalami pengalaman heroik dan patriotik. Akmil itu adalah "MA (Militaire Academice) Tangerang". Sabtu pagi ini, para alumni MA Tangerang akan mengadakan apel besar di Taman Makam Pahlawan Taruna, Jl Daan Mogot, Tangerang, Jawa Barat. Selain untuk memperingati berdirinya akmil itu, apel sekaligus untuk memperingati 40 tahun "Peristiwa Pertempuran Lengkong (PPL)". Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Jenderal (Purn) H Surono akan bertindak sebagai inspektur upacara. PPL meletus 25 Januari 1946. Ketika itu taruna MA Tangerang yang menjadi inti pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dalam usahanya melucuti tentara Jepang di Lengkong, Kecamatan Serpong Tangerang, terjebak dalam pertempuran yang tidak seimbang. Direktur MA Tangerang, Mayor Daan Mogot...

Harun Nasution: Ajarah Syiah Tidak Akan Berkembang di Indonesia

JAKARTA (Suara Karya): Ajarah Syiah yang kini berkembang di Iran tidak akan berkembang di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar dalam aqidah dengan ajaran Sunni. Hal itu dikatakan oleh Prof Dr Harun Nasution, Dekan pasca Sarjana IAIN Jakarta kepada Suara Karya  pekan lalu. Menurut Harun, ajaran Syiah Duabelas di dalam rukun Islamnya selain mengakui syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat juga menambahkan imamah . Imamah artinya keimanan sebagai suatu jabatan yang mempunyai sifat Ilahi, sehingga Imam dianggap bebas dari perbuatan salah. Dengan kata lain Imam adalah Ma'sum . Sedangkan dalam ajaran Sunni, yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia berkeyakinan bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang Ma'sum. Imam hanyalah orang biasa yang dapat berbuat salah. Oleh karena Imam bebas dari perbuatan salah itulah maka Imam Khomeini di Iran mempunyai karisma sehingga dapat menguasai umat Syiah di Iran. Apapun yang diperintahkan oleh Imam Khomeini selalu diturut oleh umatnya....

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Gedung Kebangkitan Nasional Lebih Dikenal Kalangan Pelajar

Ruang "Anatomi" hanyalah sebuah ruangan kecil yang terletak di salah satu sudut gedung. Tapi dibanding dengan ruangan lain yang ada di komplek Gedung Kebangkitan Nasional, ruang "Anatomi" merupakan ruang yang paling bersejarah. Di ruang berukuran 16,7 x 7,8 meter itulah lahir perkumpulan Budi Oetomo. Budi Oetomo yang dilahirkan 20 Mei 1908 oleh para pelajar sekolah kedokteran Stovia adalah organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia yang merintis jalan ke arah pergerakan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Jadi tepat sekali kalau gedung eks-Stovia itu dinamakan Gedung Kebangkitan Nasional (GKN). Di dalam gedung tersebut terdapat Museum Kebangkitan Nasional yang bertugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penerbitan, pemberian bimbingan edukatif kultural, perpustakaan, dokumentasi, dan penyajian benda-benda bernilai budaya dan ilmiah yang berhubungan dengan sejarah kebangkitan nasional. Peranan Museum Kebangkitan Nasiona...

Ritual Nasional yang Lahir dari Perlawanan Surabaya

Oleh Wiratmo Soekito P ERLAWANAN organisasi-organisasi pemuda Indonesia di Surabaya selama 10 hari dalam permulaan bulan November 1945 dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Inggris yang dibantu dengan pesawat-pesawat udara dan kapal-kapal perang memang tidak dapat mengelakkan jatuhnya kurban yang cukup besar. Akan tetapi, hasil Perlawanan Surabaya itu bukannya  kekalahan, melainkan, kemenangan . Sebab, hasil Perlawanan Surabaya itulah yang telah menyadarkan Inggris untuk memaksa Belanda agar berunding dengan Indonesia sampai tercapainya Perjanjian Linggarjati (1947), yang kemudian dirusak oleh Belanda, sehingga timbullah perlawanan-perlawanan baru dalam Perang Kemerdekaan Pertama (1947-1948) dan Perang Kemerdekaan Kedua (1948-1949), meskipun tidak semonumental Perlawanan Surabaya. Gugurnya para pahlawan Indonesia dalam Perlawanan Surabaya memang merupakan kehilangan besar bagi Republik, yang ketika itu baru berumur 80 hari, tetapi sebagai martir, mereka telah melahirkan satu ri...

Lahirnya Bangsa Indonesia

Oleh Onghokham SETIAP tahun Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, hari yang cukup penting sebagai hari peringatan nasional, yang melebihi hari-hari peringatan nasional lain, seperti Hari Kartini, Hari Kebangkitan Nasional, dan lain-lain. Dalam tulisan ini kami akan mencoba menempatkannya dalam proporsi sejarah Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda-pelajar di kota yang dahulu disebut Batavia, ibukota Hindia Belanda, dan kini menjadi Jakarta, ibukota Republik Indonesia, mengucapkan Sumpah Pemuda. Peristiwa ini patut disebut pembentukan atau proklamasi adanya bangsa ( nation ) Indonesia. Konsep bangsa ini lahir dari proses apa yang disebut dalam sejarah kita pergerakan nasional. Ia diambil dari definisi bangsa ( nation ) di Eropa, khususnya dari Ernest Renan, yang mengatakan bahwa bangsa menempati satu wilayah tertentu, berbahasa satu, dan yang terpenting merasa senasib dan seperjuangan. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 juga bukan yang pertama kali mencetu...