Langsung ke konten utama

Syeh Maulana, Akhirnya Kondang dengan Nama Sunan Gribig

Di antara sembilan wali, Syeh Maulana Malik Ibrahim merupakan wali tertua. Semula, dalam melakukan syiar Islam, dia aktif melakukan dakwah keliling. Berbagai tempat di seputar Jatim dia datangi dalam rangka menebarkan ajaran tauhid dan nilai-nilai Islam ini. Tapi, mungkin karena faktor fisik, belakangan dia menetap di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Di tempat itu pula dia mengakhiri hayat.

Sejauh ini, asal-usul Syeh Maulana masih simpang-siur. Kalangan ahli sejarah, dalam kaitan ini, tak kunjung mencapai mufakat. Ada ahli yang menyebutkan bahwa Syeh Maulana berasal dari Gujarat (India). Ada pula ahli yang berkeyakinan bahwa dia merupakan pendatang dari jazirah Arab. Di luar itu, masih ada versi lain yang menyebutkan bahwa muasal Syeh Maulana justru dari Persia (Iran). 

Namun lepas dari soal itu, semua sepakat bahwa peran Syeh Maulana dalam penyebaran awal Islam di tanah Jawa--seperti juga delapan wali lain--demikian besar. Tak satu pun pihak yang membantah soal itu. 

Semasa hidup, Syeh Maulana kadang dipanggil Syeh Magribi. Tapi seiring aktivitas syiar Islam yang dia lakukan, dia lebih kondang dikenal sebagai Sunan Gribig.

Di Desa Leran, Sunan Gribig ini sempat mendirikan masjid yang sangat legendaris karena merupakan rumah ibadah umat Muslim pertama di tanah Jawa. Masjid itu pula yang menjadi basis dia dalam mengembangkan dakwah. Betapa tidak, karena berbagai bentuk kegiatan dakwah dirancang cermat. Selebihnya, masjid itu menjadi magnet yang menyedot masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam.

Di samping karena metode dan muatan dakwah Sunan Gribig yang sangat memikat sekaligus menyentuh kalbu, masjid itu mampu menyedot orang masuk Islam karena sosok arsitekturnya bernuansa kultur Hindu-Budha yang ketika itu dianut masyarakat luas. Bahkan, secara keseluruhan, bangunan masjid itu mirip candi.

Sosok itu, barangkali, sungguh membuat masyarakat Hindu-Budha pada masa itu merasa genah alias tak rikuh untuk memasukinya. Terlebih karena penamaan atas pintu gerbangnya sendiri menjanjikan ketenteraman batin. Sunan Grebek sengaja memberi nama gapura pada pintu gerbang itu sebagai simbol pengampunan segala dosa. Gapura, memang, berasal dari khasanah bahasa Arab dan mengandung arti "pengampunan". Jadi, dengan memasuki masjid itu, orang boleh berharap memperoleh ampunan atas segala dosa di masa lalu. 

"Sikap-tindak Syeh Maulana Ibrahim memang sangat akomodatif dan menghormati kultur lama. Karena itu, dakwah-dakwah yang dia sampaikan mudah diterima masyarakat. Gaya seperti itu jelas patut dicontoh para juru dakwah sekarang ini," tutur Choirul Fathoni, juru dakwah asal Surabaya. 


***


Syeh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gribig wafat pada 882 Hijriyah atau 1419 Masehi. Jasadnya dimakamkan di kawasan Gresik. Karena merupakan wali paling senior, banyak umat Muslim yang sengaja mendahulukan berziarah ke makam itu sebelum ke makam wali-wali lain--khususnya yang terserak di Jatim.

Lima di antara sembilan wali memang dimakamkan di daerah Jatim. Mereka adalah Sunan Gribig, Sunan Giri, Sunan Drajat--ketiganya di Gresik--, Sunan Ampel di Surabaya, serta Sunan Bonang di Tuban. Karena jarak antarmakam lima wali itu relatif tak terlalu jauh, bisa dipahami jika banyak umat Muslim yang berziarah secara paralel: mendatangi kelima makam itu satu per satu. Tapi, itu tadi, makam Sunan Gribig acap menjadi pilihan pertama.

Karena itu pula, makam Sunan Gribig tak pernah sepi peziarah. Saban hari, rombongan peziarah dari berbagai daerah selalu mengalir. Terlebih pada setiap Kamis petang dan Jumat malam, kehadiran peziarah ini selalu membeludak.

Pada bulan Sya'ban dan Ramadhan, suasana makam Sunan Gribig yang sarat diluberi peziarah itu praktis berlangsung setiap saat. Dari detik ke detik, peziarah praktis tak kunjung surut. Boleh jadi karena memiliki makna istimewa, selama Sya'ban dan Ramadhan arus peziarah terus meluap silih berganti. Selama di lokasi makam, mereka mengumandangkan tahlil dan doa kepada Allah atas segala jasa besar Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam sejarah perkembangan Islam.

"Berdoa kepada Allah memang bisa dilakukan di mana saja. Namun saat berziarah di makam Syeh Maulana Malik Ibrahim ini, kita merasakan nuansa istimewa yang membuat hati menjadi tenang dan tenteram," papar Rahmadi, warga Pasuruan yang ditemui sedang berziarah di makam Sunan Gribig, belum lama ini.

Oleh M Zen



Sumber: Suara Karya, 27 Desember 1999




Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan