Langsung ke konten utama

Sunan Muria Syiarkan Islam Lewat Seni

Colo hanya sebuah desa kecil berjarak sekitar 18 km arah utara Kudus, Jateng. Desa ini terletak di lereng bukit Muria yang berketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut. Desa ini selalu hingar-bingar dan padat pengunjung. Mereka terutama para peziarah makam Sunan Muria, salah seorang wali songo (wali sembilan). 

Di bukit itulah, memang, jasad Sunan Muria dimakamkan. Colo sendiri, dulu merupakan kawasan terisolasi. Tapi seiring arus peziarah yang kian mengalir deras, juga wisatawan yang terpesona oleh keindahan air terjun Monthel, kawasan tersebut kini telah dikembangkan menjadi obyek wisata andalan di Kudus. Di sana banyak berdiri villa.

Karena itu, terutama Minggu atau hari libur nasional, Colo selalu diluberi pengunjung. Terlebih pada hari-hari ziarah Sunan Muria, yakni Kamis legi dan Jumat pahing, pengunjung benar-benar membludak.

Untuk menuju lokasi makam Sunan Muria yang terletak di puncak bukit ini, peziarah harus mendaki ratusan tangga (undakan). Ini sungguh menguras tenaga. Maklum karena ketinggian yang harus ditempuh mencapai lebih 750 meter. Karena itu, tak sedikit peziarah yang "mogok" di tengah jalan. Tapi mereka yang tak cukup memiliki kekuatan fisik bisa memanfaatkan jasa ojek. Tarifnya hanya Rp 2.500 sekali jalan.

Selain menjadi mubaligh, Sunan Muria juga dikenal sebagai seniman. Bakat dan kemampuan seninya banyak dikagumi orang. Tembang-tembang sinom atau kinanti yang dia ciptakan, misalnya, begitu kuat mengimbaskan romantisme.

Kemampuan seni itu pula yang menjadi penunjang Sunan Muria dalam menyebarkan syiar Islam. Dalam konteks ini, dia menggunakan gamelan serta tembang Jawa sebagai media penggugah kesadaran orang untuk mengikuti langkahnya memeluk Islam.

Namun berbeda dengan sunan-sunan lain, Sunan Muria tak memilih daerah perkotaan sebagai kawasan dalam melakukan syiar Islam ini. Sesuai dengan sikap hidupnya yang suka menyendiri di tempat tenang, kegiatan itu dia pusatkan di daerah pedesaan sekitar Gunung Muria. Itu membentang di pantai utara Jepara, Tayu, Pati, dan Juana.

Dalam praktik, Sunan Muria tak selalu memanfaatkan kesenian sebagai media syiar Islam. Menurut catatan, kegiatan tersebut juga dia tempuh melalui kursus-kursus. Itu dia terapkan kepada berbagai kelompok masyarakat: petani, pedagang, juga nelayan. Dengan itu pula, dalam keseharian, Sunan Muria lebih menyatu bersama rakyat. 

Seperti juga Sunan Kalijaga, Sunan Muria merupakan wali yang sangat njawani. Itu pula yang membuat penampilannya dalam melakukan syiar Islam tak bersosok ulama kearab-araban. Dalam melakukan kegiatan itu, Sunan Muria justru tampil dalam sosok mubaligh atau kyai yang sangat kental memancarkan kepribadian Jawa. Konon, itu merupakan manifestasi pandangan hidupnya yang teguh berfalsafah Islam namun tetap mengagungkan budaya Jawa, terutama di bidang kesenian.

Karena itu pula, Sunan Muria teguh dan konsisten menyokong pendirian Sunan Kalijaga yang memanfaatkan kesenian (Jawa) sebagai media dakwah Islamiah. Tapi, boleh jadi, itu juga merupakan strategi dalam melicinkan syiar Islam. Dalam konteks ini, dia sadar betul bahwa jika kegiatan itu ditempuh seraya menabrak nilai-nilai Jawa pada masa itu, masyarakat Jawa sulit diseru masuk Islam. Bahkan, bisa-bisa masyarakat justru menunjukkan perlawanan terhadap kiprah Sunan Muria dalam melakukan syiar Islam ini.

Dengan kata lain, bagi Sunan Muria--sebagaimana pula Sunan Kalijaga--pemanfaatan nilai (seni) Jawa dalam melaksanakan penyebaran ajaran Islam itu bukan sebuah kebetulan. Malah, sejatinya, strategi itu pula yang menjadi salah satu kunci keberhasilan Sunan Muria dalam melakukan syiar Islam.

Kiprah Sunan Muria dalam konteks sejarah awal penyebaran Islam di Jawa, seperti juga wali-wali lain, sungguh tak ternilai. Hanya, sayang, silsilah tentang dirinya sendiri hingga kini masih sarat terbalut ketidakjelasan. Silsilah yang beredar di masyarakat terbelah dalam beberapa versi. Ada yang menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga. Itu antara lain begitu panjang-lebar terpapar dalam buku karya CLN van den Berg: De Hadramaut et les Colonies Arabes dang'l Archipel Indien.

Tapi versi lain justru membeberkan bahwa dia merupakan putera Sunan Ngudung. Siapa Sunan Ngudung sendiri, tak jelas. Karena itu, jelas, masalah ini menjadi tantangan bagi kalangan sejarawan. Betapapun, memang, terlampau naif jika tokoh penting dalam sejarah Islam di Jawa ini tetap terbalut tabir ketidakjelasan.***

Oleh Pudyo Saptono



Sumber: Suara Karya, 13 Desember 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rangkaian Peristiwa Bandung Lautan Api (4) Perintah: Bumi-hanguskan Semua Bangunan

Oleh AH NASUTION Bandung Lautan Api Setelah di pos komando, oleh kepala staf diperlihatkan "kawat dari Yogya" tanpa alamat si pengirim: "Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan." Maka mulailah perundingan-perundingan, dengan sipil, dengan badan perjuangan dan dengan komandan-komandan resimen 8 serta Pelopor. Pihak sipil meminta sekali lagi kepada panglima div Inggris untuk menunda batas waktu, agar rakyat dapat ditenangkan dan diatur. Tapi Inggris menolak. Walikota berpidato, bahwa pemerintah sipil menaati instruksi pemerintah pusat dan akan tetap berada bersama rakyat di dalam kota. Letkol. Sutoko menyarankan: ke luar bersama rakyat. Letkol Omon A. Rahman menyatakan: resmi taat, tapi sebagai rakyat berjuang terus. Mayor Rukmana: ledakan terowongan Citarum di Rajamandala, supaya kita buat "Bandung Lautan Api" dan "Bandung Lautan Air". Keadaan amat emosional Sebagai panglima penanggung jawab saya putuskan akhirn...

Putusan Congres Pemuda-pemuda Indonesia

K ERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja : Jong Java, Jong Soematera (pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan perhimpoenan. Memboeka rapat tanggal 27 dan 28 October tahun 1928 dinegeri Djakarta ; Kerapatan laloe mengambil poeteoesan :  PERTAMA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. KEDOEA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JG SATOE, BANGSA INDONESIA. KETIGA : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJUNGDJUNG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloerkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatuannja : Kemaoean, sedjarah, bahasa hoekoem adat...

Kemerdekaan, Hadiah dari Siapa?

Oleh ERHAM BUDI W. ANAK  bangsa adalah anak sejarah sekaligus ahli waris kisah. Mewarisi kisah berarti juga mewarisi semangat. Dengan semangat itulah, kisah selanjutnya akan ditorehkan oleh para penerus. Berkaitan dengan ulang tahun kemerdekaan yang lusa kita peringati bersama, pertanyaan kritis yang kerap muncul adalah benarkah kemerdekaan yang kita peroleh merupakan buah perjuangan? Ataukah hadiah belaka? Kemerdekaan memang bisa dimaknai sebagai hadiah, tapi tentu bukan pemberian cuma-cuma. Hadiah dari Jepang? Kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang. Asumsi tersebut sebenarnya cukup beralasan. Gagasan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia muncul pada 7 September 1944 melalui pernyataan PM Koiso Kuniaki yang menggantikan Hideo Tojo. Sejak saat itulah, Sang Saka Merah Putih boleh dikibarkan. Bahkan, Laksamana Muda Maeda Tadashi mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta serta membantu biaya perjalanan Sokarno dan Hatta ke beberapa...

"Abangan"

Oleh AJIP ROSIDI I STILAH abangan berasal dari bahasa Jawa, artinya "orang-orang merah", yaitu untuk menyebut orang yang resminya memeluk agama Islam, tetapi tidak pernah melaksanakan syariah seperti salat dan puasa. Istilah itu biasanya digunakan oleh kaum santri  kepada mereka yang resminya orang Islam tetapi tidak taat menjalankan syariah dengan nada agak merendahkan. Sebagai lawan dari istilah abangan  ada istilah putihan , yaitu untuk menyebut orang-orang Islam yang taat melaksanakan syariat. Kalau menyebut orang-orang yang taat menjalankan syariat dengan putihan  dapat kita tebak mungkin karena umumnya mereka suka memakai baju atau jubah putih. Akan tetapi sebutan abangan-- apakah orang-orang itu selalu atau umumnya memakai baju berwarna merah? Rasanya tidak. Sebutan abangan  itu biasanya digunakan oleh orang-orang putihan , karena orang "abangan" sendiri menyebut dirinya "orang Islam". Istilah abangan  menjadi populer sejak digunakan oleh Clifford ...