Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa merupakan tiga pokok substansial yang dapat mempersatukan keberagaman etnis, bahasa, dan budaya ke dalam satu wadah yang bernama Indonesia. Mengingat demikian pentingnya peristiwa tersebut bagi upaya pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara nasional setiap tanggal 28 bulan Oktober selalu dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Satu hal yang barangkali agak terlupakan oleh kita, ketika memperingati hari bersejarah ini, adalah sebuah museum yang bernama Museum Sumpah Pemuda dan terletak di Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat. Di museum inilah, ikrar itu diucapkan. Di gedung ini pulalah, Wage Rudolf Supratman menggesekkan biolanya, melantunkan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Segala proses yang menyangkut lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam, tertata secara apik lewat sajian foto dan patung di museum yang tidak begitu luas ruangannya ini.
Sarana Pembinaan
Berbeda dengan museum-museum lainnya di Jakarta, Museum Sumpah Pemuda ini lebih menitikberatkan pada segi edukatif (terutama pembinaan generasi muda) ketimbang segi rekreatif (baca: obyek wisata). "Lewat berbagai kegiatan yang kami gelar setiap tahunnya, konsep persatuan dan kesatuan bangsa yang tersirat pada Sumpah Pemuda, kami tanamkan kepada generasi muda sekarang," kata Kepala Museum Sumpah Pemuda Drs Achmad Latuconsina ketika ditemui Suara Karya di ruang kerjanya, Jumat (28/10).
Namun demikian, Achmad mengakui bahwa museum yang dikelolanya ini bisa dikembangkan menjadi obyek wisata budaya. "Yang penting buat kami adalah terus melakukan pembinaan kepada generasi muda akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa," tegas Achmad. Lewat subsidi pemerintah yang hanya Rp 200 juta setiap tahunnya, ucapnya lebih lanjut, pihak Museum Sumpah Pemuda berupaya semaksimal mungkin menggelar berbagai kegiatan yang ditujukan guna memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa kepada generasi muda.
Menurut Achmad, pengunjung yang datang ke museum ini, setiap harinya rata-rata berkisar antara 10 hingga 15 orang. Dan itu pun sembilan puluh persen adalah pelajar yang memang sengaja datang dalam rangka karya tulis yang ditugaskan gurunya. Kegiatan yang biasa digelar di antaranya adalah lomba baca puisi, ceramah, pameran. Ketika Suara Karya berkunjung ke museum ini, memang sedang berlangsung pameran foto "Kepeloporan Pemuda" (23 - 29/10) yang menampilkan foto-foto aktivitas pemuda sejak Budi Utomo di tahun 1908 hingga sekarang.
Tempat Kost
Gedung tempat dilaksanakannya ikrar Sumpah Pemuda 66 tahun silam ini (yang saat itu terkenal dengan sebutan Gedung Keramat 106), awalnya merupakan tempat kost para mahasiswa Jawa (Young Java) yang sedang menuntut ilmu di Jakarta pada tahun 1925 dengan bayaran sekitar F 7,5 setiap bulannya. Pemiliknya adalah seorang Cina yang bernama Sie Kong Lian.
Di antara sejumlah tokoh sejarah yang pernah kost di Gedung ini, adalah (alm) Moh Yamin. Selain sebagai tempat tinggal (kost), tempat ini juga dijadikan sebagai tempat diskusi politik dan tempat latihan kesenian Jawa "Langen Siswo".
Dalam situasi pergerakan pemuda tahun 1927 (terutama setelah Kongres Pemuda I tahun 1926), Gedung Keramat 106 tidak dipakai oleh Yong Java saja, tapi juga sering dipakai oleh golongan mahasiswa dari berbagai daerah lain dan organisasi kepanduan (Pramuka). Pada awal tahun 1928, Gedung Keramat 106 telah menjadi tempat pertemuan pemuda nasional (tidak lagi terpilah menurut kesukuan, sebagaimana pada Kongres Pemuda I).
Gedung ini lantas diberi nama "Indonessische Clubgebouw" (IC/Gedung Klub Indonesia). Papan nama IC kemudian dipancangkan di depan Gedung Keramat 106. Tindakan ini bisa dikatakan merupakan tindakan berani, karena pada saat itu pemerintah Hindia Belanda melarang pemancangan papan nama yang berbau Indonesia.
Diskusi-diskusi politik tentang tanah air, bangsa, bahasa dan negara yang merdeka, terus mereka gelar di Gedung ini. Padahal saat itu, pemerintah Hindia Belanda melarang terus diskusi-diskusi politik dengan topik serupa itu. Hal ini terus berlangsung hingga keputusan untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda kedua tahun 1928.
Riwayat IC Keramat 106, berakhir sekitar tahun 1934, yang sekaligus pula menandakan bubarnya kegiatan IC di gedung ini. Bubarnya kegiatan IC di gedung ini, konon kabarnya, gara-gara IC tidak membayar sewa selama beberapa bulan kepada pemiliknya. Oleh pemiliknya, gedung ini kemudian disewakan kepada seorang Cina lainnya yang bernama Pang Tjeng Yam. Baru pada tahun 1968, Pemda DKI Jakarta membeli gedung ini dari pemiliknya dan kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. (Hasanudin)
Sumber: Suara Karya, 29 Oktober 1994
Komentar
Posting Komentar