SEPANJANG Desember, mayat-mayat bersimbah darah tampak bergelimpangan di mana-mana. Pekik pembantaian terus terdengar dari kampung ke kampung di Tanah Makassar. Ribuan anak histeris, pucat pasi menyaksikan tragedi yang sangat menyayat itu. Tak ada ayah, tak ada ibu lagi. Sanak saudara korban pun terbantai. Lalu, tersebutlah Kapten Reymond Westerling, seorang Belanda yang mengotaki pembantaian membabi buta terhadap rakyat Sulawesi Selatan 11 Desember, 49 tahun yang lalu itu. Hanya dalam waktu sekejap, puluhan ribu nyawa melayang lewat tangannya.
Makassar, 11 Desember 1946. Kalakuang, sebuah lapangan sempit berumput terletak di sudut utara Kota Makassar (sekarang wilayah Kecamata Tallo Ujungpandang). Di lapangan itu sejumlah besar penduduk dikumpulkan, lalu dieksekusi secara massal. Mereka ditembak mati atas kewenangan perintah Westerling.
Bahkan, sejak menapakkan kaki di Tanah Makassar, 7 sampai 25 Desember 1946, aksi pembantaian serupa berulang-ulang. Westerling yang memimpin sepasukan tentara Belanda itu terus memburu dan menghabisi siapa saja yang diduga dan terlibat dalam perjuangan rakyat Sulawesi. Beribu orang, tanpa tanya, dibunuh secara biadab, mulai dari Ujungpandang sampai Mamuju dan Luwu, serta dari Gowa sampai ke Selayar. Maksudnya, untuk "membersihkan" daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang republik yang mulai tertata rapi, sekaligus mematikan gerak langkah perlawanan rakyat bagi upaya pembentukan Negara Indonesia Timur.
Dan rupanya, keganasan pasukan Westerling ketika itu sekaligus merupakan jawaban terhadap berkembangnya kelompok-kelompok kelaskaran yang ada di Makassar. Sebab seperti diketahui, Jepang yang menyerah dan pergi, sebelumnya berhasil menciptakan kader-kader muda yang tangguh, termasuk di bidang ketentaraan.
Terbukti, ketika tentara sekutu yang diboncengi Nica mendarat di Makassar dan mendirikan pemerintahan sipil, seperti halnya di tempat-tempat lain, unsur pemuda mati-matian tidak mau menerima kendati Belanda berhasil mempengaruhi beberapa tokoh daerah.
Perlawanan
Dengan senjata ala kadarnya yang berhasil direbut dari Jepang yang bermarkas di Bontonompo, Takalar, pemuda Makassar justru menyusun perlawanan. Mereka berhasil merebut beberapa instalasi strategis yang telah diduduki Nica antara lain Stasiun Radio Makassar, Tangsi Polisi, serta Hotel Ekspres. Perlawanan rakyat pun kian membesar dengan bergabungnya beberapa organisasi perjuangan. Mereka membentuk Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (Lapris) dengan panglimanya Ranggong Dg Romo.
Kendati demikian, kekuatan masih berpihak pada Nica KNIL yang berhasil menguasai kota-kota pedalaman (sekarang kabupaten). Rakyat Sulsel akhirnya terdesak ke hutan-hutan dan pegunungan. Di sana, pejuang rakyat kembali menyusun satuan-satuan perlawanan kecil untuk melaksanakan perlawanan rakyat tipe perang gerilya. Manajemen gerilya pun ditata, menyangkut tugas-tugas perhubungan, informasi, logistik, persenjataan, dan taktik pelumpuh kekuatan musuh.
Gerakan-gerakan perlawanan gerilya selanjutnya bertambah kuat dan merata di seluruh pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara. Bahkan kekuatan itu mulai ditambah dengan mendaratnya beberapa pasukan TNI dari Jawa di beberapa daerah pantai seperti Mandar, Suppa, dan Jeneponto. Belanda akhirnya sempat terdesak dengan sistem perlawanan seperti itu.
Karena merasa kewalahan, pemerintahan Nica dan KNIL lalu mendatangkan bala bantuan yang khusus menghadapi perlawanan rakyat yang melakukan taktik perang gerilya. Oleh Nica, pasukan anti gerilya tersebut dikenal dengan Counter Guerilla Warfare. Namun, pasukan tambahan itu pun ternyata tidak mampu memecahkan kekompakan perlawanan rakyat yang mengandalkan sistem senjata sosial (sissos) dan sistem senjata teknik (sistek).
Dibunuh
Serangan-serangan Belanda yang dimaksudkan melumpuhkan kekompakan perlawanan rakyat itu menganut pola pasukan khusus anti gerilya tipe SS/Gestapo yang konon pernah diterapkan Jerman di masa Perang Dunia II yang lalu. Pasukan khusus anti gerilya tipe SS/Gestapo itulah yang dipimpin Reymond Westerling. Konsep operasinya sungguh taktis, melumpuhkan kekompakan perlawanan rakyat, memisahkan rakyat pejuang dengan pejuang lain, melumpuhkan dukungan perbekalan yang sangat menunjang kekuatan gerilyawan.
Pasukan Westerling terus berupaya menciptakan suasana ketakutan dan panik, berbagai sistem teror dilakukan antara lain dengan cara mendatangi kampung-kampung dan membakar rumah-rumah yang dicurigai memberi dukungan terhadap gerakan gerilyawan. Penduduk yang tertangkap tangan dibunuh; ditembak mati. Menurut catatan, pasukan itu telah memasuki hampir seluruh kampung di Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan sifat yang selalu sama, yakni membunuh. Akibatnya, rakyat yang tertembak mati pasukan Westerling luar biasa jumlahnya.
Sementara itu, tekanan dan siksaan fisik pun masih terus berlanjut di bawah kekuasaan pasukan KNIL. Kekejaman gerakan "pembersihan" KNIL pun tak jauh beda dengan Westerling. Pasukan KNIL terus mendesak rakyat turun dari gunung atau perkampungan, lalu ditampung pada pos-pos terdekat dengan jalan raya yang mudah diawasi. Hasil-hasil pertanian dan perkebunan yang dihasilkan rakyat dimusnahkan.
Rakyat yang sudah hidup ketakutan itu dipaksa untuk turut serta mencari tempat-tempat pemukiman para pejuang yang bersembunyi di gua-gua, di hutan, atau di pegunungan. Paksaan itu pun masih dilakukan tanpa meninggalkan atribut siksaan fisiknya. Rakyat tetap terpaku dalam prinsip kolot kolonial: tidak ada yang benar. Ada saja alasan yang diciptakan pasukan KNIL yang sifatnya hanya memancing kesalahan rakyat.
Het Parool, sebuah surat kabar Nederland, sekitar pertengahan tahun 1946 itu menerbitkan sebuah berita yang isinya kurang lebih menyatakan, selama sebulan setelah divisi dari Nederland mendarat di Pantai Sulawesi, telah berhasil membunuh dua puluh lima ribu pejuang di Sulawesi Selatan. Fotokopi kliping tersebut, menurut MN Sam, seorang saksi sejarah yang dipercayakan mengerjakan monumen korban 40.000 jiwa di Sulsel, disebarkan di Indonesia.
Ternyata berita tersebut menjadi alat propaganda Belanda untuk melakukan teror mental bagi para pejuang, khususnya bagi orang Sulsel yang terkenal berani. Dengan propaganda tersebut, Kahar Muzakar memperkirakan, jika dalam sebulan Westerling dapat membunuh sebanyak dua puluh lima ribu jiwa, berarti dalam jangka tiga bulan sekitar empat puluh ribu nyawa orang Sulsel berhasil dilenyapkannya.
Masih menurut kesaksian MN Sam, yang juga wartawan senior itu, dari kenyataan tersebut, Presiden Soekarno juga tidak mau kalah dengan propaganda teror mental yang dilancarkan Belanda. Kepada dunia, presiden pertama RI itu mengumumkan bahwa telah terjadi pembunuhan keji terhadap rakyat biasa di Sulawesi Selatan sebanyak empat puluh ribu jiwa. Maksudnya untuk menciptakan opini internasional bahwa Belanda telah melakukan tindakan keji sebagai pelanggaran hak azasi manusia.
MN Sam yang pernah melakukan penelitian bersama Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Sulsel-Yogyakarta terhadap korban keganasan Westerling mengatakan, korban empat puluh ribu jiwa layak dipahami sebagai angka propaganda politik dan politik propaganda. Namun tidaklah salah jika memahami hal itu sebagai sebuah spirit heroik yang perlu dipupuk agar tragedi itu tetap menjadi warisan sejarah perjuangan bangsa yang tidak lapuk oleh zaman baru.
Hal senada juga dikemukakan seorang saksi sejarah yang juga purnawirawan ABRI, Rasid Ibrahim. Menurut dia, angka empat puluh ribu jiwa hendaknya menjadi "battle cry" sebagai motto dan motivasi pembangkit semangat juang generasi muda pembangunan, utamanya di Sulsel. Minimal membangkitkan kepedulian, bahwa sebetulnya masih banyak rakyat pejuang korban 40 ribu jiwa yang belum ditemukan. Sehingga diharapkan tetap ada upaya lanjutan untuk menemukan dan mengenali siapa, di mana, dan bagaimana mereka kini.
(Ningsih S -- dari berbagai sumber)
Sumber: Suara Karya, 16 Desember 1995


Komentar
Posting Komentar