Langsung ke konten utama

Istilah "Indonesia" Ternyata Diciptakan Ahli Asal Inggris

BANDUNG (Suara Karya): Dari mana istilah "Indonesia" pertama kali muncul? Ternyata, bukan diciptakan oleh orang Belanda seperti yang selama ini banyak disebut orang, tetapi pada awalnya merupakan gagasan GW Earl, seorang ahli Ethnologi asal Inggris pada tahun 1850.

Prof Dr Edi Sekadjati mengungkapkan hal itu dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Unpad, Sabtu (16/12) di kampus Unpad Bandung. Menurut telaah sejarahnya, kata Edi, gagasan GW Earl semula untuk menamai penduduk di Indian Archipelago atau Malaya Archipelago, yakni sebutan umum para ilmuwan Eropa waktu itu bagi wilayah Indonesia sekarang dengan nama Indu-nesians atau Malaya-nesians.

Kata tersebut mengambil contoh dari kata yang sudah ada, yaitu Polinesia yang berasal dari bahasa latin Poly dan Nesos yang artinya "banyak pulau" atau kepulauan. Kata nesos dan nusa, paparnya bukan hanya memperlihatkan kesamaan bunyi, tapi juga mengandung persamaan makna, yakni pulau. Indu-nesians yang diambil dari kata India atau Hindu dan Nesos, berarti penduduk yang mendiami kepulauan Hindia. Pada tahun yang sama pun, ethnolog asal Inggris yang lain, yakni AR Logan mengubah kata Indu-nesians menjadi Indonesians. Istilah didasarkan atas perbandingan dengan istilah Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia yang sudah ada sebelumnya.

Namun, kata Edi, patut dicatat, walaupun nama Indonesia telah lahir sejak tahun 1850, namun tak ada yang menggunakan. Orang Belanda selalu menggunakan istilah Oost-Indie, Maleische Archipel, atau Indische Archipel. Eduard Douwes Dekker yang punya nama samaran Multatuli malah menamakan wilayah Indonesia dengan kata Insulinde lewat karya sastranya yang terkenal, Max Havelar yang diterbitkan tahun 1860.

Baru tahun 1864 terbit sebuah karangan yang menggunakan istilah Indonesia, yaitu Indonesien Order di Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau pulau-pulau dari Kepulauan Malaya) karya Adolf Bastian seorang ethnolog asal Jerman. Sejak itu istilah Indonesia makin sering disebut dalam beberapa karya tulis seperti oleh CM Pleyte (1894), Winkler Prins (1908). Karena demikian besarnya pengaruh karya Adolf Bastian ini sehingga dia dipandang sebagai pencipta istilah kata Indonesia.

Pemerintah Belanda sendiri secara umum masih tetap menggunakan istilah Hindia Belanda (Nederlandsch - Indie) bagi jajahannya ini dan sebutan Inlanders (bumi putera) bagi penduduknya. Bahkan kalangan tertentu di Belanda, istilah Indonesia dianggap, berasal dan hanya digunakan oleh orang-orang Komunis, karena itu kata Indonesia dianggap mengerikan.

Bagi Indonesia sendiri, orang yang pertama kali menggunakan istilah Indonesia adalah para mahasiswa pribumi yang belajar di Belanda. Mereka adalah Suwardi Suryaningrat dan Dr Cipto Mangunkusumo yang pada tahun 1908 mendirikan perkumpulan sosial Indische Vereniging.

Prof Dr Edi Sekadjati dilahirkan di Kuningan pada 25 Maret 50 tahun yang lalu. Kini ia menjabat Dekan Fakultas Sastra Unpad. Ia pun kini masih menjadi Kepala Perpustakaan Museum Asia Afrika Bandung di bawah Deplu. Hingga kini ia telah menulis 5 buah buku sejarah, khususnya sejarah kebudayaan Sunda. (KC-18)



Sumber: Suara Karya, 18 Desember 1995



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (1) Pihak Inggris dengan "Operation Sam" Hendak Menyatukan Kembali Kota Bandung

Oleh H. ATJE BASTAMAN SEBAGAI seorang yang ditakdirkan bersama ratus ribu rakyat Bandung yang mengalami peristiwa Bandung Lautan Api, berputarlah rekaman kenangan saya: Dentuman-dentuman dahsyat menggelegar menggetarkan rumah dan tanah. Kobaran api kebakaran meluas dan menyilaukan. Khalayak ramai mulai meninggalkan Bandung. Pilu melihat keikhlasan mereka turut melaksanakan siasat "Bumi Hangus". Almarhum Sutoko waktu itu adalah Kepala Pembelaan MP 3 (Majelis Persatuan Perdjoangan Priangan) dalam buku "Setahoen Peristiwa Bandoeng" menulis: "Soenggoeh soeatu tragedi jang hebat. Di setiap pelosok Kota Bandoeng api menyala, berombak-ombak beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menioepkan api jang melambai-lambai, menegakkan boeloe roma. Menjedihkan!" Rakyat mengungsi Ratusan ribu jiwa meninggalkan rumah mereka di tengah malam buta, menjauhi kobaran api yang tinggi menjolak merah laksana fajar yang baru terbit. Di sepanjang jalan ke lua

Soetatmo-Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia

Oleh Fachry Ali PADA tahun 1918 pemerintahan kolonial mendirikan Volksraad  (Dewan Rakyat). Pendirian dewan itu merupakan suatu gejala baru dalam sistem politik kolonial, dan karena itu menjadi suatu kejadian yang penting. Dalam kesempatan itulah timbul persoalan baru di kalangan kaum nasionalis untuk kembali menilai setting  politik pergerakan mereka, baik dari konteks kultural, maupun dalam konteks politik yang lebih luas. Mungkin, didorong oleh suasana inilah timbul perdebatan hangat antara Soetatmo Soerjokoesoemo, seorang pemimpin Comittee voor het Javaansche Nationalisme  (Komite Nasionalisme Jawa) dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pemimpin nasionalis radikal, tentang lingkup nasionalisme anak negeri di masa depan. Perdebatan tentang pilihan antara nasionalisme kultural di satu pihak dengan nasionalisme Hindia di pihak lainnya ini, bukanlah yang pertama dan yang terakhir. Sebab sebelumnya, dalam Kongres Pertama Boedi Oetomo (1908) di Yogyakarta, nada perdebatan yang sama j

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang bes

Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Tidak Sempat Rasakan "Kemerdekaan"

Bagi masyarakat Ambarawa, ada rasa bangga karena hadirnya Monumen Palagan dan Museum Isdiman. Monumen itu mengingatkan pada peristiwa 15 Desember 1945, saat di Ambarawa ini terjadi suatu palagan yang telah mencatat kemenangan gemilang melawan tentara kolonial Belanda. Dan rasa kebanggaan itu juga karena di Ambarawa inilah terdapat makam pahlawan dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Untuk mencapai makam ini, tidaklah sulit. Banyak orang mengetahui. Di samping itu di Jalan Sudirman terdapat papan petunjuk. Pagi itu, ketika penulis tiba di kompleks pemakaman di kampung Kupang, keadaan di sekitar sepi. Penulis juga agak ragu kalau makam dr Tjipto itu berada di antara makam orang kebanyakan. Tapi keragu-raguan itu segera hilang sebab kenyataannya memang demikian. Kompleks pemakaman itu terbagi menjadi dua, yakni untuk orang kebanyakan, dan khusus famili dr Tjipto yang dibatasi dengan pintu besi. Makam dr Tjipto pun mudah dikenali karena bentuknya paling menonjol di antara makam-makam lainnya. Sepasan