Permohonan Maaf Belum Lengkap: Keluarga Korban Westerling di Tasikmalaya & Ciamis Harus Berani Bicara
BANDUNG, (PR).-
Walau Pemerintah Belanda dikabarkan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas kejahatan tentaranya, Kapten Raymond Westerling, selama masa periode pendudukan di Indonesia antara tahun 1946-1947, tetapi persoalan itu belum sepenuhnya selesai.
Diduga masih banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Westerling selama di Indonesia, bukan hanya di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947, tetapi juga terindikasi dilakukan pula di Jawa Barat selama kurun waktu Januari-November 1948.
Pengamat sejarah dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr Reiza Dienaputra, di Bandung, Senin (12/8/2013), menyebutkan, disinyalir ada kejahatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan pasukan Belanda yang dipimpin Westerling terhadap warga sipil di Kab. Tasikmalaya dan Kab. Ciamis selama tahun 1948. Namun, sejauh ini, keluarga korban belum ada yang melapor sehingga ulah Westerling di Tasikmalaya dan Ciamis belum terungkap.
"Diharapkan pihak keluarga korban Westerling di Tasikmalaya dan Ciamis dapat angkat bicara karena Westerling saat itu sudah dipindahkan dari Sulsel ke Jawa Barat. Siapa tahu, hal ini pun dapat menjadi perhatian pemerintah Belanda sehingga permohonan maaf atas aksi Westerling selama di Indonesia dapat secara menyeluruh," ujar Reiza yang sehari-harinya menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Terkait dengan ulah Westerling dalam peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Jln. Lembong Bandung, 23 Januari 1950, Reiza mengatakan tak yakin jika pemerintah Belanda mau meminta maaf. Soalnya, dalam kejadian tersebut, Westerling sudah diberhentikan dari militer Belanda karena ulahnya, sehingga dikhawatirkan dianggap sebagai tindakan pribadi.
Di sisi lain, katanya, kejadian penembakan oleh kelompok yang dipimpin Westerling terhadap para Tentara Nasional Indonesia (TNI) Divisi Siliwangi pada peristiwa APRA tersebut antar pihak bersenjata. Ini terjadi karena Westerling frustrasi dengan keadaan, terutama karena lebih mendukung Republik Indonesia Serikat (RIS) dibandingkan dengan Republik Indonesia (RI) yang merupakan negara kesatuan.
Reiza mengatakan, lain halnya di Sulawesi Selatan serta Tasikmalaya dan Ciamis karena dilakukan terhadap rakyat sipil sehingga pantas diadili sebagai kejahatan kemanusiaan. Oleh karena itu, diperlukan keberanian dan penelusuran secara serius untuk mengungkap dugaan kejahatan kemanusiaan oleh Westerling selama di Tasikmalaya dan Ciamis.
Reiza juga mengatakan, kasus Westerling sebenarnya hanya merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Tasikmalaya dan Ciamis pada tahun 1948. Westerling diduga memanfaatkan situasi yang sedang kacau, di mana saat itu juga perlu diungkap dugaan kejahatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun yang sama di Tasikmalaya dan Ciamis.
Dari catatan yang dikumpulkan "PR" dari berbagai sumber, aksi pasukan Westerling yang saat itu masih memimpin Korps Speciale Tropen (KST) di Tasikmalaya dilakukan pada 18 September 1948. Saat itu, ada 156 pendudukan sipil di Kec. Cikalong, Tasikmalaya yang dibunuh, banyak rumah dan ratusan ton beras dibakar pasukan Westerling yang mencurigai beras tersebut akan dikirimkan kepada TNI, di mana pada hari yang sama terjadi pemberontakan PKI di Madiun.
Sebelumnya diberitakan bbc.co.uk, Minggu (11/8/2013), pemerintah Belanda menyampaikan permohonan maaf atas ulah Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946-1947. Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) pendamping kasus ini mengatakan ada sepuluh janda korban penembakan yang akan menerima ganti rugi sebesar 27.000 dolar Amerika atau Rp 277,6 juta per orang.
"Jumlah nilai ganti ruginya sama dengan yang diberikan kepada keluarga korban peristiwa Rawagede. Secepatnya akan kami transfer dana ini kepada para janda, mungkin pertengahan atau akhir Agustus nanti," kata Ketua Yayasan KUKB Jeffry Pondaag kepada BBC Indonesia. (A-81) ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2013

Komentar
Posting Komentar