Langsung ke konten utama

Jiwa Bandung Lautan Api

Ingan Djaja Barus
Staf Khusus di Dinas Sejarah Angkatan Darat

Ingat anak-anakku sekalian. Temanmu, saudaramu malahan ada pula keluargamu yang mati sebagai pahlawan yang tidak dapat kita lupakan selama-lamanya. Jasa pahlawan kita telah tertulis dalam buku sejarah Indonesia. Kamu sekalian sebagai putra Indonesia wajib turut mengisi buku sejarah itu

- Pak Dirman, 9 April 1946

TANGGAL 24 Maret 1946, terjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kita, yaitu Bandung Lautan Api. Suatu peristiwa patriotik yang gemanya abadi di setiap hati. Tak hanya bagi mereka yang pernah hidup dalam masa berlangsungnya peristiwa itu, tetapi juga bagi mereka yang lahir lebih kemudian.

Pada hakikatnya peristiwa "Bandung Lautan Api" merupakan manifestasi kebulatan tekad berjuang dan prinsip "Merdeka atau Mati" TNI AD (Tentara Republik Indonesia/-TRI waktu itu) bersama para pemuda pejuang dan rakyat Jawa Barat. Mereka bergerak melawan tentara gabungan Inggris-Belanda, dan Jepang. Semua adalah kelanjutan logis daripada perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut, membela, menegakkan, dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang didasarkan pada semangat persatuan dan kesatuan sehingga mampu menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Saat itu, 73 tahun yang lalu, Kota Bandung yang sedang terbakar ditinggalkan oleh para pejuang. Mereka rela mengorbankan satu kota dengan isinya yang selama itu merupakan kota kebanggaan dan kecintaannya, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Betapapun cinta kepada kotanya, mereka lebih cinta kepada kemerdekaan negara dan bangsanya. Mereka tidak rela meninggalkan Kota Bandung dalam keadaan utuh kepada musuh. 

Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan respons terhadap kedatangan tentara sekutu yang dipimpin oleh Inggris pada 12 Oktober 1945. Tentara sekutu yang diboncengi oleh Belanda (NICA), berniat menguasai kembali Indonesia setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 yang kemudian menjadi muara peristiwa Bandung Lautan Api. Waktu itu pasukan kita menggempur habis-habisan tentara Inggris Brigade Mac Donald Divisi ke-23 yang telah diboncengi tentara Belanda. Ketika tiba di Bandung, mereka bertujuan untuk mengumpulkan dan mengembalikan tentara Jepang ke Tokyo. Sejak hari itu, Bandung jadi medan pertempuran.

Tentara kita dan segenap pejuang bersenjata, meningkatkan perlawanan, menyerang di segenap kesempatan. Pasukan kita berusaha mati-matian untuk menghancurkan seluruh potensi musuh. Pihak tentara Inggris tidak berdaya. Mereka memanfaatkan bentuk ultimatum kepada pemerintah pusat. Markas besar tentara Inggris di Jakarta minta kepada pemerintah pusat kita agar tentara dan pejuang bersenjata di Bandung mundur sampai 11 km dari kota.

Ultimatum ini diterima, TNI AD (di bawah pimpinan Kolonel AH Nasution, yang saat itu sebagai Komandan Divisi 111/-TRI di Bandung) harus keluar dari Bandung paling lambat 24 Maret jam 24.00. Di pihak lain Kolonel Nasution mendapat telegram dari markas besar tentara di Yogyakarta yang berbunyi: Setiap jengkal tanah tumpah darah harus dipertahankan. 

Posisi teramat sulit bagi seorang komandan untuk menghadapi dua kondisi: pusat menerima ultimatum, tetapi markas menetapkan TNI AD harus mempertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah seperti tercantum pada telegram itu. Langkah yang ditempuh adalah TNI AD beserta pemerintah sipil dan rakyat mundur dan Bandung dibumihanguskan.

"Kalau musuh harus menguasai kota ini, biarlah mereka menemukan puing-puingnya. Sementara itu, TRI dan laskar perjuangan tetap utuh untuk terus menggerilya musuh di setiap posisi dan di setiap kesempatan," kata Kolonel AH Nasution. Kolonel AH Nasution berunding dengan semua komandan resimen dan pimpinan badan perjuangan. Kesimpulan perundingan tegas: tentara dan rakyat mundur dan Bandung dibumihanguskan! Keluarlah keputusan Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, berbunyi, semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum pukul 24.00. Semua kekuatan bersenjata harus melakukan bumi hangus terhadap bangunan yang ada. Sesudah matahari terbenam, kedudukan musuh di utara rel KA harus diserang oleh pejuang di bagian utara sambil melakukan pembumihangusan. Pejuang-pejuang dari selatan harus menyusup ke utara, dan pos komando dipindahkan ke Kulalet di Dayeuhkolot.

Belajar dari sejarah

Kita berkepentingan dengan lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu kita perlu belajar dari sepenggal sejarah Bandung Lautan Api ini. Sejarah adalah "guru kehidupan" (magistra vitae). Kon Fu Tze, seorang filsuf Tiongkok mengatakan, kita belajar sejarah agar kita bijaksana dalam meneruskan sejarah.

Ini semua sesuai dengan apa yang dikatakan oleh guru besar sejarah Sartono Kartodirdjo, "Jika suatu bangsa kehilangan masa lampau dan hidup di kekinian tanpa identitas, maka bangsa ini tidak akan pernah memiliki sebuah masa depan". Membaca sejarah sejatinya membaca kehidupan yang mengajarkan kita untuk memetik pelajaran dari peristiwa yang pernah terjadi. Dari peristiwa Bandung Lautan Api ini diharapkan kita dapat mengambil jiwa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Jiwa peristiwa Bandung Lautan Api adalah sama dengan inti jiwa dari Proklamasi Kemerdekaan RI, yaitu agar kita sebagai satu keluarga besar yang tidak berpecah belah, hidup di dalam satu rumah besar yang bernama Republik Indonesia, yang berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke.

Apa yang menjadi inti jiwa daripada para pendahulu yang telah berkorban, telah menumpahkan darahnya untuk tercapainya cita-cita Republik Indonesia, ialah untuk mendapatkan satu keluarga yang hidup merdeka, aman, dan sejahtera. Bung Karno berpesan, kembalilah kepada isinya proklamasi, kembalilah kepada keutuhan negara.

Peristiwa Bandung Lautan Api sungguh sarat dengan nilai-nilai luhur dan keunggulan budi pekerti, ketanggapan, dan kecerdasan dalam memahami instruksi. Terbentuknya saling pengertian, kepatuhan dalam sikap dan tindakan para pejuang bangsa Indonesia yang ada di Priangan Bandung.

Ditinjau dari perspektif akademik, Bandung Lautan Api merupakan historiografi sejarah militer bersama rakyat yang menunjukkan sinergi perjuangan dari seluruh elemen bangsa yang ada di Wilayah Karesidenan Priangan Bandung. Peristiwa heroik dan patriotik yang bersifat monumental ini didasari oleh kebesaran dan kesucian jiwa, mengakomodasi etos juang dan kebersamaan TNI dengan rakyat, sehingga banyak dikenang rakyat Indonesia, serta menumbuhkan inspirasi, sekaligus menjadi bahan pelajaran bagi generasi muda TNI maupun masyarakat luas.

Mari menjadikan momentum peringatan Bandung Lautan Api untuk mengevaluasi diri guna meningkatkan kualitas jati diri bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Barat. Ingat sejarah mengajarkan bahwa bila bangsa Indonesia ingin tetap eksis dan dapat bersaing dengan bangsa lain, maka harus melaksanakan retrospeksi ke masa lalu, realisasi ke masa kini, dan proyeksi ke masa depan. Dengan merawat ingatan tentang sejarah bangsa ini dapat maju tanpa perlu mengulangi kesalahan para pendahulu. Semoga. ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 25 Maret 2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelar 'Pahlawan Nasional' untuk Adam Malik

JAKARTA -- Mantan wakil presiden (almarhum) Adam Malik kemarin mendapat anugerah gelar 'Pahlawan Nasional' dari pemerintah. Gelar yang sama juga dianugerahkan kepada almarhum Tjilik Riwut (mantan Gubernur Kalteng tahun 1957-67), Sultan Pasir Kaltim almarhum La Maddukelleng, serta Sultan Siak Riau almarhum Sultan As-syaidis Syarif Kasim Sani. Gelar itu diserahkan Presiden BJ Habibie kepada ahli waris masing-masing, pada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November, di Istana Merdeka kemarin. Gelar untuk Adam Malik diterima oleh istrinya, Ny Nelly Adam Malik. Tampak hadir pada acara itu antara lain Ny Hasri Ainun Habibie, Ketua DPR/MPR Harmoko, Ketua DPA Baramuli, Ketua MA Sarwata, Menko Polkam Feisal Tanjung, serta Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita. Pada acara tersebut, Kepala Negara juga menyerahkan tanda kehormatan 'Bintang Republik Indonesia' kepada sejumlah tokoh masyarakat yang sudah meninggal, khususnya yang berjasa pada masa perjuangan melawan penjajahan Bela...

Sebuah Potensi Wisata Islami di Singaraja

B ali bagi kebanyakan wisatawan domestik maupun mancanegara selalu identik dengan kepariwisataannya seperti Ubud, Sangeh, Pantai Kuta, Danau Batur, dan banyak lagi. Itu semua berkat adanya dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menjadikan Bali kawasan terkemuka di bidang pariwisata, tidak hanya regional tapi juga internasional. Tak aneh jika orang asing disuruh menunjuk 'hidung' Indonesia maka yang mereka sebut hampir selalu Bali. Dari sekian potensi wisata yang ada, tampaknya ada juga potensi yang mungkin terabaikan atau perlu diperhatikan. Ketika melakukan kunjungan penelitian beberapa waktu lalu ke sana, penulis menemui beberapa settlement  pemukiman muslim yang konon telah eksis beberapa abad lamanya. Betapa eksisnya masyarakat Muslim itu di tengah-tengah hegemoni masyarakat Hindu Bali terlihat pada data-data arsitektur dan arkeologis berupa bangunan masjid, manuskrip Alquran dan kitab-kitab kuno. Di Singaraja, penulis menemui tokoh Islam setempat bernama Haji Abdullah Ma...

Nassau Boulevard Saksi Perumusan Naskah Proklamasi

G edung berlantai dua bercat putih itu masih nampak megah, sekalipun dibangun 80 tahun lalu. Nama jalan gedung ini pada masa pendudukan Belanda, Nassau Boulevard No 1, dan diubah menjadi Meijidori pada pendudukan Jepang. Untuk selanjutnya menjadi Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat sekarang ini. Gedung yang diapit oleh Kedutaan Besar Arab Saudi dan Gereja Santa Paulus dibangun dengan arsitektur gaya Eropa, yang hingga kini masih banyak terdapat pada gedung-gedung di sekitar kawasan Menteng. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung ini bersamaan dengan dibukanya 'kota baru' Menteng, pada 1920, saat kota Batavia, sebutan Jakarta waktu itu, meluas ke arah selatan. Gedung yang kini diberi nama Museum Perumusan Naskah Proklamasi memang pantas dilestarikan oleh pemerintah, karena mempunyai nilai sejarah yang amat penting. Di tempat inilah pada malam tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan 7 Ramadhan 1364 H hingga menjelang fajar keesokan harinya para pendiri negara ini merumuskan naskah ...

Syekh Siti Jenar: Satu Cermin Banyak Gambar

A PAKAH Syekh Siti Jenar itu seorang mukmin? Kalau jawabannya "ya", kenapa ia akhirnya "diadili" oleh dewan wali (Wali Songo) atas tuduhan menyebarkan agama sesat? Kalau jawabannya "tidak", kenapa ia disejajarkan kedudukannya dengan Wali Songo dan disebut syekh atau wali? Berbagai pertanyaan tersebut selama ini menghinggapi benak masyarakat. Namun, jika Anda mengajukan pertanyaan tersebut pada buku Syekh Siti Jenar (Pergumulan Islam Jawa), semua akan terjawab tuntas. Bagi pengarang buku ini, Syekh Siti Jenar adalah sosok penganut Islam yang "aneh". Lewat ajarannya wihdatul wujud ( manunggaling kawula Gusti ), ajarannya dianggap menyesatkan banyak orang. Karena Tuhan diyakini menyatu dalam diri Syekh Siti Jenar yang juga dipanggil Lemah Abang tersebut. Tuhan adalah dia, dan dia adalah Tuhan. Ditinjau dari segi syari'ah, hal demikian sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana mungkin Tuhan yang berbeda ruang dan waktu disamakan denga...

9 Maret 1942: Belanda Menyerah di Kalijati

61 tahun silam (9 Maret 1942- red ), di Pangkalan Udara (PU) Kalijati Kab. Subang Jabar telah terjadi peristiwa sangat penting. Suatu peristiwa yang menghiasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pascakolonialisme Belanda, yaitu takluknya pemerintah dan tentara Belanda kepada Jepang di PU Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma- red ). Kejadian bersejarah itu berlangsung setelah terjadi pertempuran mahadahsyat di seputar Subang-Bandung. Lewat pertempuran yang memakan banyak korban dari dua kubu itu, Jepang akhirnya mampu menghancurkan kubu pertahanan Belanda di Ciater Subang dan menguasainya (6 Maret 1942). Kemudian disusul dengan perundingan Jepang-Belanda di rumah dinas seorang Perwira Staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di PU Kalijati Subang. Dua hari kemudian, dalam tempo cukup singkat, secara resmi Belanda mengakui menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dituangkan dalam naskah penyerahan Hindia Belanda. Di awal perundingan, Jenderal Ter Poorten selaku Panglima Belanda han...

Piagam Jakarta: Kisah Tujuh Kalimat Sakral

U ntuk membuat artikel ini, saya terlebih dahulu mendatangi sebuah gedung di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Karena di gedung yang dibangun pada awal abad ke-20 inilah, tempat bersidangnya para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa kolonial Belanda gedung yang hingga kini masih tampak antik dan anggun itu bernama Gedung Volksraad . Tempat para 'wakil rakyat' yang diangkat oleh pemerintah jajahan mengadakan sidang-sidang. Sampai awal tahun 1970-an gedung ini masih ditempati oleh Departemen Kehakiman. Kemudian dijadikan sebagai gedung BP-7 yang sejak reformasi dibubarkan. Gedung yang terletak bersebelahan dengan Deplu, dahulunya bersama-sama dengan gedung di kawasan Pejambon lainnya merupakan tanah pertanian milik Anthony Chastelin, yang juga memiliki tanah serupa di Depok. Bahkan, anggota Dewan VOC yang kaya raya inilah yang membangun Depok, ketika ia menghibahkan tanah miliknya itu kepada ratusan budak dengan syarat mereka harus mengubah agamanya me...

Pasarean Aermata, Situs Kebesaran Islam Bernuansa Persatuan Antar-umat Beragama

S epintas kilas, situs makam tua di puncak Bukit Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, itu tak menyiratkan keistimewaan apa pun. Apa yang nampak dari kejauhan, tak lebih dari sekadar 3 cungkup angker, menyembul dari balik pagar keliling warna hitam legam. Selebihnya, hanyalah suasana yang sunyi-mati. Tetapi, suasana akan menjadi lain jika pengunjung sudah menyatu dengan kompleks makam tua peninggalan abad ke-16 s/d 17 itu. Pasarean "Aermata", demikian Rakyat Madura biasa menyebut situs kuno itu, ternyata menawarkan peninggalan sejarah, sekaligus cagar budaya yang tak ternilai harganya. Secara pisik, kompleks Pasarean Aermata terdiri dari 3 buah cungkup utama, sebuah museum, serta sebuah peringgitan--tempat juru kunci menerima pelancong, peziarah, dan pengunjung dengan ragam kepentingan lainnya. Di 3 cungkup utama inilah bersemayam kuburan raja-raja Islam dari Kraton Bangkalan, semuanya keturunan Panembahan Cakraningrat I alias Raden Praseno hingga 7 turunan. ...